"Kamu memang tidak bisa membahagiakan Ibu dengan cara memberi cucu laki-laki, tapi kamu bisa membuat Ibu bahagia dengan bantu merawat Rajendra."Ucapan Yuni terngiang-ngiang di telinga Alana. Dengan sengaja pula sang mertua meninggalkan dirinya dan Rajendra berdua saja di kamar. Cukup lama Alana menatap Rajendra yang sedari tadi menangis. Batinnya bergejolak. Rasa sakit di hati yang belum sembuh berubah menjadi tidak akan pernah sembuh. Luka di hatinya kian bertambah berkali-kali lipat. Alana tersenyum, tertawa kecil menertawakan diri. Alana dijadikan baby sitter oleh sang mertua dan ya ... Kevin selalu diam. Suaminya itu benar-benar sudah menjadi anak Mami. Ibu dan anak itu benar-benar tidak punya hati. Seketika rasa kasihan berhasil meraja saat melihat bayi itu menatap ke arahnya walaupun Alana tahu bayi itu belum bisa melihat jelas, tetapi tatapannya seperti meminta tolong.Alana menarik napasnya dalam-dalam. Saat ini ia harus mengedepankan rasa kemanusiaan. Lagi, bayi itu tidak
"Hahahahah .... Ya ampun, Mbak? Kenapa tegang begitu, sih? Padahal aku asal bicara, loh!" ucap Alana. "Aku sudah melahirkan bayi itu dengan susah payah. Aku juga tidak tahu kenapa perutku tidak bertambah besar. Tapi, dokter bilang bayinya sehat, kok," ujar Melani sambil terisak, membuat Alana tersenyum sinis. Yuni dengan sigap merangkul Melani. Wanita itu mengusap kepala sang menantu dengan sayang. "Jaga bicaramu, Alana!"Alana memutar bolanya malas. "Kan, tadi aku bilang hanya asal bicara. Hanya bercanda. Kenapa harus pembelaan segala seperti itu, sih, Mbak?"Kevin menatap tajam Alana. "Cukup, Alana!""Ya, sudah ... kalau begitu silakan keluar! Pintunya sebelah sana!" Alana menunjuk di mana pintu itu berada. Yuni menatap tajam Alana sampai akhirnya ia keluar tanpa melepas rangkumannya.Alana mengerutkan kening karena Kevin tak kunjung keluar. "Lupa jalan keluar? Atau tidak tahu di mana pintunya? Perlu aku antar?"Kevin melengos pergi tanpa kata. Alana mengembuskan napas kasar dan
Sesuai dengan ucapan Alana, jika dirinya akan menyerahkan Rajendra setiap pagi dan jika weekend tiba maka dirinya terbebas dari sang bayi. Ya, saatnya ia menikmati liburan. Seperti hari sabtu ini. Alana memilih untuk menghadiri reuni kampusnya. Pagi-pagi sekali Alana sudah memilih dan memilah baju mana yang cocok untuk mereka pakai. Cukup membingungkan karena koleksi t-shirt mereka cukup banyak dengan ragam warna.Setelah sepuluh menit memilah, akhirnya Alana memilih t-shirt berwarna merah karena kebetulan dari brand lokal. Lekas ia membangunkan Liana dan Ilana untuk pergi mandi. Saatnya Alana membereskan tempat tidur kedua putrinya dan area sekitar. "Selesai!" ucapnya diiringi dengan embusan napas lega. "Kita mau ke mana, sih, Mi?" tanya Liana yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Kita mau jalan-jalan, Mi?" timpal Ilana. Alana tersenyum. "Iya. Kita happy-happy aja. Nanti juga bakal banyak temen Mami dan kalian juga bakal punya temen baru di sana."Liana dan Ilana mengangguk-
Di kampus. Setelah foto bersama, semua peserta reuni menikmati makan siang. Aneka hidangan tersaji di sana dengan gaya prasmanan. Beruntung, ketiga putri Alana tidak rewel. Teman-teman Alana mengajak mereka bermain, bahkan sekarang mereka sedang disuapi makan. Alana mengambil dua piring. Ya, dua! Yang katanya untuk dosen dua tingkat diatasnya dahulu. "Silakan, Pak." Alana menyimpan satu piring tepat di hadapan pria itu. "Dibilang jangan panggil Pak."Alana merotasi bola matanya malas. "Iya, Kak, maaf!""Untuk sepatu yang terkena es krim ini, kamu tidak usah menggantinya dengan sepatu lagi."Alana terdiam. Anak-anaknya memang tidak rewel, tetapi tadi ketika Ilana sedang memakan es krim entah bagaimana es krim itu malah mengenai sepatu pria bernama Roy. Spontan saja Alana meminta maaf dan berjanji akan mengganti sepatu tersebut. Namun, setelah melihat brand sepatu yang Roy pakai, Alana terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Roy mengenakan sepatu brand ternama dengan harga hampir menc
Roy terkekeh-kekeh mengejek Kevin. Pria itu sampai menggelengkan kepalanya saat tahu ternyata Melani adalah mantan pacar Kevin. "Jawab, Mas!" desak Melani. "Tentu saja Mas mencintaimu. Kalau tidak? Untuk apa kita menikah."Melani memeluk Kevin begitu intim membuat Roy muak melihat aksi mereka. Ia pun memilih pergi sambil berkata, "Menjijikan!""Tunggu!" seru Kevin, yang membuat Roy berbalik. "Jangan berani mendekati istriku lagi!" ancam Kevin penuh penekanan. Roy tersenyum sarkas. "Waw, mendapat ancam darimu justru membuatku merasa tertantang." Roy mengangkat sebelah alisnya, lalu menepuk pundak Kevin. "Aku akan merebut Alana darimu!"Kevin mencekram kerah Roy. "Kalau sampai berani, maka kau berurusan denganku!"Roy menatap Kevin tajam. "Semenjak aku tau kau menyakiti Alana, maka urusan kita tidak akan pernah selesai!""Aku akan membalaskan dendam untuk Alana. Ingat itu!" lanjut Roy. Suasana hening sejenak. Keduanya saling bertatapan penuh amarah. "Aku pastikan kau akan menyesal
Satu bulan sudah berlalu. Setelah kejadian itu, sikap Yuni dan Melani semakin menjadi. Keduanya bersikap kasar kepada putri Alana. Bahkan Kevin pun kerap kali mengacuhkan ketiga putrinya. Ia lebih peduli dan lebih memanjakan Rajendra. Seperti pagi ini ... Liana dan Ilana tengah memakai kaos kaki di teras. Aktivitas ini sengaja mereka lakukan di luar hanya untuk mencari perhatian Kevin. Karena setiap pagi, sang ayah akan bermain dengan Rajendra. "Kak? Aku kangen digendong sama Papi," bisik Ilana. Liana yang sedang mengikat tali sepatu seketika menoleh ke arah Kevin. Tampak olehnya sang ayah tengah menciumi pipi gembul Rajendra."Iya, Kakak juga sama," aku Liana yang kemudian kembali mengikat tali sepatu. Ilana berlari menghampiri Kevin. "Papi? Aku juga mau digendong," rengeknya.Kevin menoleh. "Kamu sudah besar, berat.""Sebentar saja, Pi." Ilana menangkup kedua tangannya. "Tangan Papi cuman dua. Kalo gendong kamu, masa Jendra Papi simpen dulu di bawah?"Liana yang mendengar itu
Minggu siang, mobil Kevin dan Yuni memasuki gerbang. Kevin yang baru saja memarkirkan mobilnya di garasi segera turun. Liburan dadakannya itu tidak membuat hatinya senang karena penjaga rumah melaporkan jika Alana tak kembali sampai saat ini. Kevin berlari ke arah kamar Alana untuk memastikan. Ia membuka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. Kevin mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar itu. Hampir semua aksesoris dan boneka milik Liana dan Ilana tidak ada di rak. Lalu dibukanya lemari-lemari di sana. Kosong. Tidak ada satupun baju yang menggantung di sana. Kevin menghela napas. Tanpa sengaja ia melihat selembar kertas tergeletak di atas meja rias dimana ponsel pemberiannya tergeletak di atasnya. Kevin segera meraihnya. Ternyata sepucuk surat dari Alana. Teruntuk Mas KevinTidak usah mencari kami. Nikmati saja harimu dengan istri baru dan bayimu itu. Aku akan menjaga ketiga putrimu dengan kasih dan sayangku melebihi apa pun. Tenang saja, mereka tidak akan pernah bertanya ke
"Mami? Keringin dulu rambutnya." Rupanya Liana menghampiri dan entah kapan gadis itu sudah duduk di sampingnya dengan tangan yang terulur memberikan handuk kecil. Alana tersenyum sambil menerimanya. "Makasih, Sayang."Liana mengangguk. "Hem, sama-sama, Mami."Alana menatap putrinya itu. Rasa penasaran yang membuncah membuatnya ingin bertanya perihal situasi mereka saat ini. "Sayang? Boleh kita bicara sebentar?"Alana melihat anak gadisnya berpangku tangan. Wajahnya mendongak menatap dengan kening mengkerut. "Kakak seperti orang paling penting sekarang," ucapnya, lalu terkekeh-kekeh, membuat Alana tersenyum gemas. "Kakak, Ila sama Lina itu orang yang paaaling penting dalam hidup Mami."Lagi, Liana terkekeh-kekeh. "Jadi, bisa gak, nih, kita ngobrol?" lanjut Alana. Liana mengangguk. Kini, wanita berstatus ibu dan anak itu duduk saling berhadapan. Apakah kamu mengerti dan tahu kenapa sampai kita tinggal di rumah ini? Namun, pertanyaan itu hanya terucap dalam hati saja. Ia merasa ra
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu