Alastar bangkit dari kursinya, lalu menunduk sedikit untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan Joya yang masih duduk terpaku. Dengan penuh kehati-hatian, ia mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Joya yang masih gemetar."Ayo, kita pulang," bisiknya pelan, nyaris seperti belaian angin yang lembut. Joya tidak langsung bereaksi, hanya mengedipkan matanya yang masih sembap dengan air mata. Napasnya terdengar putus-putus, menahan gejolak dalam dadanya yang begitu menyakitkan. Namun, ketika Alastar membantunya berdiri, tubuh Joya mengikuti tanpa perlawanan.Langkah mereka pelan, nyaris tanpa suara saat menuruni tangga kafe. Alastar tetap menjaga Joya. Satu tangannya yang kokoh terus merangkul bahu Joya, memastikan wanita itu tidak limbung atau kehilangan keseimbangan.Tatkala mereka melewati pintu belakang dan tiba di area parkiran yang sepi, Alastar segera membukakan pintu mobil untuk Joya. Dengan lembut, ia membantu Joya duduk, lalu memasangkan sabuk pengaman di tubuh wanita itu. Sesa
"Kau mungkin tidak mengenalku, Joya, tapi aku mengenalmu. Aku telah mengamatimu selama bertahun-tahun, dari kejauhan,” pungkas Alastar. Sekilas, ada kilatan sedih dalam sorot mata pria tampan itu.“Aku selalu berada di bayang-bayang, sebab … kau terlanjur memilih Denis,” tutur Alastar, suaranya terdengar semakin berat. “Dulu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu melindungimu. Memastikan kau tidak akan terluka. Tapi nyatanya, aku gagal."Joya menatap Alastar dengan mata yang semakin membesar, dadanya naik turun dengan cepat."Tolong, bicaralah yang jelas. Aku … tidak mengerti,” pinta Joya dengan mata berkaca-kaca.Alastar menatap langit-langit sejenak, sebelum kembali menatap Joya. Kemudian, ia meraih tangan wanita itu dan meletakkan di bahunya, membiarkan jemari Joya yang gemetar menelusurinya. Sentuhan itu dingin, seperti menyimpan kepingan rasa takut dan ketidakpastian yang begitu dalam.Setiap gerakan tangan Joya terasa ragu-ragu, seolah dirinya masih mencoba memahami keny
Joya menitikkan air mata. Ingatan tentang masa lalu mereka berputar di benaknya, menghangatkan hatinya dengan kenangan yang telah lama terlupakan.Perlahan, Joya berjinjit dan membelai wajah Alastar. Ia menatap lelaki itu dalam-dalam, seolah tak percaya bahwa pria tampan nan gagah di hadapannya adalah anak lelaki gemuk yang pernah ia tolong bertahun-tahun silam.Jemari Joya menyusuri garis rahang tegas Alastar, merasakan tekstur kulitnya yang hangat dan kokoh. Alastar tetap diam, membiarkan Joya menyentuhnya, membiarkan wanita itu tenggelam dalam kebingungan dan keharuan yang melanda hatinya.“Kau berubah begitu drastis…,” gumam Joya, suaranya bergetar, di antara haru dan ketidakpercayaan.Alastar tersenyum tipis, sorot matanya teduh saat ia menggenggam jemari Joya yang masih menyentuh wajahnya. “Aku tidak melakukan operasi plastik atau semacamnya. Ini adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun, ” ujarnya lembut. “Setelah kejadian itu, aku bertekad mengubah hidupku. Aku menjalani
Alastar terpaku, jantungnya berdegup cepat, tetapi senyum perlahan mengembang di wajahnya ketika mendengar pengakuan Joya. Matanya menatap dalam ke mata perempuan itu, seolah ingin menyelami seluruh isi hatinya.Joya menelan ludah sebelum melanjutkan, "Aku hanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Aku menghalau perasaan ini, aku menyangkalnya, aku mencoba membenci dirimu,” pungkas Joya memberanikan diri untuk berkata jujur. Setiap detik bersama Alastar memang terasa begitu berbeda. Ada kehangatan yang ia rasakan, ada perasaan aman yang selama ini tak pernah ia miliki. Alastar telah menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya. Dan mungkin, ia bisa belajar mencintainya lebih dari yang pernah ia bayangkan.“Tapi, tanpa kusadari, perasaan itu sudah tumbuh. Aku rasa … aku mulai menyukaimu,” tutur Joya dengan suara parau. Senyum di wajah Alastar semakin lebar, seperti remaja yang baru saja diterima cintanya oleh sang pujaan hati. Jemarinya mengangkat dagu Joya dengan lembut, membuat
Di bawah selimut tebal, dua insan masih terlelap di alam mimpi. Tubuh mereka saling menyatu dalam dekapan kehangatan setelah malam panjang yang penuh gairah. Napas mereka beriringan, teratur, dan tenang, seolah enggan berpisah dari satu sama lain meski pagi telah tiba.Namun, kedamaian itu perlahan terusik oleh dering ponsel yang memenuhi ruangan. Nada dering yang nyaring menusuk keheningan, membuat Joya menggeliat pelan dalam pelukan Alastar. Dengan malas, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Sekilas, Joya melirik ke arah ponsel yang terus bergetar di atas nakas. Ia menguap kecil, tubuhnya terasa begitu lelah, seakan baru menempuh perjalanan panjang. Dan itu semua karena ulah Alastar semalam.Pipi Joya merona begitu mengingat apa yang telah terjadi di antara mereka. Wajahnya memanas, malu sendiri dengan pikirannya yang tiba-tiba berkelana ke malam yang penuh hasrat itu. Rasanya, Joya ingin menyembunyikan diri di balik selimut, tetapi dering ponsel yang tak kunjung berhenti m
Joya menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang apakah ia harus mengangkat panggilan itu atau mengabaikannya saja. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, Alastar telah lebih dulu bergerak. Ia meraih ponsel dari tangan Joya, menekan tombol merah, dan membiarkan panggilan itu terputus begitu saja."Alastar…," Joya berbisik, ada sedikit kebingungan dalam suaranya.Alastar menghela napas berat, lalu menatap Joya dengan serius. "Aku tidak ingin dia merusak hari kita, Baby. Jangan biarkan dia mengacaukan kebahagiaan yang baru saja kita mulai," ujarnya penuh ketegasan.Joya menatap mata Alastar, melihat ketulusan di sana. Perlahan, ia mengangguk. Hari ini bukan tentang masa lalu. Hari ini adalah tentang dirinya, tentang kebahagiaan yang ingin ia raih bersama pria yang ada di sisinya sekarang. Dan ia sadar, bersama Alastar ia mulai menemukan makna cinta yang sebenarnya."Bagus. Ayo kita pergi. Bryan pasti sudah tidak sabar menunggu,” pungkas Al
Di dalam toilet restoran, Alastar bersandar pada wastafel, menatap refleksi wajahnya di cermin. Napasnya bergetar halus saat ia merogoh ponselnya dan menekan tombol panggilan balik. Begitu nada sambung berakhir, suara bariton yang familiar terdengar di ujung sana. Itu adalah suara dokter pribadinya."Akhirnya kau menelepon balik juga," sapa seorang pria, nada bicaranya terdengar tegas tetapi sedikit cemas. Alastar menghela napas, berusaha terdengar santai. "Ada apa, Dok?" tanyanya, meskipun dalam hati ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini."Alastar, kenapa kau belum juga datang untuk pemeriksaan lanjutan? Ini bukan sesuatu yang bisa kau tunda terlalu lama." Nada suara sang dokter semakin serius.Alastar mengusap wajahnya dengan satu tangan."Aku belum bisa, Dok. Masih ada hal penting yang harus aku urus saat ini. Aku juga sedang bersiap untuk menikah dengan calon istriku."Dari seberang telepon, terdengar helaan napas panjang. "Alastar, aku tahu kau keras kepala. Tapi, kondisim
Dengan hati-hati, Joya mengambil ponselnya dari dalam tas. Tangannya sedikit gemetar saat ia menekan nomor yang sudah tersimpan. Ia berharap Alastar tidak akan kembali lebih cepat dari yang ia perkirakan.Nada sambung terdengar beberapa kali. Joya berpikir bahwa Denis yang lebih dahulu mengangkat telepon itu. Tak disangka, suara lembut sang ibu mertua yang menjawab di ujung telepon.“Joya. Akhirnya kamu menelepon juga, Nak,” sapa Bu Dewi. Seketika, rasa bersalah kembali menyelimuti Joya. Kendati ia benci dan muak pada Denis, semestinya ia tidak boleh mengabaikan sang ibu mertua. “Ibu… maafkan saya. Saya seharusnya menelepon lebih cepat.”Tidak ada kemarahan dalam suara Bu Dewi, hanya kehangatan yang membuat hati Joya semakin sesak. “Nak, seharian ini Ibu gelisah memikirkanmu. Kamu baik-baik saja di mess karyawan?”Joya menelan ludah. “Saya baik-baik saja, Bu. Ibu sendiri bagaimana?”“Ibu sehat. Hanya saja … Ibu merindukanmu.”Joya menutup mata sejenak, merasakan dorongan emosi yang
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t