Selamat membaca ;)
Gamma menutup pintu utama rumahnya dengan hati-hati. Jika tidak, derit yang ditimbulkan papan berbahan kayu itu akan membuat kegaduhan di malam hari. Seperti yang ia sampaikan kepada calon anaknya tadi pagi, hari ini ia pulang sedikit larut. Ada banyak pekerjaan yang harus dibahas meski harus berujung pada punggung yang terasa pegal. Mungkin, besuk pagi ia akan meminta Anna memanggil ahli refleksi. Sembari memijat bahunya sendiri, Gamma menapaki lantai rumahnya. Hanya ada tiga hal yang menjadi tujuan, segera ke kamar, mandi, kemudian tidur. Namun, semua rencana yang ia susun dalam kepala teralihkan begitu saja ketika mendapati sesosok perempuan sedang bergelung nyaman di sofa ruang tengah. Layar televisi yang menampilkan sebuah pertunjukan drama sinetron itu dibiarkan menyala di hadapannya. Gamma lantas meletakkan tas kerja juga jas yang telah ia lepas di sofa yang kosong. Dengkuran halus terdengar, menyiratkan betapa pulasnya wanita ini. Ingin membangunkan tetapi tidak tega, membia
Panjang umur.Itu dua kata pertama yang muncul di kepala Gamma saat Rossa — wanita yang kemarin siang hampir membuat keributan dalam rumah tangganya — berani menampakkan diri di kantornya hari ini. Kehadiran mantan kekasihnya itu cukup merepotkan sebab ia harus menunda beberapa pekerjaan, tetapi sekaligus meringankan karena Gamma tidak perlu repot-repot membuang tenaganya hanya untuk menemui Rossa.Tidak tahu apa maksud kedatangannya hari ini. Yang jelas, prasangka Gamma tidak pernah baik kepadanya. Kini mereka berdua sedang berada dalam ruangan yang sama. Baik Rossa maupun Gamma sama-sama menghadirkan aura dingin hingga membuat ruangan itu hampir beku rasanya.“Sudah puas?” sembur Gamma begitu Rossa duduk di hadapannya.Wanita itu meletakkan tasnya di meja, kemudian segera menggeser bola mata ke arah Pria yang duduk pada kursi kebesarannya. “Sudah puas apa maksudmu?”Gamma tersenyum miring. “Kau pikir, aku tidak tahu apa yang kau lakukan kemarin siang, hm? Menelpon istriku dan mengat
Percecokan dua manusia yang pernah menjalin hubungan itu terhenti ketika Rossa dengan tanpa rasa malu memeluk erat tubuh Gamma. Entah setan apa yang merasuki tubuh wanita gila ini, Gamma tidak tahu. Satu hal yang pasti perlakuan mantan kekasihnya itu membuat perutnya bergejolak. Mual, jijik, ah rasanya ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini. Berulang kali Gamma berusaha mengurai tangan yang melingkar secepat mungkin, mengibas, bahkan mendorongnya sekuat tenaga, tetapi tautan itu tetap tidak terlepas. Semakin ia memaksa, semakin erat pula Rossa memeluknya. Hal ini tentu membuat Gamma geram. Sementara dibalik kaca yang tak begitu lebar dua matanya menangkap sesosok perempuan yang sedang berbicara dengan sekretarisnya. Serra, istrinya. Wanita itu berdiri membawa sebuah tas berwarna senada dengan bajunya. Bisa Gamma pastikan jika benda yang dibawa adalah makan siangnya. Astaga! apa jadinya jika Serra melihat ini semua? “Menyingkir!” titah Gamma dengan nada penuh peringatan. Dua mata
Berumah tangga itu ibarat sebuah kopi dan sepasang suami istri adalah baristanya. Mau diracik seperti apa, itu tergantung keinginan mereka berdua. Semua fakta berbicara bahwa kopi memang selalu pahit. Tetapi bagi para penikmatnya, ada manis yang tersembunyi di setiap cerupan. Untuk memperkuat rasa dan aroma bisa ditambahkan apa saja. Susu, krimmer, santan, or anything else. Sama halnya dengan pernikahan, akan seperti apa aroma dan rasa rumah tangga tergantung komponen apa yang ditambahkan di dalamnya. Setiap barista memiliki resep dan takaran yang berbeda. Begitu juga dengan pernikahan. Resep yang mereka buat terkadang tidak pas, mungkin juga bila dibandingan dengan milik orang lain hasilnya akan berbeda. Tetapi itu wajar, tidak ada barista yang sempurna. Kadang hasilnya manis, kadang pahit yang lebih mendominasi, tetapi di beberapa kesempatan rasanya sempurna. Ya, seperti itulah minum kopi. Kalau hanya mau yang manis maka jangan minum kopi, tapi carilah sirup. Yas, ibaratnya hidup s
Jika banyak orang berkata bahwa bahagia itu sederhana, maka Serra orang pertama yang menyetujuinya. Baginya, bahagia tidak harus berawal dari hal yang besar, tidak harus muluk-muluk dibelikan barang-barang mewah, jalan-jalan ke luar negeri, ataupun hal besar lainnya yang berwujud materi. Bangun dipagi hari dipelukan sang suami sudah mampu membuat Serra menerbitkan senyumnya. Sembari bercengkrama kecil akibat tendangan pada perutnya yang kian membuncit itu sudah mampu membuat kadar oksitosin dalam tubuhnya meningkat drastis. Ya, sesederhana itu kebahagiaannya. Tapi bagaimana bisa? Orang bilang cinta saja tidak cukup untuk membangun rumah tangga. Cinta bila tidak diimbangi materi semuanya hanya akan terasa hambar. Memang benar. Tetapi apa bedanya jika suamimu hanya memberi uang, uang, dan uang, tetapi tidak pernah memberimu cinta? Sama hambarnya bukan? Cinta dan materi harus berimbang. Lalu bagaimana jika keduanya sudah setara? Sifat manusia itu rakus. Semua itu tidak akan pernah ter
“Jelaskan pada ibu kenapa kau tidak mau menandatangani perjanjian itu dan meminta mereka merevisinya? Itu membuat semua agenda menjadi mundur lagi, Gamma!” Romana menatap Gamma penuh selidik. Dua tangannya bersedekap di depan dada seolah menantang putranya memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai gagalnya penandatanganan Memorandum of Understanding Pembangunan Pranacana hari ini. Belasan menit yang lalu, ia mendapat laporan jika putra sulungnya itu tidak mau menandatangi berkas-berkas yang disusun seminggu lamanya dan meminta pihak Surya Kencana merevisi pembagian laba. Sementara Gamma menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah lima tahun terakhir, ia duduk menghadap sang ibu di kantornya sendiri. Apa yang dituduhkan ibunya adalah benar. Ia memang tidak mau menandatangani perjanjian itu sebab tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Bagi hasil 50% untuk masing-masing perusahaan. Tetapi pagi ini berubah menjadi 35% pembagian laba untuk Pranadipta dan sisanya
Semburat jingga memantul di permukaan samudera, menciptakan kilau yang memukau setiap mata memandang. Di tengah Mentari yang kian tenggelam, angin pantai berhembus perlahan, membawa aroma laut yang segar dan menyejukkan. Debur air yang saling menggulung menjadi satu-satunya suara yang menggema, menemani dua manusia yang tengah menikmati senja. Serra dan Gamma sengaja meliburkan diri dari hiruk pikuk kehidupan dan kegiatan padat mereka, meluangkan waktu untuk sekadar menikmati hari berdua—maksudnya bertiga dengan anak mereka. Walau hanya duduk bersama sembari menyaksikan ombak yang berlomba-lomba mencapai bibir pantai. “How are you feeling, Babe?” tanya Gamma dengan setengah berbisik di telinga Serra yang duduk dipangkuannya. Bibir perempuan itu melengkung dengan lembut, mengungkapkan perasaan luar biasa yang tak bisa ia pendam. “Aku bahagia. Sangat bahagia,” ujarnya kemudian meraih tangan Gamma dan meletakkannya di atas perutnya yang tak lagi rata. “Kau bisa merasakannya? Sejak tad
Ada bagai pertanyaan yang menyerang kepala Serra saat ini. Apa yang dibawa suaminya itu? Apakah bunga seperti pada drama china? Atau mungkin boneka lucu film romansa yang pernah ia tonton sebelumnya? Entahlah pertanyaan itu hanya berputar di kepalanya tanpa bisa ia jawab sendiri. Belum lagi, mengapa Gamma memintanya menutup mata? Tidak tahu, tetapi itu cukup membuatnya semakin penasaran.“Tutup matamu, Ra,” titah Gamma kepada Serra yang tidak kunjung membuka mata. Namun, alih-alih melakukan perintahnya Serra justru menekuk dahinya.“Kenapa aku harus menutup mataku?” goda wanita itu“Cepatlah! Tutup matamu!”Kali ini perintah itu tidak terbantahkan. Serra lantas melakukan apa yang diminta oleh suaminya, merapatkan kedua kelopak mata hingga hanya gelap yang bisa ia lihat. Dan entah apa yang dilakukan Gamma selama ia menutup mata, Serra juga tidak tahu. Hanya merasakan sebuah sensasi dingin pada lehernya, seperti bersentuhan dengan sesuatu. Serra ingin mengintip, memberanikan diri membuka
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika