"Ingat! Fabian itu tunanganku!" Ratu mengancam Analea dengan menunjuk-nunjuk wajah wanita itu. Analea mendesis menahan rasa sesak karena sikap Ratu. "Maaf, maksud Non Ratu apa?' Analea berusaha tetap tenang. Ia memberanikan diri untuk bertanya. Ia tidak terima jika dianggap sebagai pengganggu tunangan orang. "Halaah, jangan pura-pura nggak ngerti! Aku tau, kamu sedang mengincar Fabian dan Kaisar-kakakku, kan?.Udah, ngaku aja!" Ratu bicara ketus dengan mata melotot. Cengkraman tangannya pada lengan Analea semakin mengetat. Analea menggeleng cepat. Sambil menahan nyeri ia pun berusaha untuk membela diri. "Sama sekali tidak, Non. Saya hanya mau kerja. Saya cuma mau cari uang." Analea mencoba untuk meyakinkan wanita berambut pendek itu. Ratu semakin kesal karena Analea terus membantah tuduhannya. Sejak awal Analea selalu diam dan tidak bicara apapun, Analea tak pernah membantah setiap Ratu mengungkapkan kemarahannya bahkan melampiaskan emosinya pada Analea. Akan tetapi, siang ini
"Mama apaan, sih? Si Ana itu cuma magang di perusahaan kita, dia bukan karyawan. Nanti kalau barang-barang kita ada yang hilang bagaimana?" "Ratu, jangan sembarangan bicara!" Spontan saja Maira membentak Ratu. Tidak hanya Ratu yang terkejut, tapi Rein juga heran, karena Maira bukanlah seorang ibu yang sering membentak. "Kamu kenapa?" Usapan lembut tangan Rein pada punggung Maira, seketika mampu membuat Maira kembali tenang. "Entahlah." Maira menggeleng lemah. Sudut matanya melirik Ratu. Putrinya itu menunjukkan wajah cemberut setelah mendapat bentakan dari Maira tadi. "Mama minta maaf sudah bentak Ratu. Mama hanya nggak suka Ratu mencurigai sembarang orang tanpa bukti." Maira membelai lembut kepala putrinya. "Tapi Aku nggak suka Mama terlalu baik sama si Ana itu. Memangnya dia itu siapa, sih? Kok kelihatannya istimewa banget? Padahal dia itu cuma karyawan magang, loh!" Ratu mengeluarkan rasa kesalnya yang selama ini ia pendam. "Ratu ... siapa yang istimewa?" sanggah Kaisar.
"Lea ..." Fabian bergumam dengan tatapannya tertuju pada wanita cantik yang memiliki rambut bergelombang itu. Tanpa ia sadari, langkah kakinya terus mengikuti arah pandangannya. Hingga kini jaraknya dengan Analea tak sampai satu meter. "Lea ..." gumamnya lagi. Langkah Analea terhenti mendengar suara berat yang sangat ia kenali menyebut sebuah nama panggilan untuknya. Seketika wanita bermata sendu itu menoleh ke belakang. "P-pak Fabian ...?" Mata Analea melebar. Satu telapak tangannya spontan menutup mulutnya yang tadi sempat ternganga. Ia tidak menduga akan bertemu dengan Fabian di tempat itu. "Ehm ... maaf, apa kamu sendiri?" Wajah dingin itu tiba-tiba saja bicara. "Iy-iyaa, Pak." Analea tidak dapat menyembunyikan kegugupannya. "Oke. Karena kamu sendirian, boleh saya minta tolong sesuatu?" Fabian bicara lebih pelan dengan langkah kakinya mendekati Analea. Analea yang masih shock, menjawab pertanyaan Fabian hanya dengan anggukan. "Ehm ..., tolong pilihkan saya beberapa pakaian
"Lea ... Saya tau semua tentang Hamid. Laki-laki itu tidak pantas untuk wanita sepertimu." Analea mengangkat wajahnya dan memberanikan diri memandang Fabian. Ia cukup terkejut mendengar pendapat Fabian tentang suaminya.. "Bapak tau tentang suami saya?" tanya Analea bingung. Namun sedetik kemudian ia sadar, bukankah Fabian adalah atasan suaminya? Tentu saja dengan mudah pria yang selalu berekspresi dingin itu mencari tau tentang Hamid. Apalagi dengan jabatan yang dimiliki Fabian, akan sangat mudah bagi pria itu mendapatkan informasi apapun tentang karyawannya. "Ya, tidak hanya tentang Hamid. Tapi juga tau tentang istrinya." "Hah?" Analea kembali terkejut. Wajahnya seketika memucat. Menebak-nebak apa saja yang diketahui Fabian tentang dirinya. Tubuhnya yang tadi bersandar di kursi, kini berubah tegak. "Kenapa masih bertahan dengan pria seperti itu?" Kini, Analea merasakan sebuah tatapan yang begitu intens, seakan sedang menuntut sebuah penjelasan darinya. Tanpa sadar Analea menghel
"Wah, wah, Mbak Ana sekarang hebat, pulangnya diantar mobil mewah. Kayaknya dapat yang kelas kakap, nih!" Analea langsung menoleh pada asal suara yang ia kenal. Ia berdecak kesal karena ternyata salah satu tetangganya yang kebetulan sedang lewat, melihat ia turun dari mobil Fabian. "Tadi itu mobil atasan saya, Mbak," jawab Analea sekenanya. Ia tidak peduli jika tetangganya itu percaya atau tidak. Toh, apapun alasannya, mereka tetap akan menggunjingkan dirinya. "Ooooh, atasan ya? Iya deh, percaya. Hihihi ...!" Analea mendengkus kesal melihat tetangganya tertawa seakan merendahkannya. Ia pun memilih untuk segera masuk ke dalam rumah. "Bagus, ya! Jam segini baru pulang. kelayapan kemana kamu? Nggak ingat itu kerjaan di belakang numpuk!" Bu Irma sudah menghadang di depan pintu dengan berkacak pinggang. Mata wanita paruh baya itu melotot. "M-maaf, Bu. Tadi aku ... " "Mau alasan apa lagi? Sudah jelas-jelas barusan Aku lihat kamu turun dari mobil mewah. Pasti dia udah bayar kamu ma
Sejak kejadian pagi itu, Analea selalu lebih waspada. Sebisa mungkin ia mengjindar dari Hamid-suaminya. Hingga tiba saat akhir pekan, ia berencana akan datang ke rumah Maira. [ Ana, kita berdua diminta Bu Maira datang lebih pagi. Biar bisa bantu-bantu beliau di sana ] Sebuah pesan dari Rissa ia terima semalam. Karena itu, pagi ini Analea bangun lebih awal. Agar ibu mertuanya tidak marah-marah seperti biasa, Analea sengaja mengerjakan semua pekerjaan rumah lebih dulu, sebelum pergi keluar rumah. "Tumben pagi-pagi udah beres-beres, Mbak Ana!" sapa salah seorang tetangga ketika Analea sedang menyapu halaman. "Iya, Bu!" sahut Analea tersenyum tipis.. Sejak ia kerja, Analea jarang sekali melihat ibu mertuanya di rumah. Entah kemana perginya. Tapi hal itu justru membuat semua pekerjaannya cepat selesai. Hamid pun sepertinya masih tidur. Karena kamarnya masih tertutup rapat. Setelah selesai semua, Analea bergegas mandi dan berpakaian. Ia mengenakan pakaian yang baru saja ia beli bebe
"Hei, perempuan kampung! Ternyata benar ya, kamu memang sedang berusaha ingin menjadi bagian dari keluarga ini. Iya, kan?" Ratu bicara ketus dan berdiri sangat dekat dengan Analea. Analea menggeleng. Matanya memanas. Lagi-lagi Ratu menuduhnya seperti itu. Sekuat mungkin Analea tidak menangis. Ia tidak mau kehilangan moment indah di acara ini. Dimana sejak tadi ia bisa berinteraksi langsung dengan Maira. "Maaf, Non Ratu. Bu Maira yang meminta saya datang ke sini." Analea bicara tanpa berani menatap Ratu. Ia tidak ingin berdebat dan menjadi pusat perhatian para tamu. Sikap Ratu itu ternyata tak luput dari penglihatan Maira. Dari kejauhan Maira melihat Ratu sedang melotot pada Analea. Wanita cantik yang siang itu memakai gaun berwarna peach, memandang geram pada putrinya. Ia pun bergegas menghampiri Ratu dan Analea."Ratu, kamu apa-apaan, sih? Tamu sudah mulai berdatangan. Jaga sikap kamu!" Maira bicara setengah berbisik ke telinga Ratu. "Ana, kamu dampingi Kaisar saja!" "Baik,
"Ana, maaf, bisa tolong ambilkan saya minum?" Kaisar yang sedang serius berbincang dengan salah satu direksi berbisik pada Analea yang duduk di sebelahnya. "Baik, sebentar, Pak!" Analea bergegas menuju meja prasmanan dan meraih segelas jus untuk Kaisar. Kemudian bergegas kembali lagi. Namun, ia terkejut saat melihat Fabian kini juga ada di sana. Pria bercambang tebal itu duduk tepat di sebelah Kaisar. "Pak, minumnya!" Analea menyodorkan jus pada Kaisar, sambil mengangguk sopan pada Fabian yang sedang memperhatikan dirinya.Tatapan Fabian yang penuh arti, membuat dirinya tak sanggup berlama-lama berada di sana. Setelahnya, Analea sedikit menjauh dari para pria petinggi perusahaan itu. Ia merasa tidak pantas berada di antara mereka. Berada di dekat Fabian juga membuatnya tidak nyaman. Wanita memiliki rambut bergelombang itu memutuskan untuk melangkah menuju taman yang berada di samping aula. Jika Kaisar memerlukannya, pasti ia akan dihubungi lewat ponsel. Analea berdiri menghadap ta