Setelah membayar pesanannya, Joya kembali ke teras kos. Ia duduk di bangku panjang yang ada di depan pintu, sambil menyantap nasi gorengnya perlahan. Sedangkan Bu Wasti kembali ke dalam, sembari menenteng satu bungkus nasi goreng ukuran jumbo. Beberapa menit kemudian, bunyi deru motor terdengar memasuki pagar kos. Joya menoleh ke arah gerbang dan mendapati Siena turun dari motornya. Gadis itu membawa sebuah kantong plastik besar di satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk melepas helmnya."Siena!" panggil Joya gembira.Siena menoleh dan langsung tersenyum tipis saat melihat kakaknya. "Kak Joya sudah lama menunggu?”Joya bangkit, menghampiri adiknya dengan senyum lembut. "Aku baru datang. Tadi sekalian pesan nasi goreng buat kita berdua.”Siena menepuk kantong plastik yang dibawanya. "Aku juga beli makanan. Aku beli martabak manis dan ini..." Siena mengangkat satu gelas plastik berisi minuman dengan warna kehijauan. "Es jeruk nipis."Joya menatap minuman itu dengan dahi berkerut. "
Siena mendadak terdiam. Matanya sedikit membulat, lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangan. Tangannya meraih martabak, meski tadi ia bilang ingin makan nanti. Dengan gerakan agak canggung, ia menarik ujung martabak, lalu menggigitnya kecil-kecil."Mungkin yang dimaksud itu Mas Galih, kakaknya Lita," ujar Siena akhirnya. "Dia sering mengantar Lita ke kosku dan menemani kami untuk mengerjakan skripsi bersama. Kebetulan, dosen pembimbing kami sama.”Joya mengerutkan kening. Jawaban Siena terdengar ganjil. Ia tahu Siena bukan tipe yang mudah dekat dengan pria asing, apalagi jika pria itu bukan bagian dari lingkaran pertemanan dekatnya.“Kenapa sekarang Kak Joya yang banyak bertanya padaku?” tandas Siena dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Ia tahu kakaknya tidak akan berhenti bertanya tentang sosok "kakak laki-laki" yang disebut oleh ibu penjaga kos. Maka, sebelum Joya bisa kembali menyelidik, Siena buru-buru menyerang balik sang kakak."Bukankah tadi siang di kafe, Kakak berjanji akan
Suara kicauan burung di luar membangunkan Joya dari mimpi. Wanita itu mengerjapkan mata, mengusir kantuk yang masih menempel, lalu duduk di tepi ranjang. Udara pagi terasa sejuk, dan ia memutuskan untuk segera mandi agar bisa bersiap lebih awal. Dengan langkah ringan, Joya mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Setelah menyegarkan diri, Joya keluar dengan aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Namun, ia terkejut saat melihat Siena tiba-tiba berlari menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Tanpa sempat bertanya, Siena sudah menutup pintu, dan tak lama kemudian terdengar suara muntah dari dalam. Joya mengernyit khawatir, lalu mengetuk pintu dengan lembut."Siena? Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Tak ada jawaban. Sebagai gantinya, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, menandakan Siena sudah mulai mandi. Joya menghela napas panjang, memutuskan untuk menunggu hingga adiknya keluar. Setelah beberapa saat, pintu kamar mandi terbuka. Siena melangkah keluar
Livia tersenyum sopan kepada wanita cantik yang berdiri angkuh di hadapan mereka. "Joya adalah sekretaris baru yang akan menggantikan saya, Bu," jelasnya dengan nada profesional.Bianca mengangkat sebelah alisnya, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Pantas saja dia tidak sopan karena tidak menyapaku lebih dulu," ucapnya dengan nada meremehkan. Mata tajamnya menatap Joya tak berkedip, seolah menilai apakah wanita di hadapannya cukup pantas untuk berdiri di tempat ini.Livia segera memberi isyarat pada Joya agar menyapa Bianca dan memperkenalkan diri. Menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, Joya menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan. "Selamat pagi, Bu Bianca. Nama saya Joya, sekretaris baru Pak Alastar."Bianca hanya mengangguk kecil, ada sorot kesombongan di matanya. "Sebagai sekretaris CEO, kau harus belajar menjaga sikap," ujarnya dengan nada dingin. "Apalagi terhadap rekan bisnis penting Alastar, sekaligus orang terdekatnya."Mendengar itu, hati Joya terasa sesak
Joya duduk di kursinya, sibuk menyusun beberapa laporan yang harus diselesaikan. Sebagai sekretaris, ia harus membuat laporan keuangan mingguan, beberapa memo ke divisi terkait, dan juga laporan kunjungan ke outlet bersama CEO. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik di laptop, sesekali memeriksa kembali dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani Alastar. Dentuman halus pintu terbuka membuat Joya refleks mengangkat kepala. Matanya menangkap sosok Bianca yang keluar dari ruangan, diikuti oleh Alastar yang mengantarnya hingga ke pintu.Asisten pribadi Bianca pun sudah bersiap menunggu di luar. Namun, yang membuat napas Joya sedikit tercekat adalah ketika Bianca mendadak berbalik dan memeluk Alastar di depan matanya. "Aku akan menunggumu di restoran hotel Crown jam tujuh malam, Al. Jangan lupa," ujar Bianca dengan nada lembut, tetapi cukup lantang untuk didengar Joya dan Livia. Joya dengan cepat menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi yang berkecamuk dalam dirinya. Sementara itu, Alas
Livia segera berdiri dan tersenyum sopan kepada Denis. "Silakan duduk dulu, Pak Denis. Saya akan menghubungi Pak Alastar."Denis hanya mengangguk singkat, lalu duduk di salah satu kursi tamu tanpa menyapa Joya. Sementara itu, Livia beralih pada Joya, menatapnya dengan sorot mata penuh makna. "Joya, kamu saja yang mengurus ini. Tanyakan dulu kepada Pak Alastar."Joya meneguk ludahnya, sedikit gelisah. Ia tidak tahu apa tujuan Alastar memanggil Denis. Apakah ini ada kaitannya dengan kepulangannya hari ini untuk menjemput ibu mertuanya? Atau justru ada hal lain yang tak ia ketahui?Dengan ragu, Joya pun mengangkat gagang telepon dan menekan tombol sambungan langsung ke ruang CEO. Ia berusaha keras melupakan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Alastar tadi.Setelah beberapa nada tunggu, suara bariton Alastar terdengar di seberang."Ya, ada apa?"Joya berdeham, berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap stabil. "Maaf, Pak Alastar, Pak Denis sudah tiba. Apakah diizinkan masuk?"
Joya semakin geram mendengar percakapan dua pria di hadapannya, yang menganggap dia seperti barang yang bisa dipindah-tangankan. Seperti biasa, dengan mudahnya Denis menyetujui setiap perintah sang CEO, dan kini tanpa ragu menyepakati bahwa ia akan tinggal bersama Alastar. Sungguh, Denis tak layak lagi dipandang sebagai seorang suami. Di sisi lain, Alastar dengan sewenang-wenang menuntutnya untuk mengikuti perintah tersebut. Namun, Joya menahan diri untuk tidak berbicara dulu. Ia sudah memiliki rencana sendiri untuk melepaskan diri dari dua pria gila ini.“Maaf, Pak. Jadi, hari ini saya masih boleh pulang bersama Joya?” tanya Denis memastikan. “Benar,” jawab Alastar tegas. “Tapi, aku melakukan ini atas permintaan Joya, bukan karena kau. Dan ingat, Joya harus sudah meninggalkan rumahmu paling lambat hari Minggu.”Mendengar hal itu, wajah Denis berubah, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengucapkan terima kasih kepada Alastar, lalu mohon diri tanpa berani melayangkan protes
Joya menggeleng, mencoba memahami jalan pikiran Alastar. Ia tahu, ini bukan sekadar rumah melainkan bentuk lain dari kendali Alastar atas hidupnya. Bagaimanapun, ia harus mencari cara untuk keluar dari lingkaran gelap ini."Saya bisa mencari tempat sendiri. Saya tidak butuh rumah yang—""Aku tidak menerima penolakan," potong Alastar tegas.Mobil mewah berwarna hitam pekat itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya Amerika klasik. Rumah itu memiliki dua lantai dengan dominasi kaca yang luas, memungkinkan sinar matahari menerangi hampir seluruh bagian dalamnya.Warna cokelat kayu berpadu sempurna dengan aksen putih di tiang dan jendela, menciptakan kesan hangat. Sebuah balkon kecil di lantai dua tampak menghadap halaman depan, yang dihiasi rumput hijau dan beberapa tanaman hias. Sopir Alastar membunyikan klakson sekali, dan beberapa saat kemudian, gerbang besi hitam perlahan terbuka. Seorang pria berperawakan tegap muncul, membukakan pintu gerbang dengan sikap hormat. Ta
Mata Siena membelalak seketika. Rahangnya sedikit mengendur, dan ia tampak kesulitan menyembunyikan keterkejutannya."Bukankah itu mobilnya Pak Alastar?"Joya mengangguk, seolah itu bukan hal yang luar biasa. "Iya, tapi sekarang sudah menjadi fasilitasku. Sebagai sekretaris CEO, aku mendapat mobil operasional."Dada Siena tampak naik turun. Ada sesuatu di matanya yang berkedip cepat—seperti perasaan tidak percaya yang bercampur dengan sesuatu yang lebih gelap. Joya bisa melihat bagaimana pikiran adiknya bekerja, bagaimana Siena mulai mencerna informasi itu. Namun, Joya tidak ingin memberinya waktu untuk berpikir terlalu lama.Ia meraih pergelangan tangan Siena dengan lembut, menggenggamnya seolah tak ingin membiarkan adiknya melarikan diri. "Ayo, kita pergi sekarang. Aku sudah lapar." Joya melangkah ringan menuju pintu mobil, tetapi ekor matanya menangkap ekspresi Siena yang masih memandangi kendaraan mewah itu seolah tak percaya. Seiring mereka berjalan, Joya bisa merasakan getara
Setelah berkata demikian, Joya melangkah menuju pintu. Ia mengerti bahwa Alastar memiliki urusan keluarga yang mendesak, tetapi tetap saja ada sedikit kekecewaan yang menyelinap di hatinya.Baru saja ia mengulurkan tangan untuk membuka pintu, tiba-tiba sentuhan hangat menyergap pergelangan tangannya. Dalam sekejap, ia ditarik ke dalam dekapan yang begitu erat dan menenangkan."Aku benar-benar ingin menemanimu, tapi keadaan tidak memungkinkan. Aku ingin kau berhati-hati, Baby,” suara Alastar terdengar dalam keheningan ruangan, penuh dengan ketulusan."Siena ... dia sudah membuktikan kalau dia bisa melakukan hal di luar nalar hanya untuk menyakitimu. Jika kau membongkar semua kebohongannya, siapa tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya?"Dada Joya naik turun perlahan. Ia tidak menyangka Alastar akan sekhawatir ini. Jemari tangannya terangkat, membalas pelukan pria itu."Jangan cemas. Aku sudah menjadi kakaknya selama dua puluh sa
Setelah jam makan siang berlalu, Joya kembali ke meja kerjanya. Livia sudah lebih dahulu tiba dan kini menatapnya dengan sorot mata tajam, seakan memastikan bahwa Joya sudah siap kembali bekerja. Tanpa banyak bicara, Joya segera mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkas di atas meja. Sementara itu, Arman kembali memasuki ruangan Alastar dengan membawa beberapa dokumen tambahan. Alastar masih duduk di kursinya, tenggelam dalam lautan laporan yang seolah tiada habisnya. Tangannya bergerak lincah menelusuri angka dan grafik, matanya tajam mengamati setiap detail. Wajahnya masih serius, tetapi samar-samar terlihat gurat kelelahan di sana. Hingga tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar dan berdering, menarik perhatiannya dari tumpukan dokumen.Alastar melirik layar ponselnya, dan alisnya sedikit berkerut saat melihat nama yang tertera di sana. Alena. Kakak perempuannya yang masih berada di luar negeri untuk mengikuti pagelaran fashion show. Tidak biasanya Alena menel
Makanan yang dipesan oleh Joya akhirnya tiba, membuat mereka berhenti bekerja. Joya segera bangkit dari kursinya, menerima tas makanan dari kurir lalu kembali ke ruangan Alastar.Aroma makanan sehat yang menggugah selera, menyebar di seluruh sudut ruangan. Joya mulai menyusun makanan di atas meja dengan telaten, membuka kemasan satu per satu dan menyajikannya dengan rapi.Alastar menatap makanan itu sejenak. Bukannya langsung mengambil sendok, pria itu justru menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menatap Joya dengan mata tajam yang menyiratkan sesuatu."Aku tidak mau makan sendirian," ujarnya, nada suaranya terdengar lembut tetapi tak terbantahkan.Joya sempat ragu, matanya melirik jam di dinding. Waktu makan siang mereka tidak banyak, dan ia masih memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan. Namun, melihat ekspresi Alastar yang seolah menunggu, ia akhirnya menghela napas kecil dan mengangguk. "Baiklah, aku akan menemanimu makan," katanya, menarik kursi agar lebih dekat.Alastar
Usai menandatangani surat cerai, Joya berusaha fokus lagi dengan pekerjaannya. Ini adalah kesempatan terakhirnya belajar dari Livia, dan ia harus mempelajari semua yang diperlukan. Namun, pikirannya terus-menerus melayang kepada reaksi sang ibu mertua. Entah apa yang terjadi, bila perempuan paruh baya itu mengetahui perceraiannya dengan Denis."Joya, pesan hotel yang ini saja untuk Pak Alastar," suara Livia membuyarkan lamunannya.Joya mengerjapkan mata sebelum buru-buru mengangguk. "Baik."Namun, saat ia hendak melakukan pemesanan, sebuah pikiran melintas di benaknya. “Bu Livia, apakah Pak Alastar harus pergi? Akhir-akhir ini, saya melihat Pak Alastar kurang sehat."Livia menghela napas. "Ini permintaan Beliau sendiri sebelum kau datang. Pak Alastar harus memberikan sambutan dan melakukan pemotongan pita untuk grand opening outlet baru. Selain itu, ada pertemuan penting dengan para pengusaha di sana."Joya menggigit bibirnya, merasa sedikit khawatir. Ia tahu bahwa kesehatan Alastar
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Joya akhirnya menggerakkan pena itu, menuliskan namanya di bagian tanda tangan. Begitu tanda tangan itu terukir, rasanya seperti sebuah beban besar terangkat dari pundaknya—meski sekaligus meninggalkan luka yang tak kasat mata.Usai memberikan persetujuan, Joya menutup map itu dan menyerahkannya kepada Tuan Erlangga. "Sudah, Tuan," ucapnya lirih.Tuan Erlangga menerima dokumen tersebut dengan anggukan kecil. "Baik. Saya akan segera memprosesnya."Joya menunduk, hatinya mendadak diliputi rasa bersalah. Membayangkan kesedihan yang akan dirasakan sang ibu mertua, membuat dada Joya terasa sesak.Ia tahu bahwa setelah ini, ibu mertuanya pasti akan sangat kecewa padanya. Wanita itu telah begitu baik, memperlakukannya seperti anak sendiri. Namun, cepat atau lambat ia memang harus mengambil keputusan.Tak ayal, mata Joya sedikit berkaca-kaca saat ia mengalihkan pandangan kepada Alastar. "Boleh saya keluar? Saya ingin melanjutkan pekerjaan,” pintanya mengg
Dengan langkah lebar, Joya menuju lobi dengan hati yang masih berdebar. Sejak turun dari mobil Alastar, ia merasa was-was jika ada seseorang yang melihat mereka datang bersama. Ternyata, ia berhasil sampai di lobi tanpa ada tatapan curiga dari siapapun.Joya menarik napas, ia berhasil lolos. Tak ada yang mengetahui bahwa pagi ini ia berangkat bersama bosnya, Alastar.Tanpa membuang waktu, Joya bergegas menuju lift. Namun, sebelum pintu lift tertutup, suara familiar menghentikan langkahnya."Joya!"Mendengar suara yang memanggilnya, Joya menoleh. Ia bertemu pandang dengan Livia yang berdiri tak jauh darinya. "Aku sengaja datang pagi," kata Livia sambil tersenyum tipis. "Ini hari terakhirku bekerja di sini, dan aku ingin memberikan pelajaran maksimal untukmu."Joya menelan ludah dan mengangguk. "Baik, Bu Livia."Mereka berdua masuk ke lift, dan suasana di dalam terasa hening. Livia memang selalu tegas dan perfeksionis, tetapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Joya
Denis mendongak, menatap langit yang mulai memutih, tanda matahari sudah mulai merangkak naik. Siena sudah pergi, meninggalkan jejak perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia mengembuskan napas berat sekali lagi, sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menangkap sosok sang ibu yang sedang berdiri di dapur, mencuci piring dengan perlahan. Seharusnya ibunya sedang beristirahat, bukan malah beraktivitas seperti ini."Bu, sudah, jangan. Biar aku saja yang mencuci piringnya." Denis melangkah cepat, mendekati Bu Dewi dan mengulurkan tangan, bermaksud mengambil piring dari pegangan ibunya. Namun, Bu Dewi menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Ibu hanya mencuci sedikit, nggak akan membuat Ibu lelah." Denis masih ingin membujuk, tetapi melihat bagaimana sang ibu tetap melanjutkan pekerjaannya dengan hati-hati, ia mundur selangkah. Tangannya terlipat di depan dada, memperhatikan gerak-gerik ibunya dengan seksama. Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum B
Denis tidak punya pilihan selain membiarkan Siena masuk ke dalam rumah. Meskipun kedatangannya yang mendadak ini membuatnya merasa canggung, ia tidak mungkin menolaknya begitu saja, terutama saat Siena telah berdiri di depan pintu dengan wajah penuh semangat. Dengan langkah ringan dan senyum lebar, Siena melangkah masuk. Gadis itu bersikap seolah-olah tidak merasakan ketegangan yang merayapi Denis sejak pertama kali melihatnya di depan rumah.Dari dalam kamar, Bu Dewi baru saja keluar, mengenakan daster berwarna lembut dan menyisir rambutnya yang mulai memutih. Saat pandangannya bertemu dengan sosok Siena yang berdiri di ruang tamu, alisnya sedikit berkerut karena terkejut. Ia tak menyangka Siena akan datang sepagi ini. “Siena? Pagi-pagi begini sudah ada di sini?” tanyanya dengan nada heran.Siena segera tersenyum manis, seakan telah menyiapkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. “Selamat pagi, Bu Dewi.” Suaranya lembut dan penuh keceriaan. “Saya datang membawa sarapan