Pramoedya menatap tajam mantan suami Laila tadi, kemudian melepaskan Marinka yang terus bergelayut di lengannya. Pramoedya berjalan semakin mendekat. Tanpa diduga, dia langsung mencengkram serta mengangkat kerah baju Aries.
“Ada apa ini?” tanya Aries tak mengerti. Dia berusaha melepaskan tangan Pramoedya.
Namun, bukannya memberikan jawaban, Pramoedya justru melayangkan satu pukulan keras ke wajah putra sulung pasangan Suratman dan Kartika tersebut.
Marinka menjerit histeris. Sementara, kedua petugas medis yang baru selesai mengambil sampel darah sigap melerai.
Aries jadi semakin tak mengerti. Sambil menyentuh sudut bibir dan berusaha bangkit, dia membalas tatapan tatapan tajam Pramoedya. “Apa-apaan ini?” sentaknya tak terim
Pramoedya terdiam membeku, mendengar pernyataan Dokter Hasan. Dia tak tahu harus berkata apa. Harapannya pada keluarga terdekat Laila sudah pupus, seiring hasil lab yang ternyata dinyatakan tidak memiliki kecocokan. “Ya, Tuhan. Apakah sesulit itu mendapatkan pendonor ginjal, Dok?” Pramoedya harus kembali mengendalikan diri. Menahan agar kepalanya tidak meledak, karena terlalu panas. “Kita tahu bahwa ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh. Banyak orang takut dengan penyakit ini. Tak sedikit pula yang tidak memiliki keberanian untuk mendonorkan ginjalnya, meski seseorang masih bisa hidup hanya dengan satu ginjal,” jelas Dokter Hasan. “Saya akan memberikan apa pun, seandainya ada yang bersedia menjadi pendonor untuk Laila. Tolonglah, Dokter. Saya berjanji akan menjamin orang itu dengan kehidupan layak dan berkecukupan. Istri saya adalah segalanya. Saya tidak tega melihat dia terbaring sakit dan … satu bulan. Kenapa hanya satu bulan, Dok?” Pramoedya berusaha keras meredam
“Ya, Tuhan, Laila ….” Suratman mendesah pelan. Rasa sesal kian bertambah dalam dada “Bagaimana kondisinya sekarang?” Raut wajah Suratman terlihat begitu sedih.“Menurut Pak Pram, kondisi Laila sangat buruk. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit,” jawab Aries lesu.“Jadi, sampai sekarang Laila belum mendapatkan pendonor?” tanya Suratman lagi.“Begitulah katanya. Sulit mendapatkan pendonor yang cocok,” sahut Aries seraya menyugar rambutnya.Suasana hening sejenak. Suratman tampak berpikir keras. Entah apa yang ada dalam benak pria itu. Sesaat kemudian, sorot matanya menatap tajam kepada sang putra. Membuat Aries bertanya-tanya. “Bagaimana jika Bapak dicek? Siapa tahu, Bapak bisa jadi pendonor untuk Laila,” cetusnya tiba-tiba.Aries terkesiap mendengar ucapan sang ayah. “Aku tidak tahu, Pak. Lagi pula, Bapak sudah terlalu tua. Apakah tidak berbahaya untuk kesehatan Bapak sendiri?” ujar Aries ragu.“Tidak ada salahnya mencoba. Tolong cari tahu bagaimana caranya. Bapak benar-benar ingi
Pramoedya tak sabar mendatangi lapas tempat Suratman menjalani sisa masa hukumannya. Pria itu tak peduli, meski Aries sudah memperingatkan bahwa jam berkunjung telah habis. Pramoedya terlalu bahagia, karena ada yang bersedia menjadi pendonor bagi Laila. Walaupun, hasil pemeriksaan lab belum tentu memperoleh kecocokan. Namun, ini seakan menjadi penyemangat baru, bagi pengusaha muda tersebut. Setelah tiba di lembaga pemasyarakatan yang dimaksud, Pramoedya langsung menemui sipir yang bertugas. Dia menunjukkan surat pengantar dari dokter. Tak lupa, dirinya juga telah menghubungi pengacara. Hal itu dimaksdukan agar membantu mempermudah proses masuk, hingga bertemu dengan Suratman.“Maaf, Pak. Berhubung ini sudah di luar jam kunjungan, maka kami mewajibkan Anda menemui Pak Suratman di ruangan sipir,” ujar petugas tadi.“Tak masalah di manapun, selama saya bisa mendapatkan sampel darah har Pak Suratman hari ini,” balas Pramoedya antusias.Petugas sipir tadi berunding sejenak dengan rekannya
“Itu sudah jadi keputusan bapak saya, Pak. Beliau memiliki alasan sendiri, dan pasti sudah mempertimbangkan pula segala risiko yang akan dihadapi. Namun, tentu saja kami sekeluarga tidak mengharapkan hal buruk terjadi padanya. Apakah niat baik seseorang, akan berbalas sesuatu yang buruk? Saya rasa tidak.” Tiba-tiba, Aries menjadi seseorang yang bijaksana. “Kamu benar. Aku juga tidak mengharapkan sesuatu yang buruk. Ini hanya sekadar persiapan. Selain itu, kamu sekeluarga tidak perlu cemas. Aku akan memberikan kehidupan yang layak bagi kalian. Termasuk pengobatan dan lain-lain. Jujur saja, aku berharap bahwa Pak Suratman bisa menjadi penolong bagi Laila.” Pramoedya mengembuskan napas pelan. “Jika bapak saya tidak cocok untuk menjadi pendonor, saya bersedia diperiksa juga,” ucap Aries, seolah tanpa berpikir panjang. “Kamu yakin?” tanya Pramoedya. Dia seperti meragukan pernyataan mantan suami Laila tadi. Aries menjawab pertanyaan Pramoedya dengan anggukan penuh keyakinan. “Tolong sam
Laila yang sudah melewati tahap observasi, langsung dibawa ke kamar rawat. Senyum penuh kelegaan terus terlukis di bibir Pramoedya dan Widura. Kedua pria itu mengucap syukur yang sebesar-besarnya, karena Laila telah berhasil menjalani operasi transplantasi ginjal.Setibanya di dalam kamar, kedua pria tadi mendapati Laila sedang terpejam. Pengaruh obat bius belum sepenuhnya sirna. Pramoedya mempercepat langkah, karena tak sabar ingin segera menggenggam tangan sang istri. Sedangkan, Widura hanya berdiri di dekat ranjang sambil tersenyum.“Sayang.” Suara Pramoedya terdengar begitu dalam. Dia duduk di dekat ranjang, setelah sebelumnya menarik kursi besi yang ada di dekat lemari kabinet. Pria tampan tersebut menggenggam erat jemari Laila, lalu menciumnya penuh kasih.“Sepertinya. Nyony
Kartika masih tenggelam dalam rasa terkejut dan tak percaya. Dia hendak memastikan kebenaran, dari apa yang Widura sampaikan. Namun, kembali terdengar suara ketukan di pintu.Kali ini, Pramoedya masuk bersama dua pria bersetelan rapi. Kartika ingat betul, bahwa mereka merupakan orang-orang yang pernah menemui Suratman di lapas.“Saya sudah menjelaskan semuanya pada keluarga Pak Suratman,” lapor Widura sambil berbisik.“Baik, Pak. Terima kasih,” balas Pramoedya, yang kemudian memberi isyarat pada kedua pria tadi. Salah seorang dari kedua pria itu mengambil foto Suratman. Sedangkan, seorang lagi mencatat sesuatu.“Kenapa Anda memotret suami saya?” Kartika memberanikan diri bertanya.“Untuk keperluan laporan pada pihak lapas dan kejaksaan,” jawab Pramoedya. “Oh.” Kartika mengangguk pelan. Ada sesuatu yang ingin dia katakan. Namun, melihat pembawaan Pramoedya yang sangat berkharisma membuatnya sungkan. “Jangan khawatir, Bu. Saya akan memberikan yang terbaik untuk suami Anda. Ini sebaga
Beberapa hari berlalu. Laila sudah diperbolehkan pulang. Namun, dia tak sempat menemui Suratman, karena mantan mertuanya tersebut lebih dulu bertolak dari rumah sakit.Laila duduk di kursi roda. Wajah cantiknya tak lagi terlihat pucat seperti kemarin-kemarin. Kali ini, dia tampak jauh lebih ceria. “Kita akan pulang, Sayang,” bisik Pramoedya sambil terus mendorong kursi roda, hingga tiba di halaman depan rumah sakit. Dari sana, dia membopong Laila ke dalam mobil. “Aku tidak akan membiarkanmu lelah, hingga kamu benar-benar pulih,” ucap pria itu lembut, seraya memasang sabuk pengaman. “Terima kasih. Kamu sangat baik, Mas,” balas Laila, disertai senyum manis. “Selain itu, kamu adalah pria paling tampan.” Laila mengerling nakal. “Jangan bersikap seperti itu, Sayang.” Pramoedya menggeleng pelan. Dia harus berupaya keras mengendalikan diri agar tidak tergoda. Apalagi, di belakang kemudi ada Damar, yang sudah siap sejak tadi untuk mengantar mereka pulang. Pramoedya segera menutup pintu, la
Marinka langsung berdiri. Putri semata wayang pasangan Adnan dan Mayang tersebut, seketika memasang raut tak suka. “Kalian ini kenapa? Apakah karena papa dan mamaku berbuat jahat, lantas semua yang kulakukan pasti dimaksudkan untuk mencelakaimu, Laila? Keterlaluan!” Marinka menghentakkan kaki, lalu berbalik. Wanita muda berambut golden brown itu melangkah pergi, sambil membawa rasa jengkel luar biasa. Sementara itu, Laila hanya dapat mengembuskan napas panjang. Sebenarnya, dia merasa tak enak. Namun, setelah banyak hal buruk terjadi, Laila patut bersikap waspada. “Biarkan saja, Sayang,” ucap Pramoedya, seraya mendorong pelan kursi roda menuju kamar. “Sikap Marinka yang seperti tadi, sudah menjadi senjata andalannya. Dia kerap berlaku demikian sejak dulu. Aku tak akan tertipu, meski dia mengiba.” “Kamu sangat mengenalnya,” ujar Laila, seakan menyindir Pramoedya. “Di luar dari konteks sindiran yang kamu tujukan padaku … ya, kukatakan bahwa aku cukup mengenal dia. Seperti yang sudah
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan