Saat jarum jam di layar komputer menunjukkan pukul lima sore, Joya merapikan berkas-berkas di mejanya. Tangannya dengan lincah menyusun dokumen dan menutup laptop. Di sebelahnya, Livia memperhatikan aktivitas Joya yang seperti tergesa-gesa ingin pulang."Kau pulang duluan? Seharusnya menunggu CEO kita keluar dulu dari ruangannya," ujar Livia dengan nada datar, tetapi penuh sindiran.Joya menghela napas pelan sebelum menjawab, "Saya sudah meminta izin kepada Pak Alastar. Saya akan pulang tepat waktu hari ini."Livia mengangkat alisnya, lalu mengedikkan bahu. "Ya, terserah kalau begitu. Tapi, jangan sering-sering. Nanti aku yang disalahkan karena dianggap salah mendidikmu."Joya tersenyum tipis, mengiyakan dengan sopan, lalu buru-buru mengambil tasnya. Begitu keluar dari kantor, ia segera masuk ke taksi yang telah menunggunya.Di dalam taksi, Joya bersandar dan menarik napas panjang. Seketika pikirannya melayang ke ucapan Alastar bahwa ia harus pulang ke apartemen sebelum pukul sembilan
Joya menatap kosong ke luar jendela taksi, pikirannya masih bergelayut pada pesan singkat yang tadi sempat ia baca di ponsel Denis. Ia tidak mengerti, bagaimana mungkin pria yang selama ini menjadi suaminya tega mengkhianatinya? Dan yang lebih menyakitkan, perselingkuhan itu sepertinya telah berlangsung lama.Lamunan Joya buyar ketika suara sopir taksi menegurnya. “Bu, kita sudah sampai.”Joya tersentak dan bergegas turun dari taksi, menghembuskan napas panjang sebelum melangkah menuju lobi apartemen. Begitu masuk, ia segera mencari toilet. Ya, sebelum bertemu dengan Alastar, ia harus memastikan dirinya terlihat sesuai keinginan lelaki itu.Di depan cermin toilet, Joya menatap bayangannya sendiri. Wajahnya pucat, matanya redup, tetapi ia tetap mencoba menguasai diri. Dengan tangan gemetar, Joya mengeluarkan kalung dari dalam tas, menggantungnya di leher, dan menyesuaikan posisinya di cermin."Sudah puas?" gumamnya lirih, seolah berbicara kepada seseorang yang tidak ada.Setelah merapi
Alastar mengernyit. Ia menyandarkan tangannya di meja, menatap piring Joya yang masih menyisakan banyak makanan. Pikiran lelaki itu menerka-nerka, kenapa Joya meninggalkan meja makan dengan tergesa-gesa?Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang jelas bukan sekadar karena Joya kekenyangan atau tidak menyukai makanannya.Dengan cepat, Alastar meletakkan sendoknya dan bangkit dari kursi. "Joya!" panggilnya tegas.Namun, Joya tidak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan menuju kamar, berusaha melarikan diri dari segala emosi yang tengah mencabik hatinya. Jika ia tetap berada di sana, ia takut akan semakin rapuh, semakin larut dalam luka yang berusaha ia pendam sekuat tenaga. Joya terus melangkah ke dalam kamar, mengabaikan perasaannya yang kacau balau. Suara langkah kaki Alastar yang menyusulnya, membuat Joya berbelok ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Tangannya bergetar saat memutar keran wastafel, membiarkan air mengalir deras. Dengan kedua telapak tangannya, Joya menampung
Merasa hampir kehilangan napas, Joya menarik diri. Dadanya naik turun dengan cepat seiring kesadarannya yang perlahan kembali. Ia melepaskan genggamannya dari kaos Alastar, seolah tersadar dari kegilaan sesaat yang baru saja mereka bagi. Joya merasakan getar halus di tubuhnya yang belum sepenuhnya mereda. Malu merayapi dirinya saat ia membalikkan tubuh, membelakangi Alastar yang masih berbaring di sampingnya.Apa yang baru saja ia lakukan? Ia telah bertindak lebih dulu, mencium Alastar tanpa pikir panjang. Dan kini, rasa canggung dan penyesalan menyergapnya tanpa ampun.Sejenak keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Namun, sebelum Joya bisa menenangkan diri, ia merasakan dekapan hangat melingkupi tubuhnya dari belakang. Alastar memeluknya begitu erat, hingga Joya bisa merasakan denyut jantung pria itu yang berdetak kuat di punggungnya."Setelah berani menggoda, kau ingin meninggalkan aku begitu saja?" bisik Alastar di ceruk leher Joya. Nada suaranya
Joya tertegun mendengar pertanyaan Alastar. Darahnya berdesir cepat dan hatinya bergetar. Ia tidak menyangka Alastar akan melontarkan pertanyaan semacam itu. Alastar masih menatapnya dengan tajam, menunggu jawaban. “Kau pantas mendapatkan yang lebih baik,” lanjutnya, kali ini dengan suara yang lebih lembut. “Apa kau masih mencintai Denis?”Joya tidak segera menjawab. Ada perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Cinta? Mungkin dulu ia mencintai Denis, tetapi kini yang tersisa hanyalah luka dan kehancuran. Ia masih bertahan sejauh ini hanya demi kesehatan ibu mertuanya. Namun, pantang bagi Joya untuk mengakui hal itu di hadapan Alastar. Lagi pula, ia tidak memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan, karena hubungan mereka hanya bersifat sementara.Alastar menatapnya tajam, lalu bertanya, "Kenapa diam?”Joya menarik napas dalam, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk di dadanya. "Saya tidak perlu menjawab," ujarnya. "Masalah rumah tangga saya bukan urusan Anda. Saya bercerai ata
Sejenak, waktu terasa berhenti. Mata Joya membelalak, dan pipinya mendadak memanas. "Apa?!"Alastar tersenyum, seolah menikmati keterkejutan Joya. "Kau mendengarnya, ‘kan? Aku hanya penasaran. Seandainya kau menikah denganku, berapa anak yang kau inginkan?"Wajah Joya semakin merah. "Itu... itu pertanyaan macam apa?" "Aku hanya ingin tahu,” ucap Alastar, ada tatapan serius di matanya. “Kalau kau tidak mau menjawab sekarang, tidak apa-apa," kata Alastar akhirnya, nadanya sedikit lebih lembut.Tenggorokan Joya mendadak kering kerontang. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Alastar yang begitu tiba-tiba. Joya pun mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk memperhatikan produk-produk di rak."Lebih baik kita lanjutkan pekerjaan, Pak," ujar Joya, mencoba mengalihkan topik.Ia kemudian memilih keluar dari tempat itu, menghirup udara segar sambil menenangkan debaran jantungnya. Langkahnya cepat, seolah ingin melarikan diri dari situasi yang baru saja terjadi. Sementara Alastar ha
Joya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap keajaiban terjadi agar adiknya tidak melihat keberadaannya di kafe ini. Namun, tampaknya takdir berkata lain. Harapannya seketika sirna saat mendengar suara familiar menyapanya.Perlahan, Joya mengangkat kepala dan melihat Siena berdiri di dekat mejanya, menatapnya dengan mata penuh tanya.“Kak Joya? Kakak di sini?" Siena mengamati penampilan Joya sambil mengernyitkan dahi. "Kenapa pakai baju kantor?"Joya menelan ludah kasar, berusaha mencari jawaban yang tepat. Sebelum ia sempat membuka mulut, mata Siena terarah pada pria yang duduk di hadapan Joya. Seketika, wajah Siena berubah drastis. Terperanjat, ia menatap Alastar yang tengah menikmati makanannya dengan santai."Pak… Pak Alastar?" Suaranya tercekat. "Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu makan siang Bapak. Saya Siena, karyawan magang di bagian Customer Service," sapanya memperkenalkan diri.Alastar mengangkat kepalanya sejenak dan mengangguk. "Selamat siang."Tatapan Siena semakin ta
Setiba di mobil, Joya menatap Alastar dengan ragu. Ia menghela napas sejenak sebelum bertanya kepada lelaki itu."Bapak sanggup mengemudikan mobil sampai ke apartemen?"Alastar, yang baru saja memasang sabuk pengaman, melirik Joya lewat kaca spion."Kalau aku tidak bisa, memangnya kau yang akan menggantikan?" tanyanya dengan nada menyebalkan. "Apakah kau bisa mengemudikan mobil?"Joya langsung mengerucutkan bibirnya, merasa kesal dengan nada meledek pria itu. Ia hanya ingin memastikan kondisi Alastar, bukan memberi celah bagi pria itu untuk mengejeknya. "Tentu saja tidak," jawabnya jengkel. “Saya hanya bisa mengendarai motor."Alastar mengangguk dengan ekspresi puas, seolah menikmati reaksi Joya. "Jangan khawatir. Setelah makan siang tadi, aku merasa bugar kembali."Joya mengembuskan napas pelan. Ia tak ingin berdebat lebih jauh, jadi ia memilih untuk diam dan membiarkan Alastar mengemudikan mobil. Ketika mereka melewati kompleks pertokoan, mata Joya menangkap papan nama supermarket
“Siena?” tanyanya dengan nada heran begitu ia mendekat.Siena menoleh dan tersenyum. “Kak Joya. Aku kebetulan sudah pulang kerja, jadi aku pikir sekalian ikut menjemput Bu Dewi.”Joya mengernyit. Ia tidak menyangka Siena akan ikut dalam perjalanan ini. Seharusnya ia tidak merasa keberatan, tetapi entah mengapa kehadiran Siena membuatnya merasa ada yang janggal. Ia tidak ingin Siena terlalu terlibat dalam urusan rumah tangganya, terutama yang berkaitan dengan Denis.“Kenapa mendadak?” Joya bertanya lagi, matanya bergantian menatap Siena dan Denis.Denis yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat bicara. “Aku yang mengajak Siena, karena kami kebetulan bertemu di lift. Kupikir akan lebih baik jika dia ikut. Nggak ada salahnya, ‘kan?”Joya menghela napas pelan. Tidak ada yang salah, tentu saja. Namun tetap saja, ia merasa kehadiran Siena akan membuatnya lebih sulit untuk menghadapi Denis. Siena melangkah lebih dekat dan menggandeng lengan Joya dengan akrab. “Kak Joya, ayo cepat masuk mob
Joya masih tercengang di tempat, pikirannya berputar menangkap setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Alastar. Rumah ini akan menjadi tempat tinggalnya selamanya? Itu mustahil. Alastar hanya bertindak impulsif, seperti biasa. Mana mungkin dia menetap di sini selamanya. Hubungan mereka hanya bersifat sementara, enam bulan dan tidak lebih. Begitu perjanjian itu berakhir, dia akan pergi, dan Alastar akan menikahi wanita lain yang pantas untuknya. Rumah ini pasti akan menjadi milik istri Alastar kelak, bukan dirinya. Joya pun memilih untuk menelan saja semua perkataan Alastar dan menyimpan kunci rumah itu di dalam tas. Lebih baik ia pura-pura menurut dulu, supaya Alastar merasa berada di atas angin. Barulah nanti ia mencari cara agar bisa keluar dari rumah itu.Selang beberapa detik, pria itu merangkul bahunya.“Kita kembali ke kantor sekarang. Aku tidak mau terlambat menghadiri meeting,” ujar Alastar kemudian.Tanpa banyak bicara, Alastar mengajak Joya kembali ke mobil. Di dalam mob
Joya menggeleng, mencoba memahami jalan pikiran Alastar. Ia tahu, ini bukan sekadar rumah melainkan bentuk lain dari kendali Alastar atas hidupnya. Bagaimanapun, ia harus mencari cara untuk keluar dari lingkaran gelap ini."Saya bisa mencari tempat sendiri. Saya tidak butuh rumah yang—""Aku tidak menerima penolakan," potong Alastar tegas.Mobil mewah berwarna hitam pekat itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya Amerika klasik. Rumah itu memiliki dua lantai dengan dominasi kaca yang luas, memungkinkan sinar matahari menerangi hampir seluruh bagian dalamnya.Warna cokelat kayu berpadu sempurna dengan aksen putih di tiang dan jendela, menciptakan kesan hangat. Sebuah balkon kecil di lantai dua tampak menghadap halaman depan, yang dihiasi rumput hijau dan beberapa tanaman hias. Sopir Alastar membunyikan klakson sekali, dan beberapa saat kemudian, gerbang besi hitam perlahan terbuka. Seorang pria berperawakan tegap muncul, membukakan pintu gerbang dengan sikap hormat. Ta
Joya semakin geram mendengar percakapan dua pria di hadapannya, yang menganggap dia seperti barang yang bisa dipindah-tangankan. Seperti biasa, dengan mudahnya Denis menyetujui setiap perintah sang CEO, dan kini tanpa ragu menyepakati bahwa ia akan tinggal bersama Alastar. Sungguh, Denis tak layak lagi dipandang sebagai seorang suami. Di sisi lain, Alastar dengan sewenang-wenang menuntutnya untuk mengikuti perintah tersebut. Namun, Joya menahan diri untuk tidak berbicara dulu. Ia sudah memiliki rencana sendiri untuk melepaskan diri dari dua pria gila ini.“Maaf, Pak. Jadi, hari ini saya masih boleh pulang bersama Joya?” tanya Denis memastikan. “Benar,” jawab Alastar tegas. “Tapi, aku melakukan ini atas permintaan Joya, bukan karena kau. Dan ingat, Joya harus sudah meninggalkan rumahmu paling lambat hari Minggu.”Mendengar hal itu, wajah Denis berubah, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengucapkan terima kasih kepada Alastar, lalu mohon diri tanpa berani melayangkan protes
Livia segera berdiri dan tersenyum sopan kepada Denis. "Silakan duduk dulu, Pak Denis. Saya akan menghubungi Pak Alastar."Denis hanya mengangguk singkat, lalu duduk di salah satu kursi tamu tanpa menyapa Joya. Sementara itu, Livia beralih pada Joya, menatapnya dengan sorot mata penuh makna. "Joya, kamu saja yang mengurus ini. Tanyakan dulu kepada Pak Alastar."Joya meneguk ludahnya, sedikit gelisah. Ia tidak tahu apa tujuan Alastar memanggil Denis. Apakah ini ada kaitannya dengan kepulangannya hari ini untuk menjemput ibu mertuanya? Atau justru ada hal lain yang tak ia ketahui?Dengan ragu, Joya pun mengangkat gagang telepon dan menekan tombol sambungan langsung ke ruang CEO. Ia berusaha keras melupakan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Alastar tadi.Setelah beberapa nada tunggu, suara bariton Alastar terdengar di seberang."Ya, ada apa?"Joya berdeham, berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap stabil. "Maaf, Pak Alastar, Pak Denis sudah tiba. Apakah diizinkan masuk?"
Joya duduk di kursinya, sibuk menyusun beberapa laporan yang harus diselesaikan. Sebagai sekretaris, ia harus membuat laporan keuangan mingguan, beberapa memo ke divisi terkait, dan juga laporan kunjungan ke outlet bersama CEO. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik di laptop, sesekali memeriksa kembali dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani Alastar. Dentuman halus pintu terbuka membuat Joya refleks mengangkat kepala. Matanya menangkap sosok Bianca yang keluar dari ruangan, diikuti oleh Alastar yang mengantarnya hingga ke pintu.Asisten pribadi Bianca pun sudah bersiap menunggu di luar. Namun, yang membuat napas Joya sedikit tercekat adalah ketika Bianca mendadak berbalik dan memeluk Alastar di depan matanya. "Aku akan menunggumu di restoran hotel Crown jam tujuh malam, Al. Jangan lupa," ujar Bianca dengan nada lembut, tetapi cukup lantang untuk didengar Joya dan Livia. Joya dengan cepat menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi yang berkecamuk dalam dirinya. Sementara itu, Alas
Livia tersenyum sopan kepada wanita cantik yang berdiri angkuh di hadapan mereka. "Joya adalah sekretaris baru yang akan menggantikan saya, Bu," jelasnya dengan nada profesional.Bianca mengangkat sebelah alisnya, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Pantas saja dia tidak sopan karena tidak menyapaku lebih dulu," ucapnya dengan nada meremehkan. Mata tajamnya menatap Joya tak berkedip, seolah menilai apakah wanita di hadapannya cukup pantas untuk berdiri di tempat ini.Livia segera memberi isyarat pada Joya agar menyapa Bianca dan memperkenalkan diri. Menyadari dirinya telah melakukan kesalahan, Joya menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan. "Selamat pagi, Bu Bianca. Nama saya Joya, sekretaris baru Pak Alastar."Bianca hanya mengangguk kecil, ada sorot kesombongan di matanya. "Sebagai sekretaris CEO, kau harus belajar menjaga sikap," ujarnya dengan nada dingin. "Apalagi terhadap rekan bisnis penting Alastar, sekaligus orang terdekatnya."Mendengar itu, hati Joya terasa sesak
Suara kicauan burung di luar membangunkan Joya dari mimpi. Wanita itu mengerjapkan mata, mengusir kantuk yang masih menempel, lalu duduk di tepi ranjang. Udara pagi terasa sejuk, dan ia memutuskan untuk segera mandi agar bisa bersiap lebih awal. Dengan langkah ringan, Joya mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Setelah menyegarkan diri, Joya keluar dengan aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Namun, ia terkejut saat melihat Siena tiba-tiba berlari menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Tanpa sempat bertanya, Siena sudah menutup pintu, dan tak lama kemudian terdengar suara muntah dari dalam. Joya mengernyit khawatir, lalu mengetuk pintu dengan lembut."Siena? Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.Tak ada jawaban. Sebagai gantinya, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, menandakan Siena sudah mulai mandi. Joya menghela napas panjang, memutuskan untuk menunggu hingga adiknya keluar. Setelah beberapa saat, pintu kamar mandi terbuka. Siena melangkah keluar
Siena mendadak terdiam. Matanya sedikit membulat, lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangan. Tangannya meraih martabak, meski tadi ia bilang ingin makan nanti. Dengan gerakan agak canggung, ia menarik ujung martabak, lalu menggigitnya kecil-kecil."Mungkin yang dimaksud itu Mas Galih, kakaknya Lita," ujar Siena akhirnya. "Dia sering mengantar Lita ke kosku dan menemani kami untuk mengerjakan skripsi bersama. Kebetulan, dosen pembimbing kami sama.”Joya mengerutkan kening. Jawaban Siena terdengar ganjil. Ia tahu Siena bukan tipe yang mudah dekat dengan pria asing, apalagi jika pria itu bukan bagian dari lingkaran pertemanan dekatnya.“Kenapa sekarang Kak Joya yang banyak bertanya padaku?” tandas Siena dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Ia tahu kakaknya tidak akan berhenti bertanya tentang sosok "kakak laki-laki" yang disebut oleh ibu penjaga kos. Maka, sebelum Joya bisa kembali menyelidik, Siena buru-buru menyerang balik sang kakak."Bukankah tadi siang di kafe, Kakak berjanji akan