Joya menggigit bibirnya, bingung harus merespon seperti apa. Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya terguncang mendengar pernyataan Alastar, bahwa ia adalah wanita pertama yang disentuh pria itu. Entah mengapa ada rasa bersalah yang melandanya, saat menatap sorot kecewa di mata Alastar.Namun, ia tidak boleh terpengaruh. Ini bukan tentang cinta atau hubungan jangka panjang. Ini hanya tentang … sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi.Ia yakin Alastar hanya berbohong untuk merayunya, membuatnya semakin terjebak dalam pesona lelaki itu. Bagaimana mungkin pria tampan, kaya, dan masih bujangan—tidak pernah menyentuh wanita mana pun sebelumnya? Untungnya, Alastar tidak menuntut jawaban. Pria itu kembali memejamkan mata dan membiarkan Joya memijatnya. Napasnya perlahan menjadi teratur, menunjukkan bahwa ia telah masuk ke dunia mimpi.Sejenak, Joya menghentikan pijatan lembutnya. Ia menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah, memastikan bahwa kelopak mata Alastar tidak bergerak. Jika Alastar
Setelah membayar pesanannya, Joya kembali ke teras kos. Ia duduk di bangku panjang yang ada di depan pintu, sambil menyantap nasi gorengnya perlahan. Sedangkan Bu Wasti kembali ke dalam, sembari menenteng satu bungkus nasi goreng ukuran jumbo. Beberapa menit kemudian, bunyi deru motor terdengar memasuki pagar kos. Joya menoleh ke arah gerbang dan mendapati Siena turun dari motornya. Gadis itu membawa sebuah kantong plastik besar di satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk melepas helmnya."Siena!" panggil Joya gembira.Siena menoleh dan langsung tersenyum tipis saat melihat kakaknya. "Kak Joya sudah lama menunggu?”Joya bangkit, menghampiri adiknya dengan senyum lembut. "Aku baru datang. Tadi sekalian pesan nasi goreng buat kita berdua.”Siena menepuk kantong plastik yang dibawanya. "Aku juga beli makanan. Aku beli martabak manis dan ini..." Siena mengangkat satu gelas plastik berisi minuman dengan warna kehijauan. "Es jeruk nipis."Joya menatap minuman itu dengan dahi berkerut. "
Siena mendadak terdiam. Matanya sedikit membulat, lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangan. Tangannya meraih martabak, meski tadi ia bilang ingin makan nanti. Dengan gerakan agak canggung, ia menarik ujung martabak, lalu menggigitnya kecil-kecil."Mungkin yang dimaksud itu Mas Galih, kakaknya Lita," ujar Siena akhirnya. "Dia sering mengantar Lita ke kosku dan menemani kami untuk mengerjakan skripsi bersama. Kebetulan, dosen pembimbing kami sama.”Joya mengerutkan kening. Jawaban Siena terdengar ganjil. Ia tahu Siena bukan tipe yang mudah dekat dengan pria asing, apalagi jika pria itu bukan bagian dari lingkaran pertemanan dekatnya.“Kenapa sekarang Kak Joya yang banyak bertanya padaku?” tandas Siena dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Ia tahu kakaknya tidak akan berhenti bertanya tentang sosok "kakak laki-laki" yang disebut oleh ibu penjaga kos. Maka, sebelum Joya bisa kembali menyelidik, Siena buru-buru menyerang balik sang kakak."Bukankah tadi siang di kafe, Kakak berjanji akan
Suara kicauan burung di luar membangunkan Joya dari mimpi. Wanita itu mengerjapkan mata, mengusir kantuk yang masih menempel, lalu duduk di tepi ranjang. Udara pagi terasa sejuk, dan ia memutuskan untuk segera mandi agar bisa bersiap lebih awal. Dengan langkah ringan, Joya mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Setelah menyegarkan diri, Joya keluar dengan aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Namun, ia terkejut saat melihat Siena tiba-tiba berlari menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Tanpa sempat bertanya, Siena sudah menutup pintu, dan tak lama kemudian terdengar suara muntah dari dalam. Joya mengernyit khawatir, lalu mengetuk pintu dengan lembut."Siena? Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Tak ada jawaban. Sebagai gantinya, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, menandakan Siena sudah mulai mandi. Joya menghela napas panjang, memutuskan untuk menunggu hingga adiknya keluar. Setelah beberapa saat, pintu kamar mandi terbuka. Siena melangkah keluar
Livia tersenyum sopan kepada wanita cantik yang berdiri angkuh di hadapan mereka. "Joya adalah sekretaris baru yang akan menggantikan saya, Bu," jelasnya dengan nada profesional.Bianca mengangkat sebelah alisnya, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Pantas saja dia tidak sopan karena tidak menyapaku lebih dulu," ucapnya dengan nada meremehkan. Mata tajamnya menatap Joya tak berkedip, seolah menilai apakah wanita di hadapannya cukup pantas untuk berdiri di tempat ini.Livia segera memberi isyarat pada Joya agar menyapa Bianca dan memperkenalkan diri. Menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, Joya menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan. "Selamat pagi, Bu Bianca. Nama saya Joya, sekretaris baru Pak Alastar."Bianca hanya mengangguk kecil, ada sorot kesombongan di matanya. "Sebagai sekretaris CEO, kau harus belajar menjaga sikap," ujarnya dengan nada dingin. "Apalagi terhadap rekan bisnis penting Alastar, sekaligus orang terdekatnya."Mendengar itu, hati Joya terasa sesak
Joya duduk di kursinya, sibuk menyusun beberapa laporan yang harus diselesaikan. Sebagai sekretaris, ia harus membuat laporan keuangan mingguan, beberapa memo ke divisi terkait, dan juga laporan kunjungan ke outlet bersama CEO. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik di laptop, sesekali memeriksa kembali dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani Alastar. Dentuman halus pintu terbuka membuat Joya refleks mengangkat kepala. Matanya menangkap sosok Bianca yang keluar dari ruangan, diikuti oleh Alastar yang mengantarnya hingga ke pintu.Asisten pribadi Bianca pun sudah bersiap menunggu di luar. Namun, yang membuat napas Joya sedikit tercekat adalah ketika Bianca mendadak berbalik dan memeluk Alastar di depan matanya. "Aku akan menunggumu di restoran hotel Crown jam tujuh malam, Al. Jangan lupa," ujar Bianca dengan nada lembut, tetapi cukup lantang untuk didengar Joya dan Livia. Joya dengan cepat menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi yang berkecamuk dalam dirinya. Sementara itu, Alas
Livia segera berdiri dan tersenyum sopan kepada Denis. "Silakan duduk dulu, Pak Denis. Saya akan menghubungi Pak Alastar."Denis hanya mengangguk singkat, lalu duduk di salah satu kursi tamu tanpa menyapa Joya. Sementara itu, Livia beralih pada Joya, menatapnya dengan sorot mata penuh makna. "Joya, kamu saja yang mengurus ini. Tanyakan dulu kepada Pak Alastar."Joya meneguk ludahnya, sedikit gelisah. Ia tidak tahu apa tujuan Alastar memanggil Denis. Apakah ini ada kaitannya dengan kepulangannya hari ini untuk menjemput ibu mertuanya? Atau justru ada hal lain yang tak ia ketahui?Dengan ragu, Joya pun mengangkat gagang telepon dan menekan tombol sambungan langsung ke ruang CEO. Ia berusaha keras melupakan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Alastar tadi.Setelah beberapa nada tunggu, suara bariton Alastar terdengar di seberang."Ya, ada apa?"Joya berdeham, berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap stabil. "Maaf, Pak Alastar, Pak Denis sudah tiba. Apakah diizinkan masuk?"
Joya semakin geram mendengar percakapan dua pria di hadapannya, yang menganggap dia seperti barang yang bisa dipindah-tangankan. Seperti biasa, dengan mudahnya Denis menyetujui setiap perintah sang CEO, dan kini tanpa ragu menyepakati bahwa ia akan tinggal bersama Alastar. Sungguh, Denis tak layak lagi dipandang sebagai seorang suami. Di sisi lain, Alastar dengan sewenang-wenang menuntutnya untuk mengikuti perintah tersebut. Namun, Joya menahan diri untuk tidak berbicara dulu. Ia sudah memiliki rencana sendiri untuk melepaskan diri dari dua pria gila ini.“Maaf, Pak. Jadi, hari ini saya masih boleh pulang bersama Joya?” tanya Denis memastikan. “Benar,” jawab Alastar tegas. “Tapi, aku melakukan ini atas permintaan Joya, bukan karena kau. Dan ingat, Joya harus sudah meninggalkan rumahmu paling lambat hari Minggu.”Mendengar hal itu, wajah Denis berubah, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengucapkan terima kasih kepada Alastar, lalu mohon diri tanpa berani melayangkan protes
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t