Beberapa bulan berlalu....Feli berdiri di pintu keluar gate kedatangan internasional, sedikit menghindari kerumunan orang-orang—yang tengah menjemput keluarga, sanak saudara, pasangan atau siapapunlah itu—untuk melindungi kandungannya yang sudah berusia 32 minggu agar tidak berdesak-desakan.Matanya awas memperhatikan setiap orang yang keluar dari dalam, tapi ia tak juga menemukan sosok yang sedang ditunggu-tunggu.“Seharusnya pesawatnya udah sampai dua puluh menit yang lalu,” gumam Feli seraya melirik arloji di tangan kanannya.“Mami, Papi masih belum datang?”Feli menoleh ke samping, Kimberly baru saja membeli minuman ditemani Dewi—pengasuhnya. Ia lantas mengelus puncak kepala putrinya yang hari ini rambutnya dicepol asal.“Belum, Nak. Mungkin sebentar lagi.”Bibir Kimberly mengerucut. Anak itu menyerahkan botol minumnya kepada Dewi, lalu mengaduk isi tas ransel bermotif kuda poni demi mencari sesuatu. Feli mengerutkan kening memperhatikannya.“Nyari apa, Sayang?”“Ketemu!” seru Ki
Penampilan pria itu agak sedikit acak-acakan. Rambutnya tidak rapi seperti biasanya—yang selalu dioles pomade, Feli memaklumi karena penerbangan yang memakan waktu lama. Namun, justru Archer yang seperti ini terlihat lebih mempesona dan jauh lebih muda dari usianya.Bulu halus di rahangnya cukup lebat, entah kapan terakhir kali pria itu mencukurnya. Tangan Feli jadi gatal ingin memainkan rahang suaminya itu.Sekarang lihatlah, Archer malah asyik memeluk dan menciumi Kimberly sambil tertawa. Feli merasa cemburu karena pria itu sama sekali belum menyapanya. Padahal Archer tak tahu seberapa besar rasa rindu Feli yang selama ini tertahan.Berada jauh dari Archer satu bulan, membuatnya sulit mendapatkan tidur yang berkualitas.Archer lantas menoleh dengan mata mengerling, tapi Feli sama sekali tidak ingin tersenyum. Ia kesal.“Princess, ada yang cemburu karena Papi belum memeluknya.” Archer mengeraskan bisikannya di telinga Kimberly, seolah sengaja ingin didengar Feli.Pipi Feli memerah, m
“Kamu beneran nggak lelah dan nggak ngantuk?”“Habis dapat energi baru masa lelah?” Archer terkekeh-kekeh sembari memunguti celananya yang berserakan di lantai, lalu mengenakannya tanpa malu di depan Feli.Feli segera membuang muka, menyembunyikan pipinya yang tiba-tiba merona. “Hormon oksitosin yang dilepaskan bikin laki-laki ngantuk setelah ‘itu’. Malam ini ternyata kamu pengecualian, ya?”Pria yang bermandikan peluh itu kembali tertawa. “Itu memang benar, sekarang aku ngantuk. Tapi perutku juga lapar, Sunshine.” Archer meringis sembari mengelus perut six-pack miliknya. “Aku mandi dulu.”Feli mengangguk. Ia sempat menahan napas ketika Archer melabuhkan kecupan mesra di dahinya, membuat rasa bahagia di hatinya kian membuncah.Merasa tubuhnya lengket, Feli akhirnya menyingkap selimut dan mengenakan pakaian yang sudah Archer taruh di ujung kasur. Kemudian masuk ke kamar mandi yang tidak terkunci.“Hey! Jangan bikin aku melakukan ‘sesi kedua’ sebelum makan malam, ya!”Seruan Archer dari
Semakin ke sini, Archer semakin bisa melihat karakter lain dari diri istrinya. Jika itu dulu, Archer selalu mengira Feli adalah wanita mandiri yang keras kepala.Sekarang Archer sadar, Feli tetaplah wanita yang pada dasarnya memiliki kecenderungan ingin dimanja dan diperhatikan. Selama ini Feli jarang memperlihatkan dua karakter itu di depannya.Archer tahu, Feli memendam sisi ‘manjanya’ karena kesalahan Archer sendiri. Wanita itu bersikap mandiri dan keras demi menutupi segala kelemahannya di depan Archer.“Jadi? Ranjangnya mau yang mana?” Archer mengusap puncak kepala Feli yang tengah merengut.“Ya udah kalau kamu mau yang itu, pilih yang itu aja.” Wajah Feli mendadak terlihat keruh.“Kok kayak nggak ikhlas gitu nentuinnya?” Lelaki berkaos pendek dan celana selutut itu terkekeh-kekeh. “Harus sesuai hati kamu dong maunya yang mana, biar nggak menyesal kalau kita udah di rumah.”“Aku minta pendapat kamu, tapi kenapa malah milihnya yang nggak ada dalam pilihan aku?” gerutu Feli.Alih-a
Feli terkejut. Merasa ada yang tidak beres dengan suami dan adiknya, ia segera kembali ke luar rumah untuk mengecek apa yang terjadi.Dan benar saja dugaannya. Mata Feli membulat saat ia melihat Archer sudah tersungkur ke lantai. Suaminya itu meringis sembari memegangi rahangnya yang tampak merah.“Bukankah sudah pernah kubilang padamu, jangan mengkhianatinya, Bastard,” geram Xavier sembari menarik kerah kaos polo yang dikenakan Archer. Tinjunya akan melayang lagi ke rahang Archer, tapi seruan Feli berhasil menghentikannya.“Apa-apaan kamu, Xavier?! Kenapa tiba-tiba menyerang dia?!” Feli mendelik tajam pada Xavier yang terlihat emosi.“Kakak tidak usah ikut campur, ini urusanku dan suami berengsekmu ini.”“Dia kakak iparmu dan berhenti memanggil dia berengsek!” sergah Feli dengan cepat. Ia menghampiri Archer dan membantunya berdiri. “Pipi kamu berdarah,” gumamnya khawatir.“Nggak apa-apa. Aku udah biasa, kok.” Archer mengulas senyum lembut, tapi sorot matanya tak bisa berbohong kalau
Archer terkekeh-kekeh setelah mendengar masalah apa yang membuat Xavier marah kepadanya.Xavier menatapnya dengan tajam dan penuh intimidasi. “Kamu menganggap masalah ini sebagai candaan?” Ia mendengus tidak suka.“Masalah ini benar-benar membuatku geli.” Archer berhenti terkekeh, lalu menghela napas berat dan balas menatap Xavier dengan sama tajam. “Jadi kamu datang ke sini, lalu tiba-tiba menghajarku, hanya gara-gara masalah ini?”“’Hanya’ kamu bilang?” desis Xavier dengan rahang berkedut. “Video hubunganmu dengan sekretarismu sudah tersebar luas, dan kamu menganggap itu ‘hanya’?” Xavier mendengus, kepalan tangannya terlihat bergetar seakan gatal ingin menonjok kakak iparnya lagi.“Masih beruntung aku tidak langsung memberitahu kakakku mengenai video ini,” lanjut Xavier lagi sembari menunjukkan ponsel di tangan yang satunya lagi. “Dulu kamu bisa menyakiti kakakku sesuka hati. Sekarang?” Xavier menggeleng.
Feli merasakan derap langkah seseorang yang tengah mendekat. Dari aroma parfumnya yang menguar di udara Feli tahu itu suaminya. Feli terdiam saat kedua lengan kekar pria itu melingkari dadanya dari belakang.“Aku ingin bicara sesuatu sama kamu,” gumam Archer seraya menempelkan pipi mereka.Feli tak menjawab. Ia hanya mengembuskan napas dengan berat.“Tapi apapun yang kamu dengar nanti, aku mohon, percaya padaku, ya?”“Mengenai video panas kamu sama mantan sekretaris kamu itu?’Ucapan bernada sinis itu membuat Archer terperanjat. Ia segera membalik tubuh Feli agar menghadapnya. Archer menelan saliva, seakan baru sadar bahwa ekspresi Feli ternyata terlihat… suram.“Kamu sudah tahu tentang gosip itu? Tahu dari mana?”“Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan kejelekanmu di depanku,” tandas Feli ketus. “Jadi jangan tanya aku tahu dari mana."Kemudian Feli berlalu pergi meninggalkan Archer, begitu saja. Archer hanya bisa menghela napas panjang seraya mengelus dada. Berharap Tuhan memberin
Feli tidak menjawab, tapi juga tidak menolak. Diamnya Feli diartikan sebagai persetujuan oleh Archer.“Oke. Lihat ke sini baik-baik.” Archer memutar video berdurasi tiga puluh detik tersebut, dan beberapa detik kemudian ia menjedanya. “Mau lihat nggak?” Ia menarik dagu Feli lagi saat wanita itu tidak mau menatap layar laptop.Feli mengembuskan napas panjang. Kemudian mengangguk dan memperhatikan Archer yang men-screenshoot potongan video tersebut.Archer membuka galeri foto, lantas memperbesar foto yang barusan ia screenshoot. “Perhatikan bagian ini.” Ia mengarahkan kursor pada papan nama perusahaan berbahan akrilik, terletak di dinding berseberangan dengan sofa. Papan nama itu berwarna hitam mengkilap, berbentuk persegi panjang. Di tengahnya terdapat tulisan “Tiger Corp” yang timbul, berwarna emas.“Aku nggak lihat apa-apa di situ selain warna hitam aja,” gumam Feli.“Kamu lihatnya ke mana memang?”“Semuanya.”Archer merotasi matanya, suatu kebiasaan yang sering dilakukan Feli. Dan y