"Selamat, Bu Maira. Anaknya perempuan." Maira yang saat itu merasa sangat lemas, samar-samar mendengar suara dokter dan perawat di sekitarnya. Sejak awal ia memang memilih untuk melahirkan secara normal. Namun persalinan kali ini lebih membutuhkan tenaga yang ekstra. Hingga ia merasa sangat lemas dan penglihatannya sedikit buram. "Ini bayinya, Bu. Cantik sekali seperti mamanya. Matanya biru, mungkin seperti papanya." Seorang perawat meletakkan bayi merah yang baru saja lahir di atas dada Maira. Meski sekilas, ia bisa melihat dengan jelas tanda hitam yang ada di balik telinga kanan bayinya. Hanya itu yang dapat diingat oleh Maira, karena beberapa detik kemudian ia tak sadarkan diri karena teralu banyak mengalami pendarahan. Saat tersadar, Maira baru mengetahui bahwa ia tak sadarkan diri hingga hampir satu minggu. "Mana bayiku?" lirih Maira pelan. "Bayi kita sudah di rumah sejak tiga hari yang lalu, Sayang. Dia sehat. Semua orang menyayanginya. Mama Laura, Bu Nuri, Ayah Pratama.
"Kenapa Mbak Ratu menginginkan informasi tentang Ana?" Hamid berpikir keras. Ada apa antara Ratu dan Analea? Apa Analea membuat masalah di Eternal Group? "Ada apa, Mid? Itu pesan dari siapa? Kenapa kamu jadi melamun?" Irma mengguncang lengan Hamid yang tatapannya kosong kedepan. "Hamid!" sentak Irma karena Hamid tak kunjung menjawab. "Iy-iyaa, Bu. Ini pesan dari tunangannya Bos aku. Mau ajak ketemu. Aku keluar sebentar, Bu!" Hamid bergegas bangkit, lalu meraih kunci motornya. "Mau kemana, Mid?" Irma berteriak melihat putranya pergi dengan tergesa-gesa. "Sebentar, Bu. Nggak lama, kok!" teriak Hamid sebelum melajukan motornya ke alamat yang baru saja dikirim oleh Ratu. Irma mengikuti Hamid sampai ke depan pagar , lalu menggerutu karena Hamid tidak menjawab pertanyaannya dengan benar. "Semoga saja Hamid pergi bertemu Ana dan mereka tidak jadi bercerai," gumam Irma. Namun ia tidak menyadari ternyata ucapannya barusan terdengar oleh beberapa tetangganya yang baru saja pulang dari
"Rein, kamu yakin mau menjodohkan Ratu dengan Fabian? Kamu tau kan kelakuan Ratu kayak gimana? Apa Ratu nanti nggak bikin malu keluarga kita?" Rein yang sedang fokus dengan laptopnya tiba-tiba menoleh pada Maira. "Maira, kenapa kamu bilang seperti itu? Seharusnya seorang ibu itu mendoakan yang baik-baik untuk anaknya!" Rein sedikit tidak terima dengan perkataan Maira yang selalu memojokkan Ratu. "Bukan begitu, Rein. Ratu sudah sering kali kita nasehati dan ingatkan, tapi ia dia tidak juga berubah. Bahkan sekarang ini dia sudah sering bohongi kita. Rein menghela napas panjang. Dalam hatinya ia membenarkan apa yang dikatakan Maira. Namun, rasa sayangnya yang berlebihan pada Ratu kadang membuatnya buta dan selalu memaklumi apa yang dilakukan putrinya itu. "Aku berharap, Fabian bisa membimbing Ratu nantinya. Mereka sudah berteman sejak kecil. Fabian pasti bisa memahami Ratu." Rein menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, memandang kosong pada langit-langit ruangan yang berwarna pu
"Ada apa, Kak? Ada masalah?" Analea menatap Fabian dengan cemas. Wajah Fabian terlihat cukup tegang. Pria itu memandangnya intens dan penuh arti. "Leaaa ... " Fabian meraih satu jemari Analea dan mengenggamnya. Tubuh pria itu sedikit bergeser hingga keduanya menjadi lebih dekat. Suhu dari mesin pendingin mobil sudah tak berpengaruh lagi. Karena ada kehangatan diantara mereka. "Ya, Kak." Analea masih memandang Fabian yang raut wajahnya tiba-tiba berubah. Walau pria itu diam dengan wajah datarnya. Analea dapat merasakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Fabian. "Leaaa ... aku ingin kita berjanji." Fabian meraih satu jemari Analea lagi. Kini, dua pasang jemari itu saling menggenggam. Fabian membawa jemari Analea ke dalam pangkuannya. Kemudian ia mengecupnya. Hati keduanya berdesir, merasakan letupan-letupan sesuatu yang bergejolak di hati mereka. Mereka sampai lupa ada seorang supir yang sedang menyetir di depan mereka "Janji apa, Kak?" Analea merasakan firasat yang tidak baik
