Laila terpaku di tempatnya berdiri, ketika Elang sudah benar-benar berada di hadapannya. Tak ada jarak lagi antara mereka, sehingga dia dapat melihat dari dekat rupa menawan sang akuntan muda tersebut. Namun, anehnya Laila tak merasakan debaran apa pun. Tak ada sesuatu yang membuatnya seakan mati lemas, karena tak dapat bernapas.
Laila menatap lekat pria tampan di hadapannya. Dia mencoba mencari ketertarikan, yang mungkin bisa membuat dirinya lupa pada sosok Pramoedya. Namun, makin dalam pandangan mereka beradu, Laila justru semakin merindukan si pemilik mata hazel tersebut.
Tak ada getaran sedikit pun yang Laila rasakan, ketika Elang menyentuh pipinya. Membelai perlahan dan penuh penghayatan. Begitu juga, ketika sang akuntan tampan itu mengusap permukaan bibir Laila menggunakan ibu jari. Laila justru semakin teringat pada setiap perlakuan Pramoedya
Elang membantu Laila turun dari kendaraan. Pria itu bermaksud hendak menggandengnya ke hadapan Pramoedya.Akan tetapi, Laila menolak. Dia menampik halus tangan Elang, sambil tersenyum lembut. “Saya bisa sendiri,” ujarnya.“Tidak apa-apa. Biar saya temani,” balas Elang sedikit memaksa.“Tidak usah, Mas. Tolonglah ….” Laila memasang raut memohon. Membuat Elang tak berdaya. Akhirnya, pria itu mengangguk setuju."Kamu yakin?" tanya Elang sekali lagi, sebelum benar-benar meninggalkan Laila.Laila tidak memberikan jawaban lewat kata-kata. Wanita yang telah menghabiskan sebagian hari dengan Elang tersebut hanya mengangguk.“Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Elang. "JIka ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya," pesannya.Lagi-lagi, Laila hanya mengangguk. Sebagai ucapan terima kasih, dia tak menolak ketika Elang meraih tangannya. Tanpa diduga, pria itu mengecup punggung tangan Laila. "Selamat malam." Elang tersenyum kalem. Sebelum berlalu dari sana, dia sempat menol
Kartika terkesiap mendengar ucapan bernada ancaman dari Laila. Dia tak pernah menyangka, bahwa mantan menantu yang dulu dirinya anggap lemah dan tak berguna, ternyata bisa menjadi wanita yang sangat berbahaya. Kartika kembali berpikir. Wanita paruh baya itu jauh lebih mengenal Laila dibanding Mayang, yang baru ditemuinya beberapa waktu ke belakang. Tentu saja, dia akan memilih berpihak pada mantan istri putranya tersebut.“Kamu tidak perlu memberi saya dua pilihan seperti itu. Sudah pasti saya akan lebih milih ada di pihak kamu, La,” ujar Kartika.“Baguslah.” Laila tersenyum puas. “Sekarang, sebaiknya Ibu bersihkan dulu lantai ini. Lakukan dengan hati-hati dan teliti,” titah wanita cantik berambut panjang itu, seraya beranjak ke dalam kamar mandi.Laila berdiri d
Sekitar pukul sembilan tepat, Laila sudah tampil rapi. Hari itu, dia mengenakan celana kulot yang dipadukan dengan kemeja berlapis blazer. Laila juga menyanggul rapi rambut panjangnya. Sehingga, penampilan wanita dua puluh lima tahun tersebut terlihat sangat elegan. Sebelum berangkat ke pabrik, Laila sempat berpesan kepada Kartika. Wanita paruh baya tersebut sudah paham akan tugasnya.“Sudah siap, Non?” tanya Widura, yang hari itu akan menemani Laila mengikuti pertemuan dengan para pimpinan direksi F2T. Widura juga berpenampilan lebih rapi dari biasanya.“Sudah, Pak,” sahut Laila sambil menggantungkan tali hand bag di lengan kiri. Saat itu, tatapannya tertuju pada Mayang yang datang menghampiri. Laila tiba-tiba merasakan gemuruh dalam dada yang teramat dahsyat. Andai bisa, dia akan langsung menghampiri wanita paruh baya itu untuk mengajaknya berkelahi secara terang-terangan. Namun, Laila sadar bahwa dirinya tak boleh bertindak gegabah.&nbs
