"Ratu, kalian kerja hari ini?" Analea menyapa saat telah tiba di meja makan. "Ya." Ratu hanya menjawab singkat sambil tersenyum samar. Ia sempat melirik pada Rein yang ternyata langsung melangkah menuju kamarnya. Hatinya mencelos melihat sikap Rein. Ia menduga Rein masih menghindar darinya. Demi menenangkan hatinya yang seakan diremas, Ratu menghela napas panjang beberapa kali. "Hari ini ada rapat direksi. Jadi, maaf kami harus ke kantor," jelas Raihan yang melihat perubahan pada raut wajah Ratu. Ia memahami apa yang dirasakan istrinya itu. Diam-diam satu tangannya meremas lembut jemari Ratu yang berada di bawah meja, seakan ingin memberikan kekuatan pada hatinya yang sedang bersedih. "Nanti malam nginap sini lagi, kan?" Analea meraih kursi dan duduk tepat di sebelah Ratu. "Liat nanti, deh!" sahut Ratu pelan menunduk. Dalam hatinya ia belum sanggup untuk bersandiwara saat ini. Pura-pura bahagia di depan semua orang. Meski ia sadar posisinya hanyalah anak angkat, hati kecilnya sela
"Selamat pagi Pak Raihan, Bu ... hah?" Security itu ternganga setelah menyapa Raihan dan menoleh pada Ratu. "Selamat lagi, Pak!" sapa Ratu lebih dulu, lalu ia mengikuti langkah Raihan meninggalkan security yang masih terus menatap Ratu tak percaya. Ia berkali-kali menggosok-gosok matanya saat melihat Ratu yang sangat berbeda pagi itu. Raihan dan Ratu hampir sampai di pintu kaca. Ratu melangkah dengan sedikit mengangkat dagunya. Seorang wanita bertubuh gemuk memakai seragam OB buru-buru berdiri agak membungkuk ketika pintu kaca mulai terbuka. "Selamat pagi Pak, Bu ...." "Pagi, Mbak Susi!" Ratu tersenyum manis saat melewati Susi. Di tangan wanita gemuk itu ada peralatan yang biasa Ratu gunakan. Ia terkikik dalam hati melihat Susi yang langsung turun tangan untuk menggantikannya. "Itu ... itu ..." Ratu tergagap hingga tak sanggup bicara. "Mbak Susi, Mbak Susi!" Wanita sang resepsionis tergopoh-gopoh menghampiri Susi. "Mbak, itu, kan, Ratu? Jadi, apa yang dia bilang tempo hari itu
"Selamat pagi! Mari kita mulai saja rapatnya!" pinta Raihan ketika baru saja masuk. Ruang rapat telah lengkap dihadiri oleh para direksi dari pusat serta tim Audit. Ada Yumaina juga di sana. Wanita itu tersenyun pada Ratu sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia takjub dengan penampilan Ratu hari ini. Raihan menarik sebuah kursi dan meminta Ratu untuk duduk, lalu ia ikut duduk tepat di sebelah Ratu. Sikap Raihan itu mengundang perhatian semua yang hadir di ruangan itu. Sonia susah payah menelan salivanya karena gugup. Keringat dingin telah mengalir di keningnya. Berkali-kali ia menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Sedangkan Bety dan Vina duduk bersisian. Bety, wanita paruh baya itu tampak pasrah, meski raut wajahnya terlihat sangat sedih. Rapat di mulai dengan memaparkan bukti-bukti kuat yang ditunjukkan tim audit. Sonia beberapa kali mencoba membela diri, namun pembelaannya berhasil dipatahkan oleh Bety. Ratu pun ikut membantu memberikan kesaksian. Setelah semua jelas akhirn
"Masih sibuk?" Raihan masuk ke ruangan Ratu tanpa mengetuk. "Astaga! Aku lupa kamu belum makan siang. Sebentar!" Ratu tersadar suaminya belum makan, buru-buru mematikan laptop di depannya. "Aku sudah pesan makanan. Tapi kenapa belum datang?" Ratu membuka ponselnya untuk menghubungi seseorang. Sedangkan Raihan duduk bersandar di sofa. Ia terus memandang Ratu yang sibuk mengetik pesan. "Sedang berkirim pesan pada siapa?" "Aku meminta Nanang untuk membeli makanan. Tapi ternyata dia belum jalan. Sepertinya dia kerepotan dengan pekerjaannya." "Batalkan saja! Ayo ikut aku!" Raihan seketika bangkit meraih tangan Ratu dan membawa istrinya itu keluar dari ruangan. "Raiii, kita mau ke mana?" Ratu bergegas menyambar tasnya sebelum mengikuti Raihan. "Makan di luar." "Makan di luar? Pekerjaanku masih banyak, Rai. Kita pesan online saja, ya!" Ratu mencoba membujuk. Raihan tidak memperdulikan ucapan istrinya. Ia terus menggandeng Ratu melangkah menuju lift, dan hal itu kembali menjadi pusa
"Apaaa? Dia bebas?" Ratu terkejut. Netranya membola tak percaya "Mbak Khairatun pasti senang. Permohonan keringanan hukuman untuk Pak Alif akhirnya disetujui. Namun demikian, Pak Alif masih akan diawasi sampai waktu yang ditentukan nanti." "Silakan duduk, Pak Heru. Saya Raihan, suami Ratu!" Raihan menyalami pria paruh baya itu. "Lain kali saja, Pak Raihan. Saya hanya ingin memberikan kartu nama saya ini pada Mbak Khairatun. Saya tunggu Mbak untuk hubungi saya. Ada hal penting yang akan dibicarakan nanti." Setelah memberikan kartu namanya, pria bernama Heru itu pamit dan pergi. Ratu terdiam beberapa saat dengan wajah tegang. Menyadari hal itu, Raihan langsung merengkuh bahu istrinya. "Kenapa melamun? Ada yang mengganggu pikiranmu?"Ratu tersentak, lalu menggeleng." Ayo kita kembali ke kantor!" Mereka bangkit lalu keluar dari mall. Beruntung jalan arah menuju kantor sudah tidak macet seperti tadi. Hanya saja sepanjang jalan Ratu banyak diam. Raihan pun tidak banyak bertanya hingga
"Ratu hanya mengantuk, Bun." Raihan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita di depan Salma. "Ada apa kamu ke sini, Sonia?" Raihan bertanya dengan raut wajah dingin. "Sa-saya hanya silaturahmi saja." "Hmm .... Bunda, aku antar Ratu ke kamar dulu." Salma mengangguk. "Bu Salma, karena sudah malam, saya pamit pulang." Wanita yang ternyata adalah Sonia itu bangkit dari sofa, tapi pandangannya masih tertuju pada Raihan yang pergi meninggalkan ruang tamu. "Baiklah, Sonia." "Saya mohon, Bu Salma bisa bantu saya!" Sonia meraih kedua tangan Salma dan menggenggamnya. Wanita yang masih mengenakan pakaian kantor itu menatap Salma penuh harap. Salma menghela napas panjang dan tersenyum. "Saya akan coba bicara pada Raihan. Keputusan tetap hanya pada mereka." "Terima kasih, Bu Salma!" Sonia melangkah keluar meninggalkan rumah mewah itu Sementara Raihan sudah berada di kamarnya. Pikirannya terus tertuju pada kedatangan Sonia tadi. Ia penasaran, kira-kira apa yang dibicarakan pere
"Ratu, maaf, aku sudah tak sanggup menahan." Raihan menegakan tubuhnya, lalu melepaskan ikat pinggang. Tatapannya terus tertuju pada Ratu saat ia melepaskan celana panjangnya. Napasnya tersengal menahan diri. Sementara Ratu masih saja memejam dengan dengkuran halusnya. "Habisnya kamu susah banget dibangunin. Mungkin dengan cara ini kamu akan terjaga." Raihan mulai melakukan aktifitasnya dengan pelan dan lembut. Bibirnya mulai menyusuri tubuh bagian atas Ratu. Sementara satu tangannya pun tak mau berhenti bermain-main di sana. "Raaiii ..." Raihan tersenyum mendengar suara Ratu yang mirip sebuah desahan. Ia kini sudah tau bagaimana cara membangunkan istrinya jika tertidur pulas. Mata Ratu masih memejam, tapi tubuhnya tidak bisa berhenti menggeliat saat merespon semua sentuhan Raihan. Bibirnya pun berkali-kali menyebut nama Raihan. Saat ini ia merasa berada di atas awan dengan kenikmatan yang tak terkatakan. Raihan benar-benar berhasil membuatnya melayang-layang. Sesekali t
"Aku mau bebas secepatnya, Mela. Aku janji akan jadi suami yang baik setelah ini. Tolong segera urus semuanya!" Alif tampak memohon. Ia menatap Mela penuh harap. "Halaaah! Kamu dari dulu tidak pernah berubah. Aku nggak percaya. Kalau bukan pengacara itu yang bilang kalau kamu punya istri dan anak selain aku, tidak akan pernah terbongkar semua ini." Mela memandang Alif dengan kesal. "Apa karena aku nggak bisa ngasih kamu anak? Lagian memangnya kamu bisa kasih makan apa anakmu? Aku aja nggak pernah kamu nafkahin," Mela terus menyerocos, sementara Alif hanya menunduk tak berkutik. Sesaat keduanya diam. Meski kesal, Mela tetap saja merasa iba melihat Alif berada di penjara. Entah berapa bulan lamanya suaminya itu tidak pernah pulang dan tidak ada kabar. Tiba-tiba saja seorang pengacara mendatanginya dan menjelaskan keadaan Alif. Saat ini usaha WO milik Mela memang sedang naik daun. Tidak sedikit pengusaha dan kalangan artis yang menggunakan jasanya. Meski demikian ia harus mengeluarka