Share

Bab 2 : Siasat

Penulis: Wii
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-10 09:56:27

Aku menatap tajam ke arah Ibu mertuaku, Rania, dan Mas Athar secara bergantian. Masing-masing dari mereka masih belum menanggapi ucapanku. Mereka terdiam beberapa saat, hingga akhirnya aku melanjutkan ucapanku. Segala uneg-uneg yang kutahan selama ini, harus kukeluarkan saat ini juga. Agar mereka paham, bahwa aku bukanlah wanita lemah yang bisa selamanya mereka tindas. Aku juga berhak membela diri demi kebahagiaanku sendiri.

Kedua tanganku sudah terlipat di dada. Masih menatap mereka secara bergantian. “Dari awal, rumah ini aku beli dari hasil kerja kerasku sendiri, bukan dari hasil ngemis. Justru yang mengemis jabatan itu kamu, Mas Athar. Kamu yang cocok disebut benalu dalam rumah ini. Begitu juga dengan Mama dan Rania. Selama hampir lima tahun, kalian memperlakukanku bukan sebagai menantu, istri, ataupun kakak ipar. Kalian menganggapku hanya sebagai pembantu di rumahku sendiri.”

“Apa pantas orang yang menumpang, bertingkah layaknya seorang majikan di rumah yang dia tumpangi? Harusnya kalian yang berkaca diri, bukan aku. Kalian bisa aja aku usir dari rumah ini, detik ini juga. Tapi, aku masih punya nurani. Nggak kayak kalian yang bisanya cuma menghina, tapi nggak sadar diri,” lanjutku lalu intens menatap Mas Athar. “Dan buat kamu, Mas. Silahkan lanjutkan hubunganmu dengan Lusi. Aku nggak peduli.”

“Alah! Baru punya rumah kayak gini aja udah belagu! Masih banyak orang kaya lain yang rumahnya lebih bagus dari ini!”

Seruan Rania itu langsung menarik perhatianku. Aku menatapnya dan memperhatikan wajah sinisnya. Dia membalas tatapanku. Tidak ada rasa takut sedikitpun di matanya. Aku menyeringai. Ternyata, lawanku itu masih belum sadar juga.

Aku melangkah pelan, mendekati Rania. Dengan santai aku berkata, “Oh, iya ya. Ehm, rumahku memang nggak besar sih. Cuma tiga tingkat. Tapi, aku bangga karena ini rumahku sendiri. Kamu sama suamimu, punya rumah nggak?”

Saat dia hendak membalas perkataanku, Ibu mertuaku sudah lebih dulu berbicara dengan nada yang keras. Lagi-lagi, atensiku teralihkan.

“Jaga omongan kamu, Ziva! Kamu itu nggak bisa semena-mena walaupun ini rumahmu! Kamu lupa, hidup kamu itu masih dibiayai sama Athar! Jadi, selama kamu masih numpang hidup, kamu harus bersikap sopan sama kami!”

“Iya, Ziva. Kamu itu masih numpang biaya hidup sama aku. Nggak usah sok berlagak paling kaya, kalau kamu sendiri masih jadi pengangguran.” Mas Athar ikut menyambung ucapan Ibunya. “Kalau kamu marah karena aku selingkuh, itu urusan kamu. Lagian, suami itu boleh punya istri lebih dari satu. Jadi, wajar dong kalau aku mau nikah lagi. Nanti tugas kamu layani calon istri aku yang baru. Biar kamu ada kerjaan di rumah. Jangan jadi pemalas.”

Tak lama kemudian, mereka tertawa. Mereka tertawa sangat kencang sekali. Aku tidak menyangka, suamiku sendiri tidak membelaku sama sekali. Dia justru ikut-ikutan seperti mertua dan iparku.

Bodohnya aku yang terlalu percaya pada mulut manisnya itu. Harusnya sejak awal bertemu dengannya, aku tidak langsung tergoda. Harusnya aku mendengarkan nasehat dari Pak Cokro saat itu.

“Makanya, jadi istri itu jangan kebanyakan protes. Terima aja kenyataannya. Kamu itu masih benalu, walaupun ini rumahmu. Nggak usah lancang buka-buka handphone suami. Inilah akibatnya kalau kamu ganggu privasi suami,” lanjut Mas Athar. “Cuci piring sana! Habis itu masak untuk makan malam kami. Nggak usah manja kamu.”

Mas Athar meninggalkanku. Aku berusaha untuk menahan tangisanku saat mendengar ucapan menyakitkannya itu. Kedua tanganku perlahan mulai turun ke bawah dan mengepal erat di samping kanan dan kiri tubuhku.

Ibu mertuaku dan Rania masih berdiri di hadapanku dengan tatapan meremehkan. Rania pun berkata, “Kok bisa ya Mas Athar pilih kamu? Udah jelek, sok kaya lagi. Dih, malu-maluin aja.”

“Mas kamu itu cuma manfaatin dia aja. Mana mungkin Athar punya selera rendahan kayak dia ini. Ibu aja nggak selera lihatnya,” sahut Ibu mertuaku. “Ayo kita keluar, Rania. Eneg juga lihat dia lama-lama.”

“Iya. Ayo, Ma.”

Setelah mereka pergi, tubuhku langsung lemas dan terduduk di lantai. Air mataku mulai menetes di pipi. Aku menangis. Wanita mana yang sanggup menghadapi sikap suami, mertua dan ipar yang seperti itu? Jujur, aku tidak sanggup.

Aku memang berusaha kuat di depan mereka. Tapi, saat sedang sendiri, aku akan menangis dan menumpahkan segala kesedihanku sendirian. Karena aku tidak mungkin mengatakan semua perlakuan suamiku itu pada orang lain, ataupun keluargaku sendiri.

“Ya Allah, bantu aku untuk menyelesaikan semua kerumitan ini. Aku ingin terbebas dari mereka.” Setelah berdoa, aku pun bergegas ke kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat tiga rakaat.

Sepanjang salat, air mataku tak berhenti menetes. Hingga aku selesai salat pun, air mataku masih saja mengalir di pipi, dan bahkan semakin deras. Kedua tanganku terangkat untuk kembali berdoa. Meminta petunjuk pada Sang Pencipta agar aku terbebas dari penindasan ini.

Dan setelah selesai berdoa, ingatanku mulai tertuju pada Pak Cokro. Aku bergegas meraih ponselku yang ada di atas nakas, lalu mengirimkan pesan singkat padanya.

[Assalamualaikum, Pak. Maaf ganggu waktunya. Bisa saya ketemuan sama Bapak?]

Aku sedikit cemas saat menunggu balasan dari Pak Cokro. Saat ini, aku masih memakai mukenah berwarna biru langit. Aku duduk di tepi kasur sambil terus menatap layar ponsel.

Ting! Notifikasi pesan W******p pun muncul. Aku segera membukanya dan membaca pesan dari Pak Cokro. [Waalaikumsalam. Bisa. Besok kita ketemuan ya. Kebetulan kita udah lama nggak ngobrol.]

[Siap, Pak. Jam berapa ketemuannya, Pak?] Itu balasan pesanku untuk Pak Cokro.

[Jam satu siang ya. Soalnya besok pagi sampai jam dua belas jadwal saya padat. Nanti kamu tunggu aja di kafe dekat kantor. Saya pasti datang.]

[Iya, Pak. Kalau gitu, sampai ketemu besok, Pak. Assalamualaikum.]

[Waalaikumsalam.]

Aku mengunci layar ponselku dan tersenyum lebar. “Mungkin saat ini, kamu bisa bertingkah seenaknya, Mas. Tapi, lihat apa yang bakal aku lakuin ke kamu setelah ini.”

Bab terkait

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 3 : Ribut dengan Ibu Mertua

    Prang! Tanpa disengaja, aku menjatuhkan gelas ketika sedang mencuci piring. Tanganku memang gemetar sejak tadi karena belum makan. Aku lapar, namun aku tidak diizinkan makan oleh suami dan mertuaku, sebelum aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Ditambah lagi masalah tadi saat aku memergoki chat mesra Mas Athar dengan Lusi. Mereka malah melarangku untuk makan sampai besok.Tentu saja aku tidak kuat jika harus menunggu sampai besok. Aku butuh makan sekarang, namun mereka selalu mengawasiku di dapur. Sampai akhirnya, aku memecahkan gelas karena tanganku yang sudah gemetar.Kurasakan tarikan kuat di rambutku dari arah belakang. Aku memekik kesakitan dan melihat ternyata itu Ibu mertuaku. Kurang ajar sekali dia menarik rambutku seperti ini.“Kamu itu kalau kerja yang bener! Jangan bisanya cuma ngerusakin barang!” teriaknya tepat di dekat telingaku. “Kamu sengaja kan pecahin gelas supaya dapat perhatian dari Athar?! Cih! Menjijikkan. Kamu itu cuma gembel, dan burik! Nggak usah sok cari perhati

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-27
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 4 : Tawaran

    Aku berjalan memasuki sebuah kafe, dimana aku dan Pak Cokro sudah membuat janji untuk bertemu. Keningku masih terasa berdenyut karena kejadian semalam. Tapi, aku sudah memeriksakan kondisiku ke rumah sakit, sebelum tiba di kafe. Aku duduk di kursi yang letaknya di sudut dan bisa melihat pemandangan luar melalui dinding yang terbuat dari kaca bening.Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang dan mungkin sebentar lagi Pak Cokro akan datang.“Permisi, Mbak. Mau pesan apa?” Seorang pelayan datang menghampiriku sambil menyodorkan menu makanan dan minuman kafe tersebut.“Saya pesan teh lemon aja, Mas,” ucapku pada pelayan itu.“Baik. Itu saja, Mbak? Ada tambahan lain?”“Untuk sementara itu aja, Mas,” jawabku sambil tersenyum.“Baik. Ditunggu pesanannya ya, Mbak.”Aku hanya menganggukkan kepala. Pelayan itu pun berlalu dari hadapanku. Dan tak lama setelah itu, orang yang ditunggu tiba. Pak Cokro datang dengan pakaian yang rapi, khas orang ka

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-06
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 5 : Suami dan Ipar yang Tak Tahu Diri

    Menjelang maghrib, aku baru tiba di rumah karena aku memilih menyendiri di taman untuk waktu yang cukup lama, setelah pertemuanku dengan Pak Cokro tadi. Hal itu pula yang menyebabkan aku pulang terlambat. Aku tahu, suamiku dan keluarganya pasti kesal atas keterlambatanku ini. Bisa dilihat berapa banyak panggilan masuk dan pesan singkat di ponselku.Aku mendecih saat memeriksa ponsel di perjalanan tadi. Tanpa adanya aku di rumah, mereka semua akan kelaparan. Rumah pasti sudah sangat berantakan. Rania dan Ibu mertuaku tidak tahu bersih-bersih sama sekali. Padahal sebelumnya mereka bukan dari keluarga kaya.“ZIVA, DARI MANA AJA KAMU?!”Hhh! Sungguh, teriakan Mas Athar sangat memekakan telinga. Aku mendengus pelan sambil menatapnya dengan datar. Kuperhatikan penampilannya kali ini yang tampak acak-acakan. Tidak terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya juga kelihatan stres dan tertekan. Mungkinkah Pak Cokro sempat menegurnya tadi?“KALAU SUAMI NANYA ITU DIJAWAB!”Aku mendecak kesal. “Aku h

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-06
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 6 : Kejutan Dimulai

    “Ziva!”Aku yang sedang merapikan hijab pun langsung memejamkan mata ketika teriakan Ibu mertuaku mulai terdengar. Kuhembuskan napas panjang, lalu bergegas keluar kamar sambil membawa tas yang selalu kugunakan saat bekerja dulu. Pakaianku juga sudah rapi, layaknya seorang CEO.Ketika aku sampai di bawah, semua orang yang ada di meja makan terkejut melihat penampilanku. Mereka melongo sambil mengamati penampilanku dari atas hingga ke bawah, termasuk Mas Athar. Dia bahkan sampai berdiri dan mendekatiku.Kemudian, dia bertanya, “Mau kemana kamu? Kok rapi banget.”“Mau kerja,” jawabku santai.“Apa? Kerja?” Rahma, si Ibu mertua menyebalkan itu tiba-tiba mendekatiku dan mendecih saat menatapku. “Mau kerja apa kamu, hah? Kamu itu cocoknya jadi babu. Nggak usah mimpi deh kerja kantoran. Pakai jas segala lagi,” cibirnya.“Iya bener tuh, Ma. Paling cuma kerja jadi kasir, tapi sengaja pakai pakaian kayak gini. Biar kelihatan keren.” Rania menimpali.Mas Athar langsung menyambar tas yang kupegang

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-08
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 7 : Berkuasa

    Aku duduk di kursi kerjaku, setelah lelah berkeliling kantor bersama Pak Cokro. Aku memandangi meja kerja yang sudah terisi peralatan kerja. Mulai dari laptop, sampai beberapa peralatan kerja lainnya. Tak hanya itu saja fasilitas yang kudapat. Di sisi kiri ruangan, ada sebuah toilet khusus agar aku tidak perlu lagi ke toilet bawah untuk buang air. Ruanganku juga terbilang besar dan lebar. Ada beberapa sofa dan meja di sudut kanan untuk menerima tamu yang datang.Selain itu, aku juga diberi kartu akses untuk masuk ke dalam beberapa ruangan penting—yang memang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan saja.Aku sungguh menikmati semua ini. Bahkan senyumku tak pudar sedikitpun sejak tadi. Tuhan memang sangat baik padaku. Aku bersyukur karena bisa bangkit kembali setelah hampir lima tahun terkurung bersama orang-orang licik itu.Brak! Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, namun masih bisa mengendalikan diri. Apalagi yang masuk ke dalam ruanganku adalah Mas Athar. Senyum s

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-11
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 8 : Iri?

    Pukul 12.00 siang aku makan di kantin bersama Pak Cokro dan Pak Andi. Kami bertiga sedang membahas masalah pengiriman barang tekstil ke konsumen. Beberapa waktu yang lalu, pengiriman barang sengaja ditunda oleh Pak Cokro karena adanya kecurangan. Belakangan diketahui, pendapatan perusahaan mendadak turun, dan Pak Cokro menduga, pihak konsumen yang melakukan kecurangan. Namun, aku memberi saran padanya agar tidak menuduh satu pihak saja.Pak Cokro sempat kesal saat aku berkata demikian. Dia mengira aku menuduh orang dalam perusahaan ikut terlibat. Tapi, aku langsung menegaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi. Dalam dunia bisnis, sudah pasti ada yang jujur, ada juga yang licik. Tidak menutup kemungkinan, ada orang dalam yang melakukan kecurangan itu.“Pihak-pihak terkait di perusahaan ini harus diperiksa, Pak. Kita jangan menyalahkan satu pihak. Mungkin aja pihak konsumen udah kasih pembayaran yang jelas dan tepat. Selama saya menjabat sebagai manajer keuangan, masalah kayak gini nggak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-11
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 9 : Kekerasan

    Menjelang Maghrib, aku dikejutkan oleh kehadiran Mas Athar di dalam kamar. Dia sengaja membuka pintu dengan kasar. Aku menatapnya dengan tajam. Kudekati dia tanpa rasa takut sedikitpun.Namun, baru saja aku berhenti tepat di depannya, satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sial! Aku tidak bisa menghindari tamparannya. Alhasil, pipiku memerah dan terasa perih.“Dasar istri nggak tahu diri kamu!” teriaknya. “Sementang kamu jadi CEO di perusahaan Pak Cokro, terus kamu bisa seenaknya aja sama aku! Kamu sengaja mau bikin malu aku, hah?!”“Iya. Aku emang sengaja mau bikin kamu malu. Terus, mau kamu apa, hah?!” Aku membalas perkataannya dengan lantang. Aku sudah tidak takut lagi pada suami yang tidak pernah menghargaiku. “Itu masih belum parah, Mas. Aku bisa aja bikin kamu lebih malu lagi,” lanjutku.Kulihat tangannya terkepal di samping kanan dan kiri. Dia menatapku dengan garang. Wajahnya merah padam karena amarah. Akan tetapi, itu tak membuatku takut. Justru aku membalas tatapannya dan b

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21
  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 10 : Memohon

    Tiga hari telah berlalu. Aku mulai disibukkan dengan pekerjaanku. Sedangkan Mas Athar sudah di proses oleh pihak kepolisian. Lalu mertuaku? Dia terus menangis dan memohon agar aku membebaskan Mas Athar dari tuntutan. Jelas saja aku menunda pencabutan tuntutan. Hal itu sengaja kulakukan untuk memberi efek jera pada suami kurang ajar seperti Mas Athar.Sudah diberi jabatan yang layak, malah merendahkanku, menduakanku, dan sekarang dia juga sudah berani melakukan kekerasan padaku. Inilah akibat yang harus dia tanggung.“Ziva, tolong cabut laporan kamu. Mama mohon.”Aku menatap ibu mertuaku dengan sinis. “Maaf, Ma. Laporan nggak bisa aku cabut. Silahkan nikmati aja prosesnya. Toh ini juga kesalahan dari anak Mama sendiri.”“Ziva, jangan egois. Dia suamimu. Nggak pantas kamu laporkan dia. Dia ngelakuin itu juga ada sebabnya. Pasti kamu yang cari masalah duluan.”“Siapa yang egois?” tanyaku sinis.“Ya kamulah!”Aku tertawa sambil tetap menatapnya sinis. Masih pagi, tapi aku sudah mendengark

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-26

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 22 : Salah satunya ... aku

    Sore ini, Ziva tampak berjalan-jalan di sekitar taman, sendirian. Dia menikmati suasana sekitar hotel yang ramai pengunjung. Beberapa anak kecil tampak berlari kesana kemari di taman itu. Ziva hanya bisa tersenyum melihat raut wajah bahagia mereka.Ziva duduk di salah satu kursi berwarna putih sambil menatap anak-anak kecil yang berlarian itu. Dia kembali teringat dengan pernikahannya dulu. Andai saja dia memiliki seorang anak, mungkin Athar akan berpikir ulang untuk menyakitinya. Namun apalah daya, takdir yang mengatur kehidupannya.“Ziva.”Ziva menoleh ke kiri untuk melihat seseorang yang menyapanya. Seketika bola matanya memutar dan dia memutuskan untuk membuang muka ke arah lain.“Kok kamu sendirian aja sih? Harusnya ajak aku,” ujar Nathan dengan nada santainya.“Ngapain juga aku ngajak kamu? Lebih enak jalan-jalan sendirian daripada sama kamu,” jawab Ziva tanpa menatap Nathan. “Mending kamu nongkrong di tempat lain deh. Jangan di sini.”“Loh, emangnya kenapa? Ini kan tempat umum.

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 21 : Diincar anak tunggal kaya raya

    “Gila. Ini gila.”Ziva berjalan kesana kemari di dalam kamar hotelnya. Ia meremas rambutnya sendiri sambil terus mondar mandir. Kepalanya mendadak pusing setelah semalaman memikirkan ucapan Nathan kemarin.Pria itu mengungkap perasaannya untuk Ziva dan jelas sangat mengganggu pikiran Ziva. Ia tidak menyangka Nathan akan mengungkapkan perasaannya begitu cepat. Padahal mereka baru saja bertemu.“Nggak. Ini nggak mungkin. Nggak mungkin cowok kaya raya seperti Nathan bisa suka sama aku. Nggak, itu nggak mungkin.” Ziva menghentikan langkahnya dan duduk di atas kasur. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang sambil menghela napas panjang, “Apa mungkin itu cuma halusinasi aku aja ya? Sumpah, ini berasa mimpi di siang bolong.”Beep!Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Ia segera mengambil ponsel itu dan melihat nama si pemanggil. Ternyata itu Pak Cokro. Ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya pada kakek tersebut.“Assalamualaikum, Pak.”‘Waalaikumsalam. Gimana kabar kamu, Ziva? Seh

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 20 : Kamu

    Tiga bulan berlalu, kini Ziva sedang berada di Bali untuk berlibur. Ia mendapatkan reward dari Pak Cokro atas kerja kerasnya membantu perusahaan. Ziva merasa senang karena bisa merasakan liburan lagi, setelah berpisah dengan Athar. Dulu, saat masih bersama Athar, Ziva tidak pernah liburan. Ia selalu ditinggalkan sendiri di rumah ketika Athar dan keluarganya pergi berlibur.Ziva menghela napas lega saat duduk di tepi pantai. Ia bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan saat ini. Akhirnya ia bisa menjadi Ziva yang tegas dan berani. Terkadang, Ziva merasa malu jika mengingat betapa bodohnya dirinya saat masih berstatus istri Athar. Ia merendahkan dirinya demi mempertahankan pernikahan itu. Tapi untunglah Ziva cepat tersadar dan kembali bangkit. Jika tidak, selamanya ia akan ditindas.“Hai.”Ziva menoleh ke samping kanan ketika seseorang menyapanya. Ia mengernyit karena tidak mengenal pria tersebut. Pria itu duduk di dekatnya sambil tersenyum.“Sorry kalau kedatangan gue bikin lo nggak nyam

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 19 : Meminta Bantuan

    Rahma mendatangi penjara lain, sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Ziva. Ia ingin menemui Rania dan melihat kondisi putrinya. Sudah dua hari ia tidak melihat Rania. Ia mengira, Rania sengaja meninggalkannya sendirian. Tapi ternyata, putrinya justru menjadi tersangka dan mendekam di penjara. Kini nasib kedua anaknya sama-sama berstatus narapidana.Sesampainya di lokasi tersebut, Rahma bertemu dengan salah satu petugas dan meminta izin untuk menjenguk Rania. Petugas mengizinkan dan memberikan waktu pada Rahma untuk berbicara pada putrinya.Mereka berdua duduk berhadapan. Rania sudah memakai baju tahanan dengan tangan diborgol. Di sudut lain, ada salah satu petugas yang berjaga agar Rania tidak kabur. Sementara Rahma hanya bisa menangis setelah melihat Rania.“Ma, syukurlah Mama datang. Tolong bebasin aku, Ma. Aku nggak mau ada di sini. Mama harus cari cara supaya aku bisa bebas,” ucap Rania.“Mama bisa apa, Ran? Kamu tahu kan, kita ini nggak punya uang untuk sewa pengacara. Lagipul

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 18 : Menjadi Gembel

    Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu dari luar membuat Rahma terbangun dari tidurnya. Ia sedang menahan lapar selama dua hari karena menunggu Rania. Namun anak itu justru tidak pulang ke rumah. Rahma benar-benar lemas sekali dan tidak sanggup berjalan ke depan. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya gemetar.Tok! Tok! Tok!Pintu kembali diketuk karena tidak ada yang membukakan. Dengan sangat terpaksa, Rahma berusaha bangkit dan mencoba berjalan menuju pintu. Ia berjalan pelan sambil memegang tembok di sekitarnya. Berusaha untuk bertahan meski kepalanya terasa sakit.“Rahma!”Teriakan dari luar semakin membuat Rahma mempercepat langkahnya. Sesekali ia meringis ketika kepalanya berdenyut. Sesampainya di depan pintu, ia segera membukanya dan terkejut melihat siapa yang datang. Ternyata si pemilik kontrakan. Sudah jelas maksud dan tujuannya datang ke rumah itu untuk menagih uang kontrakan.“Mana uang kontrakannya?! Saya udah nunggu dari kemarin, tapi anak kamu sama sekali nggak datang!” teria

  • Istri yang Tak Dihargai   Bag 17 : Harga yang Harus Dibayar

    POV Author“Rania!”Rahma berteriak ketika dirinya baru saja tiba di rumah sewa yang bisa dianggap seperti kos-kosan. Ia datang dengan raut wajah marah sambil menatap Rania dengan tajam.Rania yang saat ini tengah sibuk bergelut dengan ponselnya hanya menggumam, seakan tidak peduli dengan kedatangan ibunya.“Ran, kita udah nggak punya beras! Kita mau makan apa nih kalau kamu pun nggak mau kerja!” teriak Rahma.“Aduh, Ma. Aku tuh malas kerja. Kenapa nggak Mama aja yang kerja?” Rania berbicara tanpa menoleh.Ucapan Rania jelas membuat Rahma semakin marah. Setega itu anak kandungnya menyuruhnya untuk bekerja. Padahal usia Rahma juga sudah tua dan fisiknya sudah melemah. Mustahil baginya untuk bekerja.Seketika Rahma menyambar ponsel Rania, hingga membuat Rania menatapnya tajam. Namun, Rahma tidak peduli. Memang itulah tujuannya.“Mama apa-apaan sih! Balikin hp aku!” teriak Rania.“Nggak bakal Mama balikin. Hp ini Mama sita, sampai kamu dapat kerjaan. Kita ini udah jatuh miskin, Ran. Jadi