Laila berdiri dari duduknya. Dia melangkah anggun ke hadapan Aries, dengan sorot penuh intimidasi terhadap pria itu. Untuk beberapa saat, wanita cantik bertubuh semampai tersebut tak mengatakan apa pun. Namun, tatapannya sudah dapat mewakili segala hal. Kemarahan Laila terhadap sang mantan suami tak akan pernah sirna. Rasa sakit atas semua penghinaan yang dirinya terima, masih berbekas hingga saat ini. Untunglah, karena takdir baik berpihak padanya. Bagai dalam kisah film, siapa yang menyangka bahwa Laila bisa berada di puncak dunia melebihi orang-orang yang kerap meremehkannya. “Kamu mau mengundurkan diri? Tak masalah. Di kota ini ada banyak orang yang jauh lebih kompeten. Aku tidak akan merasa rugi, karena sudah menggaji pegawai yang bisa diandalkan. Bukan pecundang malas sepertimu.” Berhubung mereka hanya berdua di ruangan itu, Laila memuaskan diri melayangkan celaan terhadap sang mantan suami. “Hentikan, La!” sergah Aries.“Bentak aku, maka kupastikan kamu akan membusuk di dala
“Apa?” Laila bergegas mengikuti Niar ke dalam rumah. Baru saja tiba di ambang pintu, Laila seketika tertegun. Suasana rumah yang dulu pernah dia tinggali, tampak sangat berbeda. Di sana, menjadi jauh lebih berantakan. “Maaf, Mbak. Aku sibuk sekolah. Pulang sekolah langsung ke rumah Bu Ratmi,” ucap Niar, yang seakan paham dengan ekspresi Laila. “Untuk apa kamu ke rumah Bu Ratmi?” tanya Laila, seraya menoleh kepada Niar. “Mbak tahu ‘kan, suami Bu Ratmi jadi pemasok kain kasa ke beberapa rumah sakit? Aku bantu melipat di sana sampai jam delapan malam. Lumayan, Mbak. Sehari bisa dapat tiga puluh ribu,” terang Niar polos. Terenyuh hati Laila mendengar penuturan gadis remaja itu. Bagaimanapun juga, dulu dia dan Niar sangat dekat, meski usia mereka terpaut jauh. Niar juga bukan seorang pembangkang. Karakternya hampir mirip seperti Suratman. “Bagaimana dengan biaya sekolah kamu?” tanya Laila menahan iba dalam hatinya.&nbs
Laila sudah tiba di rumah. Tanpa banyak bicara, dia langsung menuju kamarnya. Hati dan pikiran wanita cantik dua puluh lima tahun itu, sedang tidak baik-baik saja. Sekembalinya dari rumah Aries, dia menjadi begitu galau. Apa yang melanda hati Laila saat ini, berkaitan dengan Suratman. Jauh di lubuk hati terdalam, dia tak tega harus memenjarakan pria yang selalu menyayangi serta bersikap sangat perhatian tersebut.Namun, bila teringat bahwa Suratman telah membawa lari dirinya, maka kemarahan kembali hadir dalam dada Laila.Sambil duduk terpekur, Laila meneteskan air mata yang lagi-lagi hanya dirinya nikmati seorang diri. Segala kenyamanan serta harta kekayaan melimpah yang dimiliki saat ini, ternyata tak mampu membuatnya merasa jauh lebih tenang.Dalam kesendirian tadi, seluruh lamunan Laila tiba-tiba menjadi buyar. Wanita cantik berambut panjang itu segera menyeka air mata, saat mendengar suara ketukan di pintu. Terlebih, setelah mendengar suara Widura
“Apa yang ingin Anda beritahukan kepada saya, Nona?” tanya Widura penasaran.“Sejak kapan Om Adnan mengambil alih kendali, di perusahaan tambang milik ayah saya?” tanya Laila serius.“Dari semenjak Pak Reswara mulai sakit-sakitan. Sekitar satu tahun yang lalu. Kondisi beliau makin lama semakin lemah, hingga akhirnya seperti yang Anda lihat saat pertama kali datang ke rumah ini,” jelas Widura.“Apa yang dokter katakan tentang penyakit ayah saya?” tanya Laila lagi.“Dari yang saya ketahui, Pak Reswara memang sudah menderita komplikasi sejak lama. Belakangan, ada beberapa penyakit yang dinyatakan parah oleh dokter dan … saya tahu Anda pasti sangat penasaran, Nona. Akan tetapi, saya tak ingi
“Apa? Pengawal pribadi?” Aries cukup terkejut mendengar jawaban Laila.“Ya. Memangnya kenapa? Kamu tidak suka? Terserah.” Laila membalikkan badan, karena perbincangan mereka sudah selesai.Melihat Laila hendak berlalu dari hadapannya, Aries langsung mencegah. “Tunggu, La!” Dia meraih pergelangan tangan Laila. Sesaat kemudian, barulah dia sadar dengan apa yang dilakukannya. Pria itu segera melepaskan genggaman, lalu mundur. “Maaf, La."Akan tetapi, Laila tak menanggapi. Dia hanya menatap tajam pada mantan suaminya.“Aku menempuh perjalanan lebih dari lima belas menit hingga sampai di sini. Apakah cuma itu yang mau kamu katakan?” tanya Aries, yang menyesalkan sikap angkuh Laila.
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan