Hai, guys, satu bab lagi nanti malam ya. Siapa nih yang emosi sama Rossa? Pengen nampol gaa?? Luapkan kekesalan sama Rossa di kolom komen yuk!
“Semua saham milik Adam juga asset miliknya sudah berhasil kita balik nama!” William meletakkan tumpukan map dengan berbagai warna pada meja kaca milik Gamma. Lelaki itu baru saja bertemu dengan seorang notaris yang sebelumnya sudah ditunjuk untuk melakukan proses legalitas pembalikan nama semua aset milik Adam menjadi milik Gamma. Kedua sudut bibir lelaki itu mengembang kala melihat semua hasil yang dikerjakan sang notaris. Walau harta milik Adam dan Rossa tak sebanding dan tidak sebanyak milik mereka, tetapi para pria itu tersenyum puas. Ya, Gamma sudah berhasil membuat Rossa yang tidak bisa melakukan apa-apa, kini tunduk kepadanya. Seperti kesepakatan mereka beberapa minggu yang lalu, dimana Rossa memohon agar nama suaminya diselamatkan dan meminta Gamma untuk tidak membatalkan proyek itu serta menuruti semua syarat yang diberikan. Wanita itu akhirnya setuju menyerahkan semua asset milik suaminya untuk dibalik nama menjadi milik Gamma Pranadipta. Dengan begitu, Gamma bisa menguas
Dentaman dalam dada Gamma semakin terasa kencang. Hampir-hampir jantungnya itu mencuat keluar. Paper bag berisi makan malam untuk Serra yang dibawa tadi hanya ia letakkan sembarang pada nakas kecil disudut ruangan. Bahkan tak peduli jas mahalnya itu jatuh menyentuh lantai.Persetan dengan barang itu!Saat ini hanya satu hal yang ada di pikiran Gamma saat ini. Ia harus menemukan Serra. Kedua tangannnya sudah mengepal erat menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Sungguh, jika kali ini Serra melarikan diri kembali maka ia tak akan bisa mengampuni dirinya dan tak segan-segan membuat perhitungan dengan Rossa. Ya, wanita ular itu yang telah membuat semuanya menjadi kacau! Dengan setengah berlari, Gamma berjalan menyusuri ubin marmer berwarna putih, mencari perawat yang biasanya berlalu lalang di depan bangsal. Namun, entah mengapa untuk saat ini mereka semua seakan menghilang ditelan bumi.Tidak ada satupun perawat yang ia jumpai di sini.Oh, astaga! Gamma bisa gila!Lelaki itu lant
Semangkuk steam salmon yang dibawa Gamma beberapa saat yang lalu kini sudah berada di tangan Serra. Wanita itu sedang duduk santai dan bersandar pada kepala ranjang, pandangannya terarah pada layar televisi yang menyala di hadapannya. Sedangkan bibirnya sibuk mengunyah potongan daging salmon yang ia suap sendiri.Jika dihitung dengan jari, ini adalah kedua kalinya ia menyantap ikan salmon. Pertama, saat ia dinner di rumah mertuanya beberapa bulan yang lalu. Sayangnya, waktu itu perutnya menolak rasa bumbu mentai yang disajikan hingga akhirnya sepotong pun tak bisa tertelan dengan baik. Entah bawaan bayi, atau mungkin lidahnya tak cocok dengan saus khas negeri sakura itu. Menyedihkan sekali bukan?Akan tetapi kali ini setelah tidak hamil, begitu memakan ikan yang sama, tubuhnya memberikan respon baik. Ia cukup bersyukur karena itu. Tidak terbayang bagaimana jadinya jika Serra tak bisa menelan makanan ini, sementara Gamma sudah repot-repot membeli untuknya.“Bagaimana salmonnya? Kau suk
“Keparat! Ini sudah terlalu jauh dan melampaui batas!” Umpatan kasar itu lolos dari bibir Gamma setelah melihat dan mendengar putaran rekaman pada layar tabnya. Lelaki itu berhasil mengambil rekaman yang tersimpan CCTV yang terpasang di bangsal Serra. Mulanya rekaman video itu hanya menampilkan sudut pandang ketika Rossa berjalan menuju bangsal dimana Serra dirawat. Akan tetapi darah dalam tubuhnya mulai mendidih kala mendengar percakapan antara Rossa dengan istrinya. Wanita sialan itu benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya Rossa merendahkan Serra dan menghasutnya dengan mengungkit kembali masa lalu Gamma bersama Nindira. Lalu mengatakan bahwa Gamma sedang bermain api dengan rumah tangganya? SHIT! Gamma benar-benar geram dibuatnya. Dasar, Licik! “Aku setuju denganmu. Tapi kenapa Serra tidak jujur saja padamu jika Rossa datang dan berkata seperti itu?” William memainkan benda kotak berwarna hitam yang hanya berukuran 2 x 2 cm. Saking mungilnya, benda itu bisa terpegang oleh ibu jar
Gamma baru saja tiba di kamar rawat inap yang ditempati istrinya. Setelah bertemu dengan William di kantin rumah sakit, pria itu bergegas menemui Serra, Jujur saja, semenjak melihat rekaman dari berbagai video yang ia periksa hari ini, Gamma takut bila terlalu lama meninggalkan wanita itu sendirian. Lebih tepatnya pria itu khawatir.Bagaimana tidak? Rossa dan segala permainannya masih mengancam kebahagiannya. Ditambah dengan Bu Ambar yang masih menjadi pertanyaan dalam benaknya. Dan, lelaki itu tak tahu, siapa lagi yang ingin berusaha menghancurkan rumah tangganya?"Sayang? Belum tidur?" tanya Gamma begitu melihat sang istri masih terjaga. Serra sedang terbaring pada ranjang masih dengan aktivitasnya menonton drama favoritnya. Hal itu membuat Gamma menerbitkan senyum tipisnya sembari menggelengkan kepala. Sungguh heran, mengapa wanitanya itu sangat betah menonton sebuah cerita kendati harus menghabiskan waktu berjam-jam lamanya. "Sudah berapa episode yang kau tonton hari ini, hm?"Sete
“Wellcome home!” Sebuah suara bariton menyambut kedatangan Serra membuat wanita itu spontan membuat Serra tersenyum dan melemparkan pandangannya kepada seseorang yang berdiri di sampingnya. Itu William, adik Gamma. Mereka berdua baru saja tiba di kediaman Gamma yang baru saja selesai di renovasi beberapa hari yang lalu. Sembari membuka pintu utama, William menuntun Serra berjalan. Satu tangannya ia gunakan untuk menenteng sebuah tas berisi pakaian milik istri Gamma itu. Kemana perginya Gamma? Mengapa tidak lelaki itu sendiri yang menjemput Serra? Seperti yang dikatakannya semalam, pria itu sedang menemui seorang tamu yang cukup penting dari Australia. Jika biasanya lelaki itu melemparkan tanggung jawabnya kepada sang adik, maka untuk kali ini tidak bisa. Mitra bisnis itu harus bertemu dengan Gamma. Sekalian reuni sebab orang tersebut adalah teman akrab semasa kuliah dahulu. “Terima kasih sudah menjemputku, Will. Maaf merepotkanmu, sebenarnya akum au pulang sendiri dengan supir sa
Sudah satu jam lamanya Serra terdiam di kamar yang sempat ia gunakan beberapa bulan yang lalu, hanya berbaring di atas ranjang dengan sprei hijau tak bermotif ini tanpa memejamkan kedua matanya. Serra sudah mencoba untuk tidur dan beristirahat siang, akan tetapi entah mengapa ketika ia memejamkan mata justru kantuknya tak kunjung datang. Matanya malah semakin segar tak ingin terpejam.Sementara William masih berkutat di dapur, entah apa yang dimasak lelaki itu, tetapi bisa Serra dengar bagaimana bunyi benturan pisau dengan talenan yang cukup keras.Bosan. Itulah yang dirasakan Serra saat ini. Bagaimana tidak jenuh, jika setiap hari yang ia lakukan hanya berbaring saja? Terkadang hanya menonton drama serial china kesukaannya tanpa bisa melakukan aktivitas lainnya. Sungguh ia rindu dapur dan tamannya.Dan, sejak tadi ia hanya mengamati benda-benda baru di ruangan ini dari kejauahan. Kamar ini adalah Kamar Serra. Tidak ada perubahan yang berarti. Semuanya masih sama, hanya interiornya s
Setelah hampir satu jam berkutat di dapur, akhirnya satu mangkuk besar Tuna Kuah Kuning sudah tersaji di meja makan. William menambahkan bawang merah goreng di atas kuah yang baru saja mendidih itu. Selesai sudah tugasnya memasak makan malam untuk manusia-manusia yang tinggal di rumah ini. Sebenarnya, memasak ikan adalah hal yang paling ia benci. Bau amis yang sulit hilang itu merepotkan baginya. Namun, tidak ada resep lain yang terpikirkan William, saat menemukan dua bungkus ikan tuna fillet yang masih segar di dalam lemari pendingin. Tak ada sayuran hijau, tidak adad aging. Benar-benar hanya ikan tuna itu saja. Lalu beberapa buah tomat dan bumbu dapur. Alhasil ia terpaksa membuat ikan tuna kuah kuning ini. Kendati tak menyukai proses memasaknya, tetapi William tetap saja lahap jika menyantap hidangan itu. Ada yang berbeda dari aktivitas William kali ini. Pria itu memang terlihat berkutat di dapur sendirian. Namun, sebenarnya ia tidak sendiri. Ada sosok yang sedang menemaninya seca
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika