Rania bersedekap dengan posisi kaki salah satu diatas kaki yang satunya. Wanita itu menatap tidak suka ke arah wanita yang sekarang berada tepat di hadapannya. Rambut basahnya sudah digulung dengan handuk berwarna putih lembut, Rania terlihat sangat kesal ketika seseorang mengganggu waktu mandinya.
"Ma-maaf, Non. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu waktu mandinya Non Rania. Tapi tadi Tuan menghubungi saya menanyakan keadaan Non Rania," ujar pembantu Rania terbata-bata karena ditatap intens oleh Rania.Sejenak Rania terdiam mendengar penuturan sang pembantu, Angga sang suami tiba-tiba menanyakan keadaannya. Tumben sekali suaminya itu tiba-tiba menanyakan kabarnya, Rania melengos kasar setelah pikiran buruk muncul di kepalanya.Pasti suaminya itu berpikir kalau dia akan meninggalkan rumah ini setelah pertengkaran mereka malam tadi dan berlanjut tadi pagi. Rania bangkit dari duduknya lalu menyuruh sang pembantu kembali mengerjakan pekerjaan rumah.Setelah pembantunya pergi, Rania pun mengambil ponselnya lalu melihat layar pilih tersebut. Gadis itu menghela nafas ketika beberapa panggilan tak terjawab dari Angga, dan juga beberapa pesan masuk ke dalam W******p nya."Pantas saja Tutik berani masuk ke dalam kamar karena perintah dari tuannya," lirih Rania menyebut nama sang pembantu.Tanpa ingin membalas pesan dari suaminya Rania kembali meletakkan ponsel ke atas meja, dan kembali melangkahkan kaki ke arah jendela. Namun, baru saja kakinya melangkah Rania kembali menoleh ke arah ponsel ketika benda pipih itu berdering."Angga," gumamnya lirih setelah meraih kembali ponselnya."Halo," ucap Rania setelah menyambungkan sambungan."Kenapa mengabaikan ku?" tanya Angga tanpa basa basi. Rania terdiam mendengar pertanyaan dari sang suami, karena untuk pertama kalinya laki-laki itu bertanya seperti itu kepadanya."Rania, dengar. Aku tidak akan pernah menceraikanmu," lagi terdengar suara Angga yang membuat hati Rania sedikit hangat. Meskipun kenyataannya sangat berbanding terbalik dengan yang diharapkan oleh gadis itu.Mendengar ucapan Angga, Rania kembali menanyakan kenapa laki-laki itu tidak mau menceraikannya. Sedangkan di dalam hubungan rumah tangga mereka, sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan.Hening. Tidak ada jawaban dari Angga, yang membuat Rania hanya tersenyum getir. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya, sehingga membuatnya terluka seperti ini. Luka yang tak nampak oleh mata, luka yang tak berdarah sedikitpun. Namun sangat sakit terasa bagaikan disayat sembilu.Tok tok tok. Rania menoleh ke arah pintu kamar yang kembali diketuk oleh Tutik, pembantunya."Maaf, Non. Tuan dan Nyonya besar ada di bawah, baru saja sampai," seru Tutik memberitahu kedatangan mertua Rania.Rania menghela nafas kasar, ketika mendengar suara Tutik."Mama dan papa sudah datang, aku matikan," ujar Rania memberitahu kedatangan mertuanya kepada Angga. Tidak menunggu jawaban dari sang suami, Rania pun langsung memutuskan sambungan telepon."Iya, Tut. Saya akan kebawah, suruh Mama dan Papa duduk dulu sebentar," ujar Rania dari balik pintu."Siap, Non," jawab Tutik patuh lalu berlalu dari kamar Rania. Sedangkan di dalam gudang Angga terlihat gusar dan beberapa kali mengusap wajahnya.Keinginan Rania yang tiba-tiba ingin berpisah darinya, membuat laki-laki itu menjadi tidak tenang semenjak semalam. Apalagi setelah Rania mengabaikannya tadi pagi, membuat Angga terlihat kuatir. Karena belum saatnya dia melepaskan sang istri, masih ada yang perlu dilakukannya sebelum benar-benar menceraikan Rania."Pak, semua bahannya sudah cukup. Apa mau diantar sekarang?" tanya pegawai Angga, ketika semua pekerjaan mereka selesai."Semuanya sudah pas?" tanya Angga melihat kertas yang berisi berapa jumlah barang."Sudah, Pak," jawab pegawai Angga mantap."Pergilah, antar barang-barang ini. Saya mau pulang sebentar, ada urusan mendadak," perintah Angga menyerahkan kunci mobil kepada orang kepercayaannya. Lalu kembali menuju parkiran dimana mobilnya terparkir."Sial!" Umpat Angga setelah berada di dalam mobil dan menuju arah jalan pulang. Permintaan sang istri yang ingin bercerai benar- benar membuat Angga emosi. Entah kenapa Rania tidak bisa bertahan untuk sebentar lagi, kenapa sang istri harus meminta berpisah darinya disaat yang belum tepat?Tidak lama, Angga akhirnya sampai di depan rumahnya. Benar saja, mobil orang tuanya sudah terparkir bebas di halaman rumahnya. Sejenak Angga terdiam ketika melihat mobil orang tuanya, lalu pikirannya pun langsung masuk ke dalam rumah dimana sekarang sang istri pasti sudah berusaha untuk membuat alasan dari pertanyaan yang tidak pernah bosan dipertanyakan oleh orang tuanya."Tidak! Apa sekarang Rania sudah berubah pikiran?" tanya Angga kuatir ketika mengingat sikap sang istri dari tadi malam. Dia takut kalau Rania akan membuka mulut dan membicarakan tentang keretakan rumah tangga mereka kepada sang mama dan Papa. Angga terlihat frustasi mengingat kecemasannya jika saja Rania mulai membongkar aib rumah tangga mereka. Dengan perlahan lelaki itu keluar dari mobil nya dan mencoba masuk ke dalam rumah tanpa ketahuan oleh orang rumah.Angga yang tidak ingin kedatangannya diketahui oleh orang, perlahan berjalan dengan cara mengendap seperti seorang pencuri yang hendak masuk ke dalam rumah orang lain. Saat laki-laki itu sudah sampai di tujuannya, tatapan Angga seketika terpana ketika melihat Rania yang sedang bersama kedua orang tuanya.Gadis yang sudah dinikahinya selama setahun itu, terlihat sedang berbincang hangat dengan orang tuanya. Senyum yang tak lepas dari bibirnya, membuat Angga langsung termenung karena selama ini dia tidak pernah melihat Rania tersenyum lepas saat sedang bersamanya.Angga yang selama ini tidak pernah melihat Rania tersenyum, seakan terhipnotis oleh senyuman manis dari sang istri. Ada desir aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya ketika melihat bibir sang istri yang selalu melengkung bersama kedua orang tuanya. Hal yang selama ini tidak pernah Rania tunjukan kepadanya.Angga yang tadinya berniat untuk menguping pembicaraan sang istri dan kedua orang tuanya seketika lupa dengan tujuannya saat ini. Tatapannya masih tertuju ke arah wajah cantik Rania yang berbinar, dan selama ini tidak pernah diketahuinya."Apa selama ini aku sudah keterlaluan kepadanya?" tanya Angga yang tak lepas menatap sang istri. Disaat Angga sedang asik dengan pikirannya, saat itulah laki-laki itu terperanjat kaget ketika suara ponsel berdering keras di saku celananya. Bukan hanya lelaki itu yang kaget, akan tetapi ketiga manusia yang berada di dalam rumah pun menoleh ke arah sumber suara.Angga yang kaget karena bunyi ponsel di kantong celananya, langsung meraih benda pipih itu dan secepat kilat mematikan nada deringnya. Namun pergerakan spontan yang dilakukan oleh lelaki itu langsung mencuri perhatian ketiga orang yang sedang berada di dalam rumah."Loh, itu kan Angga, Pa," ucap