"Kak, firasatku tidak enak." Analea memandang dua mobil mewah yang ia kenal sebagai mobil Kaisar dan Rein. "Kita masuk saja dulu." Fabian menggenggam tangan Analea ketika sudah turun dari mobil. Lalu membawa wanita itu menuju rumahnya. Pintu utama rumah besar itu terbuka. Ada beberapa asisten rumah tangga yang lalu lalang. "Sebaiknya kita jangan begini, Kak." Analea berusaha menarik tangannya dari genggaman Fabian. "Kenapa? Jangan takut. Ada Aku." Fabian meremas jemari Analea agar wanita itu menjadi tenang karena ada Fabian di sampingnya. Setelah menghela napas dalam--dalam, Analea mengikuti langkah Fabian yang langsung menuju ruang keluarga. Dari kejauhan terdengar suara Arthur dan Rein berbincang. "Emm ...Selamat siang. Wah, ada tamu rupanya." Mendengar suara Fabian, spontan saja semua yang ada di ruangan itu menoleh. Mereka terkejut, terlebih melihat ada Analea di samping Fabian. Pandangan mata mereka jatuh pada genggaman tangan Fabian yang menggenggam erat jemari Anale
"Tante Mira ?" Analea spontan berdiri melihat wanita yang sangat ia kenali berada di hadapannya. " A-ana .." Wanita yang dipanggil tante Mira oleh Analea itu terkejut. "Kamu siapa? Kenapa kamu kenal dengan Analea?" tanya Arthur dengan pandangan tak suka pada Mira. "M-mmaaf, Tuan. Saya kenal banget sama Ana ini. Rumah kami bersebelahan di Gang Mangkal." Wajah wanita bernama Mira itu tampak takut-takut menoleh pada Analea. "Apa? Gang Mangkal? Bukannya itu tempat ...." Arthur tidak melanjutkan kalimatnya. Wajahnya merah padam memandang Fabian dan Analea bergantian. Dilihat dari wajah Fabian yang tidak terkejut, ia berkesimpulan bahwa sebelumnya Fabian sudah tau kalau Analea tinggal di Gang Mangkal, daerah yang dikenal sebagai tempat lokalisasi. "Analea, kamu bisa jelaskan pada saya?" Kini tatapan Arthur sangat tajam pada Analea. "Iy-iyaa, Pak. Memang benar saya dibesarkan di sana oleh orang tua angkat saya," jawab Analea menunduk. Dadanya begitu sesak. Lagi-lagi asal usul tempat
"Ada apa, Ratu? Ngapain kamu bisik-bisik sama perempuan itu?" "Mamaaa?" Ratu nyaris terlonjak melihat Maira muncul dari balik dinding teras dengan netra tajamnya. "Uang apa itu?" tanya Maira curiga. Wanita anggun itu menyipitkan matanya yang tertuju pada uang yang berada di tangan Ratu. "Kasian, Maa. Rumahnya jauh. Aku kasih dia ongkos aja." Ratu menutupi uang dalam genggamannya agar tidak terlihat oleh Maira berapa jumlahnya. Tapi terlambat, sejak awal Maira sudah melihat uang ratusan ribu yang jumlahnya itu lebih dari sepuluh lembar. "Sebanyak itu? Mama nggak percaya itu untuk ongkos. Ayo Mbak, kamu kita antar pulang saja! Silakan naik ke mobil saya!" pinta Maira sembari menunjuk mobilnya tak jauh dari teras. "Iy-iyaaa, Nyonya." Mira gemetar dan terpaksa menurut mengikuti Maira ke mobil. Setelah pamit dengan Arthur, Fatma dan Fabian, mereka pun kembali ke Jakarta. "Benar kamu tinggal di Gang Mangkal?" Maira mulai mengorek keterangan dari Mira sambil menatap wanita berpakaian
"Jangan lupa hari ini kita ada pertemuan dengan PT Bina Sanjaya. Bagaimana persiapan untuk rapat hari ini, Risa? Ana, siapkan semua berkas yang dibutuhkan!" Pagi ini Kaisar sedang memberi arahan pada dua sekretarisnya. Risa dan Analea yang kini duduk berhadapan dengan Kaisar di ruang presdir, telah mendapat bagian tugasnya masing-masing. "Apa Pak Rein dan Bu Maira juga akan hadir, Pak?" tanya Risa sembari mencatat siapa saja yang akan hadir di rapat ini. "Tidak. Mereka sedang sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ratu." Jawaban Kaisar sempat menghentikan hembusan napas Analea beberapa detik. Ada sesuatu yang menusuk dadanya saat ini. Namun ia berusaha untuk tidak memperlihatkan hal itu. Diam-diam Analea mengatur napasnya yang tiba-tiba sesak. "Ana, bagaimana? Apa semua berkas yang saya perlukan sudah ada? Ana, kamu baik-baik saja?" tanya Kaisar sembari memandang Analea ya sejak tadi hanya diam saja. "B-baik, Pak. Maaf!" jawab Ana gugup. "Bagaimana, berkas-berkasnya apa sudah si
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof