[Mas Athar, ntar malem jadi kan ke rumah? Aku kangen nih. Jangan lupa bawa hadiah ya. Harus yang mewah loh. I love you, Mas Athar-ku sayang.]
Aku terkejut saat membaca pesan masuk dari W******p suamiku. Mas? Kangen? Apa maksud semua ini? Jadi, Mas Athar diam-diam selingkuh di belakangku?Kedua tanganku sudah gemetar, namun berusaha untuk bertahan demi membaca pesan sebelumnya. Ternyata benar. Mas Athar selingkuh dengan wanita lain. Aku pun segera melihat profil wanita itu, dan … rasanya aku ingin pingsan detik itu juga.Aku tidak menyangka, suamiku berselingkuh dengan mantan rekan kerjaku dulu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tanggaku adalah Lusi Candrika. Lusi yang kukenal sangat baik dan ramah, ternyata tega mengkhianatiku sebagai temannya sendiri.“Ziva!”Aku tersentak kaget sampai ponsel Mas Athar hampir terjatuh ke lantai. Ketika diriku mulai tersadar dari lamunan, aku menoleh ke belakang. Ternyata Mas Athar sudah berdiri di belakangku sambil menatapku dengan tajam. Dia bahkan merampas ponselnya dari tanganku sedikit kasar.“Kamu selingkuh sama Lusi, Mas? Sejak kapan? Barusan aku periksa chattingan mesra kamu sama Lusi, dan malam ini kamu mau ketemuan sama dia. Jawab Mas!”Aku mendesaknya untuk jujur. Namun, dia justru berucap, “Lancang kamu ya periksa handphone aku! Ini tuh privasi! Jangan mentang-mentang kamu istriku, terus kamu bisa berbuat seenaknya aja!”Mas Athar benar-benar berteriak keras sekali. Sampai mertua dan iparku masuk ke kamar kami. Kebetulan, kamar kami bersebelahan dengan kamar mertua dan juga iparku.Jika sudah seperti ini, aku pasti akan dipojokkan oleh keluarga Mas Athar. Di sini, tidak ada yang membelaku sama sekali. Suami yang selalu kuharapkan, justru diam-diam telah berselingkuh dengan Lusi.“Ada apa sih kok ribut-ribut? Ini udah mau maghrib loh.” Itu Ibu mertuaku yang bicara. Aku hanya menatapnya sekilas, dan kembali menatap Mas Athar.“Ini loh, Ma. Ziva lancang banget periksa handphone aku. Padahal ini privasi.”Ibu mertuaku langsung menatapku dengan tajam sambil menaikkan kacamatanya yang sedikit merosot. Matanya yang lebar pun melotot tajam, seakan bola mata itu akan keluar dari tempatnya.Tanpa berkata apapun, Ibu mertuaku langsung menoyor kepalaku dengan kasar, sampai aku hampir terjatuh. Untung saja aku masih bisa berdiri seimbang.Dasar mertua laknat!“Istri kurang ajar kamu ya! Bisa-bisanya ganggu privasi suami sendiri! Apa tujuan kamu periksa handphone Athar, hah?! Mau fitnah dia selingkuh, iya?! Terus, kalau dia selingkuh, kamu mau apa, hah?! Kamu tuh udah miskin dan nggak punya apa-apa! Makan kamu, biaya hidup kamu, semuanya ditanggung sama Athar!”“Tahu nih! Kok ada ya istri nggak tahu diri kayak kamu. Udah hidup numpang, malah buat ulah.” Iparku itu ikut menambahkan.Aku masih tetap diam. Berusaha menekan rasa amarah yang bergemuruh di dada. Aku harus tetap menunjukkan sikap wibawaku di depan orang-orang tidak waras itu. Meskipun sejujurnya aku ingin menangis. Tapi, aku tetap menahannya.“Kamu itu ngaca, Va! Masih mending si Athar mau nampung kamu di sini. Kalau nggak, udah jadi gelandangan kamu tuh,” lanjut Ibu mertuaku.Siapa yang mereka sebut tidak tahu diri? Aku? Mereka menganggapku menumpang hidup? Astaga. Ingin sekali kuremas mulut dua wanita jahanam itu dengan tanganku sendiri. Harusnya mereka yang berkaca diri. Mereka yang menumpang hidup denganku. Jelas-jelas rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah hasil jerih payahku sebelum menikah dengan Mas Athar. Lalu Mas Athar mendapatkan jabatan terbaik juga karena bantuanku. Kenapa mereka berkata seolah aku yang benalu?“Udah deh, Mas Athar, mending usir aja cewek benalu ini. Dia nggak cocok sama Mas,” ucap Rania, adik iparku.“Iya, Athar. Mending kamu cari cewek yang lebih kompeten dan bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi. Mama nggak cocok sama dia. Jijik juga. Mukanya dekil, nggak ada bagus-bagusnya,” sambung Rahma, ibu mertuaku.“Kalian tenang aja, bentar lagi juga bakal aku asingkan dia. Aku lagi proses nih cari calon istri baru. Aku juga udah muak sama dia. Bisanya cuma nyusahin.”Nah, itu suamiku sendiri yang berkata. Sungguh suami yang tidak tahu diri. Ibarat kacang, lupa pada kulitnya. Dia bukan siapa-siapa tanpa bantuanku. Aku jadi teringat, tahun pertama setelah menikah dengannya. Saat itu, dia memohon padaku agar aku memberikan jabatanku padanya. Jabatan sebagai Manajer Keuangan di salah satu perusahaan swasta milik Pak Cokro Atmadja, harus kualihkan pada Mas Athar.Kala itu, Mas Athar masih menjabat sebagai karyawan keuangan biasa dan aku merupakan atasannya di kantor. Kami sudah berhubungan selama kurang lebih satu tahun, saat itu. Dia selalu dicemooh oleh karyawan lain karena karirnya tidak menanjak sepertiku. Padahal Mas Athar sudah lebih dulu bekerja di perusahaan itu, daripada aku. Tapi, karirnya stuck di tempat.Itu sebabnya, setelah menikah, aku merelakan jabatanku diambil alih olehnya. Tentunya dengan bantuan dari Pak Cokro. Aku memohon pada Pak Cokro untuk memberikan kesempatan pada suamiku, dan pada akhirnya Pak Cokro pun setuju.Tapi, setelah berhasil mendapatkan jabatan itu dan aku sudah menjadi pengangguran, sikap Mas Athar dan keluarganya mulai berubah. Mereka mulai bersikap semena-mena, menganggapku sebagai benalu dan pembantu di rumahku sendiri. Aku sudah menahan rasa sakit ini selama hampir lima tahun. Bahkan aku hanya bisa meluapkan segala amarahku dengan menangis sendiri di kamar.Namun tidak untuk kali ini. Kesabaranku sudah habis dan kini berubah menjadi dendam. Hatiku sudah terlanjur sakit, apalagi Mas Athar mengakui sendiri bahwa dirinya akan mencari penggantiku. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membalas perbuatan mereka dengan cara yang elegan.“Beneran Mas mau cari calon istri baru?”“Iya, Rania. Mas udah nemu sih, namanya Lusi. Dia juga karyawan kantoran. Nggak pemalas kayak si Ziva.” Mas Athar berkata sambil melirikku dengan sinis.“Rasain kamu, Ziva. Bentar lagi kamu dibuang sama Athar.”Aku tersenyum sinis mendengar ucapan mertuaku. Sungguh, mereka terlalu percaya diri sekali. Sampai melupakan siapa yang berhak atas rumah ini.“Aku nggak takut soal itu. Justru yang harusnya waspada itu kalian. Ingat, ini rumahku, bukan rumah kalian.”Aku menatap tajam ke arah Ibu mertuaku, Rania, dan Mas Athar secara bergantian. Masing-masing dari mereka masih belum menanggapi ucapanku. Mereka terdiam beberapa saat, hingga akhirnya aku melanjutkan ucapanku. Segala uneg-uneg yang kutahan selama ini, harus kukeluarkan saat ini juga. Agar mereka paham, bahwa aku bukanlah wanita lemah yang bisa selamanya mereka tindas. Aku juga berhak membela diri demi kebahagiaanku sendiri.Kedua tanganku sudah terlipat di dada. Masih menatap mereka secara bergantian. “Dari awal, rumah ini aku beli dari hasil kerja kerasku sendiri, bukan dari hasil ngemis. Justru yang mengemis jabatan itu kamu, Mas Athar. Kamu yang cocok disebut benalu dalam rumah ini. Begitu juga dengan Mama dan Rania. Selama hampir lima tahun, kalian memperlakukanku bukan sebagai menantu, istri, ataupun kakak ipar. Kalian menganggapku hanya sebagai pembantu di rumahku sendiri.”“Apa pantas orang yang menumpang, bertingkah layaknya seorang majikan di rumah yang dia tumpangi? Harusny
Prang! Tanpa disengaja, aku menjatuhkan gelas ketika sedang mencuci piring. Tanganku memang gemetar sejak tadi karena belum makan. Aku lapar, namun aku tidak diizinkan makan oleh suami dan mertuaku, sebelum aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Ditambah lagi masalah tadi saat aku memergoki chat mesra Mas Athar dengan Lusi. Mereka malah melarangku untuk makan sampai besok.Tentu saja aku tidak kuat jika harus menunggu sampai besok. Aku butuh makan sekarang, namun mereka selalu mengawasiku di dapur. Sampai akhirnya, aku memecahkan gelas karena tanganku yang sudah gemetar.Kurasakan tarikan kuat di rambutku dari arah belakang. Aku memekik kesakitan dan melihat ternyata itu Ibu mertuaku. Kurang ajar sekali dia menarik rambutku seperti ini.“Kamu itu kalau kerja yang bener! Jangan bisanya cuma ngerusakin barang!” teriaknya tepat di dekat telingaku. “Kamu sengaja kan pecahin gelas supaya dapat perhatian dari Athar?! Cih! Menjijikkan. Kamu itu cuma gembel, dan burik! Nggak usah sok cari perhati
Aku berjalan memasuki sebuah kafe, dimana aku dan Pak Cokro sudah membuat janji untuk bertemu. Keningku masih terasa berdenyut karena kejadian semalam. Tapi, aku sudah memeriksakan kondisiku ke rumah sakit, sebelum tiba di kafe. Aku duduk di kursi yang letaknya di sudut dan bisa melihat pemandangan luar melalui dinding yang terbuat dari kaca bening.Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang dan mungkin sebentar lagi Pak Cokro akan datang.“Permisi, Mbak. Mau pesan apa?” Seorang pelayan datang menghampiriku sambil menyodorkan menu makanan dan minuman kafe tersebut.“Saya pesan teh lemon aja, Mas,” ucapku pada pelayan itu.“Baik. Itu saja, Mbak? Ada tambahan lain?”“Untuk sementara itu aja, Mas,” jawabku sambil tersenyum.“Baik. Ditunggu pesanannya ya, Mbak.”Aku hanya menganggukkan kepala. Pelayan itu pun berlalu dari hadapanku. Dan tak lama setelah itu, orang yang ditunggu tiba. Pak Cokro datang dengan pakaian yang rapi, khas orang ka
Menjelang maghrib, aku baru tiba di rumah karena aku memilih menyendiri di taman untuk waktu yang cukup lama, setelah pertemuanku dengan Pak Cokro tadi. Hal itu pula yang menyebabkan aku pulang terlambat. Aku tahu, suamiku dan keluarganya pasti kesal atas keterlambatanku ini. Bisa dilihat berapa banyak panggilan masuk dan pesan singkat di ponselku.Aku mendecih saat memeriksa ponsel di perjalanan tadi. Tanpa adanya aku di rumah, mereka semua akan kelaparan. Rumah pasti sudah sangat berantakan. Rania dan Ibu mertuaku tidak tahu bersih-bersih sama sekali. Padahal sebelumnya mereka bukan dari keluarga kaya.“ZIVA, DARI MANA AJA KAMU?!”Hhh! Sungguh, teriakan Mas Athar sangat memekakan telinga. Aku mendengus pelan sambil menatapnya dengan datar. Kuperhatikan penampilannya kali ini yang tampak acak-acakan. Tidak terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya juga kelihatan stres dan tertekan. Mungkinkah Pak Cokro sempat menegurnya tadi?“KALAU SUAMI NANYA ITU DIJAWAB!”Aku mendecak kesal. “Aku h
“Ziva!”Aku yang sedang merapikan hijab pun langsung memejamkan mata ketika teriakan Ibu mertuaku mulai terdengar. Kuhembuskan napas panjang, lalu bergegas keluar kamar sambil membawa tas yang selalu kugunakan saat bekerja dulu. Pakaianku juga sudah rapi, layaknya seorang CEO.Ketika aku sampai di bawah, semua orang yang ada di meja makan terkejut melihat penampilanku. Mereka melongo sambil mengamati penampilanku dari atas hingga ke bawah, termasuk Mas Athar. Dia bahkan sampai berdiri dan mendekatiku.Kemudian, dia bertanya, “Mau kemana kamu? Kok rapi banget.”“Mau kerja,” jawabku santai.“Apa? Kerja?” Rahma, si Ibu mertua menyebalkan itu tiba-tiba mendekatiku dan mendecih saat menatapku. “Mau kerja apa kamu, hah? Kamu itu cocoknya jadi babu. Nggak usah mimpi deh kerja kantoran. Pakai jas segala lagi,” cibirnya.“Iya bener tuh, Ma. Paling cuma kerja jadi kasir, tapi sengaja pakai pakaian kayak gini. Biar kelihatan keren.” Rania menimpali.Mas Athar langsung menyambar tas yang kupegang
Aku duduk di kursi kerjaku, setelah lelah berkeliling kantor bersama Pak Cokro. Aku memandangi meja kerja yang sudah terisi peralatan kerja. Mulai dari laptop, sampai beberapa peralatan kerja lainnya. Tak hanya itu saja fasilitas yang kudapat. Di sisi kiri ruangan, ada sebuah toilet khusus agar aku tidak perlu lagi ke toilet bawah untuk buang air. Ruanganku juga terbilang besar dan lebar. Ada beberapa sofa dan meja di sudut kanan untuk menerima tamu yang datang.Selain itu, aku juga diberi kartu akses untuk masuk ke dalam beberapa ruangan penting—yang memang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan saja.Aku sungguh menikmati semua ini. Bahkan senyumku tak pudar sedikitpun sejak tadi. Tuhan memang sangat baik padaku. Aku bersyukur karena bisa bangkit kembali setelah hampir lima tahun terkurung bersama orang-orang licik itu.Brak! Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, namun masih bisa mengendalikan diri. Apalagi yang masuk ke dalam ruanganku adalah Mas Athar. Senyum s
Pukul 12.00 siang aku makan di kantin bersama Pak Cokro dan Pak Andi. Kami bertiga sedang membahas masalah pengiriman barang tekstil ke konsumen. Beberapa waktu yang lalu, pengiriman barang sengaja ditunda oleh Pak Cokro karena adanya kecurangan. Belakangan diketahui, pendapatan perusahaan mendadak turun, dan Pak Cokro menduga, pihak konsumen yang melakukan kecurangan. Namun, aku memberi saran padanya agar tidak menuduh satu pihak saja.Pak Cokro sempat kesal saat aku berkata demikian. Dia mengira aku menuduh orang dalam perusahaan ikut terlibat. Tapi, aku langsung menegaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi. Dalam dunia bisnis, sudah pasti ada yang jujur, ada juga yang licik. Tidak menutup kemungkinan, ada orang dalam yang melakukan kecurangan itu.“Pihak-pihak terkait di perusahaan ini harus diperiksa, Pak. Kita jangan menyalahkan satu pihak. Mungkin aja pihak konsumen udah kasih pembayaran yang jelas dan tepat. Selama saya menjabat sebagai manajer keuangan, masalah kayak gini nggak
Menjelang Maghrib, aku dikejutkan oleh kehadiran Mas Athar di dalam kamar. Dia sengaja membuka pintu dengan kasar. Aku menatapnya dengan tajam. Kudekati dia tanpa rasa takut sedikitpun.Namun, baru saja aku berhenti tepat di depannya, satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sial! Aku tidak bisa menghindari tamparannya. Alhasil, pipiku memerah dan terasa perih.“Dasar istri nggak tahu diri kamu!” teriaknya. “Sementang kamu jadi CEO di perusahaan Pak Cokro, terus kamu bisa seenaknya aja sama aku! Kamu sengaja mau bikin malu aku, hah?!”“Iya. Aku emang sengaja mau bikin kamu malu. Terus, mau kamu apa, hah?!” Aku membalas perkataannya dengan lantang. Aku sudah tidak takut lagi pada suami yang tidak pernah menghargaiku. “Itu masih belum parah, Mas. Aku bisa aja bikin kamu lebih malu lagi,” lanjutku.Kulihat tangannya terkepal di samping kanan dan kiri. Dia menatapku dengan garang. Wajahnya merah padam karena amarah. Akan tetapi, itu tak membuatku takut. Justru aku membalas tatapannya dan b
Sore ini, Ziva tampak berjalan-jalan di sekitar taman, sendirian. Dia menikmati suasana sekitar hotel yang ramai pengunjung. Beberapa anak kecil tampak berlari kesana kemari di taman itu. Ziva hanya bisa tersenyum melihat raut wajah bahagia mereka.Ziva duduk di salah satu kursi berwarna putih sambil menatap anak-anak kecil yang berlarian itu. Dia kembali teringat dengan pernikahannya dulu. Andai saja dia memiliki seorang anak, mungkin Athar akan berpikir ulang untuk menyakitinya. Namun apalah daya, takdir yang mengatur kehidupannya.“Ziva.”Ziva menoleh ke kiri untuk melihat seseorang yang menyapanya. Seketika bola matanya memutar dan dia memutuskan untuk membuang muka ke arah lain.“Kok kamu sendirian aja sih? Harusnya ajak aku,” ujar Nathan dengan nada santainya.“Ngapain juga aku ngajak kamu? Lebih enak jalan-jalan sendirian daripada sama kamu,” jawab Ziva tanpa menatap Nathan. “Mending kamu nongkrong di tempat lain deh. Jangan di sini.”“Loh, emangnya kenapa? Ini kan tempat umum.
“Gila. Ini gila.”Ziva berjalan kesana kemari di dalam kamar hotelnya. Ia meremas rambutnya sendiri sambil terus mondar mandir. Kepalanya mendadak pusing setelah semalaman memikirkan ucapan Nathan kemarin.Pria itu mengungkap perasaannya untuk Ziva dan jelas sangat mengganggu pikiran Ziva. Ia tidak menyangka Nathan akan mengungkapkan perasaannya begitu cepat. Padahal mereka baru saja bertemu.“Nggak. Ini nggak mungkin. Nggak mungkin cowok kaya raya seperti Nathan bisa suka sama aku. Nggak, itu nggak mungkin.” Ziva menghentikan langkahnya dan duduk di atas kasur. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang sambil menghela napas panjang, “Apa mungkin itu cuma halusinasi aku aja ya? Sumpah, ini berasa mimpi di siang bolong.”Beep!Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Ia segera mengambil ponsel itu dan melihat nama si pemanggil. Ternyata itu Pak Cokro. Ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya pada kakek tersebut.“Assalamualaikum, Pak.”‘Waalaikumsalam. Gimana kabar kamu, Ziva? Seh
Tiga bulan berlalu, kini Ziva sedang berada di Bali untuk berlibur. Ia mendapatkan reward dari Pak Cokro atas kerja kerasnya membantu perusahaan. Ziva merasa senang karena bisa merasakan liburan lagi, setelah berpisah dengan Athar. Dulu, saat masih bersama Athar, Ziva tidak pernah liburan. Ia selalu ditinggalkan sendiri di rumah ketika Athar dan keluarganya pergi berlibur.Ziva menghela napas lega saat duduk di tepi pantai. Ia bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan saat ini. Akhirnya ia bisa menjadi Ziva yang tegas dan berani. Terkadang, Ziva merasa malu jika mengingat betapa bodohnya dirinya saat masih berstatus istri Athar. Ia merendahkan dirinya demi mempertahankan pernikahan itu. Tapi untunglah Ziva cepat tersadar dan kembali bangkit. Jika tidak, selamanya ia akan ditindas.“Hai.”Ziva menoleh ke samping kanan ketika seseorang menyapanya. Ia mengernyit karena tidak mengenal pria tersebut. Pria itu duduk di dekatnya sambil tersenyum.“Sorry kalau kedatangan gue bikin lo nggak nyam
Rahma mendatangi penjara lain, sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Ziva. Ia ingin menemui Rania dan melihat kondisi putrinya. Sudah dua hari ia tidak melihat Rania. Ia mengira, Rania sengaja meninggalkannya sendirian. Tapi ternyata, putrinya justru menjadi tersangka dan mendekam di penjara. Kini nasib kedua anaknya sama-sama berstatus narapidana.Sesampainya di lokasi tersebut, Rahma bertemu dengan salah satu petugas dan meminta izin untuk menjenguk Rania. Petugas mengizinkan dan memberikan waktu pada Rahma untuk berbicara pada putrinya.Mereka berdua duduk berhadapan. Rania sudah memakai baju tahanan dengan tangan diborgol. Di sudut lain, ada salah satu petugas yang berjaga agar Rania tidak kabur. Sementara Rahma hanya bisa menangis setelah melihat Rania.“Ma, syukurlah Mama datang. Tolong bebasin aku, Ma. Aku nggak mau ada di sini. Mama harus cari cara supaya aku bisa bebas,” ucap Rania.“Mama bisa apa, Ran? Kamu tahu kan, kita ini nggak punya uang untuk sewa pengacara. Lagipul
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu dari luar membuat Rahma terbangun dari tidurnya. Ia sedang menahan lapar selama dua hari karena menunggu Rania. Namun anak itu justru tidak pulang ke rumah. Rahma benar-benar lemas sekali dan tidak sanggup berjalan ke depan. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya gemetar.Tok! Tok! Tok!Pintu kembali diketuk karena tidak ada yang membukakan. Dengan sangat terpaksa, Rahma berusaha bangkit dan mencoba berjalan menuju pintu. Ia berjalan pelan sambil memegang tembok di sekitarnya. Berusaha untuk bertahan meski kepalanya terasa sakit.“Rahma!”Teriakan dari luar semakin membuat Rahma mempercepat langkahnya. Sesekali ia meringis ketika kepalanya berdenyut. Sesampainya di depan pintu, ia segera membukanya dan terkejut melihat siapa yang datang. Ternyata si pemilik kontrakan. Sudah jelas maksud dan tujuannya datang ke rumah itu untuk menagih uang kontrakan.“Mana uang kontrakannya?! Saya udah nunggu dari kemarin, tapi anak kamu sama sekali nggak datang!” teria
POV Author“Rania!”Rahma berteriak ketika dirinya baru saja tiba di rumah sewa yang bisa dianggap seperti kos-kosan. Ia datang dengan raut wajah marah sambil menatap Rania dengan tajam.Rania yang saat ini tengah sibuk bergelut dengan ponselnya hanya menggumam, seakan tidak peduli dengan kedatangan ibunya.“Ran, kita udah nggak punya beras! Kita mau makan apa nih kalau kamu pun nggak mau kerja!” teriak Rahma.“Aduh, Ma. Aku tuh malas kerja. Kenapa nggak Mama aja yang kerja?” Rania berbicara tanpa menoleh.Ucapan Rania jelas membuat Rahma semakin marah. Setega itu anak kandungnya menyuruhnya untuk bekerja. Padahal usia Rahma juga sudah tua dan fisiknya sudah melemah. Mustahil baginya untuk bekerja.Seketika Rahma menyambar ponsel Rania, hingga membuat Rania menatapnya tajam. Namun, Rahma tidak peduli. Memang itulah tujuannya.“Mama apa-apaan sih! Balikin hp aku!” teriak Rania.“Nggak bakal Mama balikin. Hp ini Mama sita, sampai kamu dapat kerjaan. Kita ini udah jatuh miskin, Ran. Jadi
Aku baru saja sampai di rumah pukul 18.00 sore. Namun tiba-tiba, seseorang melemparkan sebuah batu dan hampir mengenai kepalaku. Aku menoleh ke arah belakang, tapi orang yang melempar batu itu langsung berlari. Aku mencoba mengejarnya, namun dia sudah menghilang lebih cepat dari dugaanku.Kesal sekali rasanya. Baru saja pulang kerja, masih merasa lelah, sampai di rumah mendapatkan kejutan seperti ini. Entah siapa orang iseng itu. Kalau aku tahu siapa orangnya, mungkin sudah kuseret keliling komplek.Aku mengambil batu itu dan membuangnya. Kemudian aku masuk ke rumah untuk membersihkan diri.Ting!Satu notifikasi masuk ke ponselku. Aku yang hendak masuk ke kamar mandi pun terpaksa memeriksa ponselku. Barangkali itu pesan dari Pak Cokro.Namun, setelah kubaca, ternyata pesan itu dari nomor asing. Pesan itu berisi ancaman yang ditujukan untukku.[Dasar cewek nggak tahu diri! Lihat aja, kamu nggak akan pernah hidup tenang! Aku bakal balas dendam sama kamu! Hati-hati!]Kuhela napas panjang
Satu minggu telah berlalu, sejak penangkapan Mas Athar dan Lusi. Kini, kehidupanku jauh lebih tenang dari sebelumnya. Para benalu yang sempat menetap di rumahku, kini sudah pergi dan tak akan pernah bisa kembali lagi. Meskipun keluarganya Mas Athar masih terus mendatangiku sambil memohon untuk membebaskan Mas Athar dan memberikan mereka tempat tinggal. Sayang sekali, permohonan itu jelas ku tolak karena aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Sudah cukup mereka membuatku menderita. Kini, biar mereka tanggung sendiri akibatnya.“Ziva, bagaimana proses perceraianmu dengan Athar? Udah diurus?” tanya Pak Cokro padaku, saat kami sedang makan siang bersama di kantin perusahaan.Akupun dengan cepat mengangguk. “Udah, Pak. Semuanya udah diurus. Tinggal tunggu prosesnya aja. Semoga aja bisa cepat selesai.”“Amin. Saya berharap, urusanmu sama Athar bisa selesai secepatnya. Kamu berhak bebas dari manusia nggak tahu diri kayak dia. Kamu pantas dapatkan yang lebih baik lagi,” ujarnya.Aku ters
“Geledah semuanya!”Pak Cokro langsung memerintah anggotanya untuk menggeledah seluruh ruangan Mas Athar. Aku dan Zahya menyaksikan penggeledahan itu. Sedangkan Mas Athar masih belum tiba di kantor, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi.Tadi, sebelum aku berangkat bekerja, dia sudah siap-siap untuk berangkat. Akan tetapi, dia bilang ingin singgah sebentar ke rumah temannya. Aku tidak terlalu menggubris ucapannya. Jika memang dia berniat kabur karena sudah mendapatkan info penggeledahan ini, itu tidak jadi masalah bagiku. Anggota Pak Cokro ada dimana-mana. Mereka bisa dengan mudah melacak keberadaan Mas Athar.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya anggota Pak Cokro berhasil menemukan nota pembelian palsu yang dibuat oleh Mas Athar dan Lusi. Mereka memberikannya pada Pak Cokro.“Sialan mereka! Ternyata udah lama mereka berbuat curang kayak gini! Kecolongan saya!” geram Pak Cokro.“Memangnya, selama ini nggak ada pengecekan, Pak?” tanyaku.“Nggak ada, Ziva. Saya selalu mem