Mama Angga ketika melihat putranya sedang berada di balik jendela sambil memegang ponsel."Iya, Ngapain dia disitu? Bukannya dia sekarang berada di gudang?" tanya Papa Angga heran kepada sang istri. Sedang kan Rania, menantu mereka hanya menatap datar ke arah sang suami yang saat ini sedang tersenyum ramah ke arah mereka."Kenapa Bang Angga tiba-tiba ada di rumah dan berada di samping jendela? Apa dia takut kalau aku akan berbicara jujur kepada Mama dan Papa tentang hubungan kami saat ini?" tanya Rania di dalam hati. Rania hanya bisa membatin dengan pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat ini. Sedangkan Angga yang ketahuan hanya bisa tersenyum dengan ponsel yang berada di telinganya.Angga tersenyum manis menatap kedua orang tuanya yang juga sedang menatapnya. Sedangkan Rania yang tidak tahu kenapa suaminya tiba-tiba berada di rumah, hanya bisa menghela nafas pelan lalu membuang muka ke arah lain.Rasa sesak akibat pertengkaran mereka tadi malam dan masih berlanjut sampai pagi tadi membuat Rania jengkel dan tidak ingin berinteraksi dengan sang suami. "Kamu tidak ke gudang, Ngga?" tanya laki-laki paruh baya yang masih terlihat garis ketampanannya."Ke gudang, Pa. Cuma tadi ada berkas yang tertinggal makanya balik lagi ke rumah," jawab Angga menjelaskan kenapa dia kembali kerumah."Lalu, kenapa kau berada di jendela seperti orang sedang ingin mencuri?" tanya sang mama sambil menunjuk dimana Angga tadi berdiri.Angga sejenak terdiam mendengar pertanyaan sang mama, lalu dengan enteng menjawab, "Biasa, Ma. Kan aku mau liat dulu gimana istri dan orang tua aku mengobrol." Sambil menaik-naikan kedua alisnya, sedangkan Rania yang mendengar penjelasan sang suami hanya diam
"Apa maksudmu, Sayang?" tanya Reta Mama Angga menatap wajah menantunya."Karena ,,,,." Rania tercekat tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena bagaimanapun juga apa yang akan disampaikannya nanti akan berpengaruh besar terhadap hubungan mereka."Katakan saja," ucap Reta mulai tidak sabar."Karena kami telah pernah periksa dan tidak ditemukan masalah apapun pada kami, Ma," jawab Angga menyela pembicaraan istri dan Mamanya. Sedangkan Rania yang mendengar suara suaminya, hanya bisa menelan ludah lalu dengan tergesa pergi dari hadapan suami dan mertuanya."Maaf, Ma. Aku keluar dulu," pamit Rania serak sebelum meninggalkan anak dan Ibu itu. Dia tidak bisa berlama-lama berada di hadapan mertuanya, apalagi membahas tentang anak, tidak. Rania tidak sekuat itu."Apakah itu benar?" tanya Reta mencari jawaban dari Angga."Buat apa kamu berbohong, Ma. Dan tolong mama jangan bahas soal anak lagi jika di depan Rania, aku tidak mau melihat istriku selalu menderita karena Mama dan Papa selalu meneka
Dengan menggerakan kaki yang sangat pelan, Rania berusaha bangkit dari atas ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi dengan wajah yang menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Sesekali Rania meringis karena menahan rasa sakit yang sangat terasa tepat di bagian intimnya.Rania menangis, terduduk di dalam bathtub yang sudah terisi dengan air. Rasa kecewa dan juga terluka akibat perbuatan sang suami benar-benar membuat Rania sakit hati. Dirinya tak ubah seperti wanita malam ketika Angga menggagahinya dengan sangat penuh nafsu.Mungkin, malam pertama adalah sebuah malam yang sangat sakral bagi pasangan pengantin yang baru saja melakukan acara akad sebelumnya. Malam yang yang selalu ditunggu-tunggu oleh kedua mempelai setelah sehari menjadi ratu dan raja. Lalu mereka akan menyatu dalam sebuah ikatan halal dengan mengubah status mereka dari lajang dan juga kehidupan mereka.Sebuah malam yang tidak akan pernah terlupakan sakralnya, karena menyatukan dua hati dalam segenap cinta dan juga kasih