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 16 : Diteror

    Aku baru saja sampai di rumah pukul 18.00 sore. Namun tiba-tiba, seseorang melemparkan sebuah batu dan hampir mengenai kepalaku. Aku menoleh ke arah belakang, tapi orang yang melempar batu itu langsung berlari. Aku mencoba mengejarnya, namun dia sudah menghilang lebih cepat dari dugaanku.Kesal sekali rasanya. Baru saja pulang kerja, masih merasa lelah, sampai di rumah mendapatkan kejutan seperti ini. Entah siapa orang iseng itu. Kalau aku tahu siapa orangnya, mungkin sudah kuseret keliling komplek.Aku mengambil batu itu dan membuangnya. Kemudian aku masuk ke rumah untuk membersihkan diri.Ting!Satu notifikasi masuk ke ponselku. Aku yang hendak masuk ke kamar mandi pun terpaksa memeriksa ponselku. Barangkali itu pesan dari Pak Cokro.Namun, setelah kubaca, ternyata pesan itu dari nomor asing. Pesan itu berisi ancaman yang ditujukan untukku.[Dasar cewek nggak tahu diri! Lihat aja, kamu nggak akan pernah hidup tenang! Aku bakal balas dendam sama kamu! Hati-hati!]Kuhela napas panjang

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 15 : Urusan Kita Sudah Selesai

    Satu minggu telah berlalu, sejak penangkapan Mas Athar dan Lusi. Kini, kehidupanku jauh lebih tenang dari sebelumnya. Para benalu yang sempat menetap di rumahku, kini sudah pergi dan tak akan pernah bisa kembali lagi. Meskipun keluarganya Mas Athar masih terus mendatangiku sambil memohon untuk membebaskan Mas Athar dan memberikan mereka tempat tinggal. Sayang sekali, permohonan itu jelas ku tolak karena aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Sudah cukup mereka membuatku menderita. Kini, biar mereka tanggung sendiri akibatnya.“Ziva, bagaimana proses perceraianmu dengan Athar? Udah diurus?” tanya Pak Cokro padaku, saat kami sedang makan siang bersama di kantin perusahaan.Akupun dengan cepat mengangguk. “Udah, Pak. Semuanya udah diurus. Tinggal tunggu prosesnya aja. Semoga aja bisa cepat selesai.”“Amin. Saya berharap, urusanmu sama Athar bisa selesai secepatnya. Kamu berhak bebas dari manusia nggak tahu diri kayak dia. Kamu pantas dapatkan yang lebih baik lagi,” ujarnya.Aku ters

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 14 : Penangkapan

    “Geledah semuanya!”Pak Cokro langsung memerintah anggotanya untuk menggeledah seluruh ruangan Mas Athar. Aku dan Zahya menyaksikan penggeledahan itu. Sedangkan Mas Athar masih belum tiba di kantor, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi.Tadi, sebelum aku berangkat bekerja, dia sudah siap-siap untuk berangkat. Akan tetapi, dia bilang ingin singgah sebentar ke rumah temannya. Aku tidak terlalu menggubris ucapannya. Jika memang dia berniat kabur karena sudah mendapatkan info penggeledahan ini, itu tidak jadi masalah bagiku. Anggota Pak Cokro ada dimana-mana. Mereka bisa dengan mudah melacak keberadaan Mas Athar.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya anggota Pak Cokro berhasil menemukan nota pembelian palsu yang dibuat oleh Mas Athar dan Lusi. Mereka memberikannya pada Pak Cokro.“Sialan mereka! Ternyata udah lama mereka berbuat curang kayak gini! Kecolongan saya!” geram Pak Cokro.“Memangnya, selama ini nggak ada pengecekan, Pak?” tanyaku.“Nggak ada, Ziva. Saya selalu mem

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status