Di ruangan serba putih, seorang wanita terlihat sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Selang infus bertengger manis di punggung tangan sebelah kiri, sedangkan di bagian atas mulut selang oksigen masih terpasang rapi.Perlahan, salah satu jari wanita itu bergerak untuk sesaat dan mulai terdengar lenguhan kecil dari mulut yang terlihat kering dan pucat itu. Sedangkan seorang perawat yang baru saja menukar cairan infus, tersentak kaget mendengar pasien yang sedang dirawatnya saat ini mulai tersadar.“Dokter, pasien sudah sadar,” ucap perawat cantik itu setelah sesaat keluar dari ruangan pasien.Bergegas dokter dan beberapa perawat lain masuk ke dalam ruangan dan mulai mengecek keadaan wanita yang sudah beberapa hari tidak sadarkan diri.“Syukurlah keadaannya mulai membaik, cepat kabari keluarga nya,” ujar dokter setelah memastikan keadaan pasiennya.Tidak menunggu lama, perawat yang diperintah sudah pergi meninggalkan ruangan lalu menuju ruangan yang satunya. Sedangkan dokter yan
"Kenapa harus sesakit ini, Bang?" tanya seorang wanita dengan nada yang begitu pelan. Bukan pelan, hanya saja untuk mengucapkan sebuah kalimat saja tenggorokannya hampir tercekat. Tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang lelaki, wanita itu menoleh dengan tersenyum getir ke arah laki-laki yang sudah hampir setahun ini menjadi suaminya itu. Perlahan tubuhnya bangkit lalu mendekat ke arah sang suami yang masih berdiri membelakanginya. "Pergilah jika bersamaku Abang tidak pernah merasa bahagia, aku ikhlas," ujar Rania dengan nada sumbang. Sungguh perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya sangat bertolak belakang dengan apa yang diinginkannya. Sontak saja Angga menoleh dan menatap Rania dengan mata menyipit setelah mendengar apa yang dikatakan oleh sang istri tadi. Bagaimana mungkin Rania yang begitu sangat mencintainya bisa mengatakan hal seperti itu kepadanya? "Aku tidak akan pernah memaksamu lagi untuk bisa mencintaiku. Sekarang carilah kebahagiaan yang bisa membuatmu bahagia,"
"Aku berangkat," ucap Angga setelah menghabiskan sarapan paginya. Sedangkan Rania yang masih duduk di tempatnya hanya diam saja tidak menyentuh sedikitpun makanan yang baru saja dibuatnya pagi ini. Meskipun semalam mereka berselisih paham, Rania tidak pernah melupakan tugasnya sebagai seorang istri. Walaupun mereka memiliki satu orang pembantu, akan tetapi tidak membuat Rania menjadi seorang wanita yang pemalas dan sombong karena memiliki seorang suami yang kaya raya. "Nanti Mama dan Papa kerumah," ujar Rania tidak menggubris perkataan sang suami. Angga yang sudah berdiri dari tempatnya sejenak terdiam lalu menatap sang istri tanpa ekspresi. "Pandai-pandailah dalam berkata jika nanti Papa menanyakan tentang keturunan," ujar Angga yang sudah tahu kemana arah pembicaraan jika kedua orang tuanya datang berkunjung. "Aku ingin bercerai." Singkat padat dan jelas Rania kembali mengutarakan isi hatinya. "Sudah pukul tujuh, aku harus ke gudang." Angga seolah tidak mendengar perkataan sang
Di ruangan serba putih, seorang wanita terlihat sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Selang infus bertengger manis di punggung tangan sebelah kiri, sedangkan di bagian atas mulut selang oksigen masih terpasang rapi.Perlahan, salah satu jari wanita itu bergerak untuk sesaat dan mulai terdengar lenguhan kecil dari mulut yang terlihat kering dan pucat itu. Sedangkan seorang perawat yang baru saja menukar cairan infus, tersentak kaget mendengar pasien yang sedang dirawatnya saat ini mulai tersadar.“Dokter, pasien sudah sadar,” ucap perawat cantik itu setelah sesaat keluar dari ruangan pasien.Bergegas dokter dan beberapa perawat lain masuk ke dalam ruangan dan mulai mengecek keadaan wanita yang sudah beberapa hari tidak sadarkan diri.“Syukurlah keadaannya mulai membaik, cepat kabari keluarga nya,” ujar dokter setelah memastikan keadaan pasiennya.Tidak menunggu lama, perawat yang diperintah sudah pergi meninggalkan ruangan lalu menuju ruangan yang satunya. Sedangkan dokter yan
Dengan menggerakan kaki yang sangat pelan, Rania berusaha bangkit dari atas ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi dengan wajah yang menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Sesekali Rania meringis karena menahan rasa sakit yang sangat terasa tepat di bagian intimnya.Rania menangis, terduduk di dalam bathtub yang sudah terisi dengan air. Rasa kecewa dan juga terluka akibat perbuatan sang suami benar-benar membuat Rania sakit hati. Dirinya tak ubah seperti wanita malam ketika Angga menggagahinya dengan sangat penuh nafsu.Mungkin, malam pertama adalah sebuah malam yang sangat sakral bagi pasangan pengantin yang baru saja melakukan acara akad sebelumnya. Malam yang yang selalu ditunggu-tunggu oleh kedua mempelai setelah sehari menjadi ratu dan raja. Lalu mereka akan menyatu dalam sebuah ikatan halal dengan mengubah status mereka dari lajang dan juga kehidupan mereka.Sebuah malam yang tidak akan pernah terlupakan sakralnya, karena menyatukan dua hati dalam segenap cinta dan juga kasih
"Apa maksudmu, Sayang?" tanya Reta Mama Angga menatap wajah menantunya."Karena ,,,,." Rania tercekat tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena bagaimanapun juga apa yang akan disampaikannya nanti akan berpengaruh besar terhadap hubungan mereka."Katakan saja," ucap Reta mulai tidak sabar."Karena kami telah pernah periksa dan tidak ditemukan masalah apapun pada kami, Ma," jawab Angga menyela pembicaraan istri dan Mamanya. Sedangkan Rania yang mendengar suara suaminya, hanya bisa menelan ludah lalu dengan tergesa pergi dari hadapan suami dan mertuanya."Maaf, Ma. Aku keluar dulu," pamit Rania serak sebelum meninggalkan anak dan Ibu itu. Dia tidak bisa berlama-lama berada di hadapan mertuanya, apalagi membahas tentang anak, tidak. Rania tidak sekuat itu."Apakah itu benar?" tanya Reta mencari jawaban dari Angga."Buat apa kamu berbohong, Ma. Dan tolong mama jangan bahas soal anak lagi jika di depan Rania, aku tidak mau melihat istriku selalu menderita karena Mama dan Papa selalu meneka
Angga tersenyum manis menatap kedua orang tuanya yang juga sedang menatapnya. Sedangkan Rania yang tidak tahu kenapa suaminya tiba-tiba berada di rumah, hanya bisa menghela nafas pelan lalu membuang muka ke arah lain.Rasa sesak akibat pertengkaran mereka tadi malam dan masih berlanjut sampai pagi tadi membuat Rania jengkel dan tidak ingin berinteraksi dengan sang suami. "Kamu tidak ke gudang, Ngga?" tanya laki-laki paruh baya yang masih terlihat garis ketampanannya."Ke gudang, Pa. Cuma tadi ada berkas yang tertinggal makanya balik lagi ke rumah," jawab Angga menjelaskan kenapa dia kembali kerumah."Lalu, kenapa kau berada di jendela seperti orang sedang ingin mencuri?" tanya sang mama sambil menunjuk dimana Angga tadi berdiri.Angga sejenak terdiam mendengar pertanyaan sang mama, lalu dengan enteng menjawab, "Biasa, Ma. Kan aku mau liat dulu gimana istri dan orang tua aku mengobrol." Sambil menaik-naikan kedua alisnya, sedangkan Rania yang mendengar penjelasan sang suami hanya diam
Rania bersedekap dengan posisi kaki salah satu diatas kaki yang satunya. Wanita itu menatap tidak suka ke arah wanita yang sekarang berada tepat di hadapannya. Rambut basahnya sudah digulung dengan handuk berwarna putih lembut, Rania terlihat sangat kesal ketika seseorang mengganggu waktu mandinya."Ma-maaf, Non. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu waktu mandinya Non Rania. Tapi tadi Tuan menghubungi saya menanyakan keadaan Non Rania," ujar pembantu Rania terbata-bata karena ditatap intens oleh Rania.Sejenak Rania terdiam mendengar penuturan sang pembantu, Angga sang suami tiba-tiba menanyakan keadaannya. Tumben sekali suaminya itu tiba-tiba menanyakan kabarnya, Rania melengos kasar setelah pikiran buruk muncul di kepalanya.Pasti suaminya itu berpikir kalau dia akan meninggalkan rumah ini setelah pertengkaran mereka malam tadi dan berlanjut tadi pagi. Rania bangkit dari duduknya lalu menyuruh sang pembantu kembali mengerjakan pekerjaan rumah.Setelah pembantunya pergi, Rania pun me
"Aku berangkat," ucap Angga setelah menghabiskan sarapan paginya. Sedangkan Rania yang masih duduk di tempatnya hanya diam saja tidak menyentuh sedikitpun makanan yang baru saja dibuatnya pagi ini. Meskipun semalam mereka berselisih paham, Rania tidak pernah melupakan tugasnya sebagai seorang istri. Walaupun mereka memiliki satu orang pembantu, akan tetapi tidak membuat Rania menjadi seorang wanita yang pemalas dan sombong karena memiliki seorang suami yang kaya raya. "Nanti Mama dan Papa kerumah," ujar Rania tidak menggubris perkataan sang suami. Angga yang sudah berdiri dari tempatnya sejenak terdiam lalu menatap sang istri tanpa ekspresi. "Pandai-pandailah dalam berkata jika nanti Papa menanyakan tentang keturunan," ujar Angga yang sudah tahu kemana arah pembicaraan jika kedua orang tuanya datang berkunjung. "Aku ingin bercerai." Singkat padat dan jelas Rania kembali mengutarakan isi hatinya. "Sudah pukul tujuh, aku harus ke gudang." Angga seolah tidak mendengar perkataan sang
"Kenapa harus sesakit ini, Bang?" tanya seorang wanita dengan nada yang begitu pelan. Bukan pelan, hanya saja untuk mengucapkan sebuah kalimat saja tenggorokannya hampir tercekat. Tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang lelaki, wanita itu menoleh dengan tersenyum getir ke arah laki-laki yang sudah hampir setahun ini menjadi suaminya itu. Perlahan tubuhnya bangkit lalu mendekat ke arah sang suami yang masih berdiri membelakanginya. "Pergilah jika bersamaku Abang tidak pernah merasa bahagia, aku ikhlas," ujar Rania dengan nada sumbang. Sungguh perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya sangat bertolak belakang dengan apa yang diinginkannya. Sontak saja Angga menoleh dan menatap Rania dengan mata menyipit setelah mendengar apa yang dikatakan oleh sang istri tadi. Bagaimana mungkin Rania yang begitu sangat mencintainya bisa mengatakan hal seperti itu kepadanya? "Aku tidak akan pernah memaksamu lagi untuk bisa mencintaiku. Sekarang carilah kebahagiaan yang bisa membuatmu bahagia,"