Laila tertegun, lalu menoleh kepada Aries. Dia menatap sang mantan suami, yang sudah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya wanita itu terlihat heran. Tanpa memberikan jawaban, Aries langsung menarik tangan Laila agar menjauh dari mobil. Apa yang Aries lakukan, tentu saja membuat Pramoedya tak terima. Dia langsung mencekal pergelangan tangan mantan suami Laila tersebut. Pramoedya mencengkram erat, hingga Aries meringis kecil. “Berani sekali kamu menyentuh istriku!” sergahnya. Tatapan pria tampan berdarah Belanda tadi sangat tajam, seakan hendak menghujam dan menghabisi putra sulung Kartika tanpa ampun.“Sudah! Hentikan!” Laila yang menangkap gelagat tak baik dari kedua pria di dekatnya, langsung memisahkan mereka. “Tolong jangan membuat keributan di sini.” Nada bicara Laila melunak. Pramoedya mengempaskan kasar tangan Aries. Dia tak ingin memedulikan pria itu. Pramoedya membuka pintu mobil, “Masuklah, Sayang. Kita harus segera ke kantor polisi,” ujarnya. Laila tak membantah. Wani
Mobil yang membawa Pramoedya dan Laila, telah tiba di area parkir gedung kepolisian. Pramoedya turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk sang istri. Namun, Laila tetap bergeming di tempatnya, sambil mencengkeram tali sabuk pengaman.“Ayo, Sayang. Mereka sudah menunggu kita,” ajak Pramoedya lembut.Laila menggeleng lemah, kemudian menunduk.“Kenapa?” Pramoedya mengernyitkan kening.Cukup lama Laila tak menjawab, hingga akhirnya dia mendongak dan menatap sang suami dengan sorot sendu. “Di dalam sana, ada orang-orang yang mencoba membunuhku malam itu,” ucapnya lirih.“Tidak apa-apa, Sayang. Mereka sudah ditangkap dan berada di bawah penjagaan ketat," bujuk Pramoedya lembut.Akhirnya, Laila menurut. Dia membiarkan Pramoedya menuntunya, hingga mereka tiba di ruang pemeriksaan.Di ruangan itu, Laila mendapati Adnan sekeluarga duduk di salah satu sisi ruangan bersama beberapa orang berseragam tah
“Ada apa?” tanya Laila, setelah Pramoedya mengakhiri perbincangannya di telepon bersama Widura.“Marinka dinyatakan bersih. Dia tidak terlibat dalam upaya pembunuhan, yang Adnan dan istrinya rencanakan,” jawab Pramoedya.“Lalu?” tanya Laila lagi.Pramoedya tidak segera menjawab. Pria tampan itu menatap Laila beberapa saat, sebelum mengembuskan napas pelan. “Marinka memaksa kembali ke rumah ini. Mungkin, dia tak memiliki tujuan lain untuk pulang. Bagaimana menurutmu?”Kali ini, giliran Laila yang tak segera memberikan jawaban. Wanita cantik berambut panjang tersebut melipat kedua tangan di dada. “Sudah kuduga,” ucapnya malas. Laila mengarahkan perhatian kepada Lena. “Siapkan penyambu
Marinka terkesiap, mendengar ancaman dari Pramoedya. Putri tunggal pasangan Adnan dan Mayang tersebut tak menyangka, bahwa sang mantan kekasih akan bersikap sangat tegas terhadap dirinya. “Aku sudah terbukti tidak memiliki keterlibatan dalam rencana jahat yang papa dan mamaku lakukan terhadap Laila. Kenapa kamu masih bersikap seperti itu padaku?” Paras cantik Marinka tampak merengut. “Jika Laila tidak bisa bersikap tegas karena masih menganggapmu sebagai saudara, maka aku yang mewakilinya. Sebab, kamu bukanlah saudaraku.” Pramoedya tak juga mengubah intonasi, saat berbicara dengan mantan kekasihnya tadi. “Iya, tapi kamu tidak berhak terus-menerus mencurigaiku seperti itu,” protes Marinka tak terima, meski kali ini tanpa membawa kesombongan yang biasa dia banggakan. “Terlebih, aku adalah mantan pacarmu,” ujar wanita muda berambut golden brown tersebut. “Ya, Tuhan. Jangan ungkit lagi hal itu. Apalagi di depan Laila,” sergah Pramoedya pelan, tapi terdengar sangat tegas. “Perlu kutekan
Beberapa saat berlalu. Kondisi Laila mulai stabil. Wanita itu bahkan telah siuman, sehingga dokter mengizinkannya untuk ditemani oleh salah satu anggota keluarga.“Sayang.” Pramoedya yang mencemaskan keadaan Laila, mengecup kening wanita itu beberapa saat. Dia juga membelai lembut pucuk kepala wanita muda tersebut. “Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa aneh,” jawab Laila lemah. Sepasang matanya menatap sayu kepada Pramoedya, yang berusaha menyembunyikan kecemasan di balik sikap tenang. “Apa kata dokter?” tanya Laila agak parau.“Hasil pemeriksaan lab-mu belum keluar. Semoga tidak ada yang serius.” Pramoedya tersenyum lembut, lalu mencium punggung tangan Laila. “Jangan khawatir. Aku di sini untuk selalu menemanimu.”Laila tersenyum lembut, menanggapi ucapan manis sang suami. “Aku ingin minum,” ujarnya beberapa saat kemudia
Pramoedya tak kuasa menjawab pertanyaan tadi. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada yang terucap dari pria tampan tersebut. “Sayang.” Hanya itu yang bisa Pramoedya katakan. Berat bagi si pemilik mata hazel tersebut, untuk memberitahukan kondisi sebenarnya kepada sang istri.“Kenapa? Apa aku sakit parah dan akan mati?” tanya Laila. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca.“Sst! Jangan bicara seperti itu. Aku tidak suka,” tegur Pramoedya, seraya menggeleng pelan.“Lalu kenapa?” tanya Laila lagi setengah mendesak.Pramoedya merasa terpojok dan serba salah. Dia benar-benar tak sanggup, memberitahukan penyakit yang Laila derita.Beruntung, saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Dokter Hasan muncul bersama beberapa orang perawat. Mereka masuk dan menghampiri Laila."Apa kabar, Nyonya Laila?" sapa Dokter Hasan ramah. Sikapnya begitu hangat. Tak menunggu tanggapan dari Laila, dokter k
Pramoedya menatap tajam mantan suami Laila tadi, kemudian melepaskan Marinka yang terus bergelayut di lengannya. Pramoedya berjalan semakin mendekat. Tanpa diduga, dia langsung mencengkram serta mengangkat kerah baju Aries.“Ada apa ini?” tanya Aries tak mengerti. Dia berusaha melepaskan tangan Pramoedya.Namun, bukannya memberikan jawaban, Pramoedya justru melayangkan satu pukulan keras ke wajah putra sulung pasangan Suratman dan Kartika tersebut.Marinka menjerit histeris. Sementara, kedua petugas medis yang baru selesai mengambil sampel darah sigap melerai.Aries jadi semakin tak mengerti. Sambil menyentuh sudut bibir dan berusaha bangkit, dia membalas tatapan tatapan tajam Pramoedya. “Apa-apaan ini?” sentaknya tak terim
Pramoedya terdiam membeku, mendengar pernyataan Dokter Hasan. Dia tak tahu harus berkata apa. Harapannya pada keluarga terdekat Laila sudah pupus, seiring hasil lab yang ternyata dinyatakan tidak memiliki kecocokan. “Ya, Tuhan. Apakah sesulit itu mendapatkan pendonor ginjal, Dok?” Pramoedya harus kembali mengendalikan diri. Menahan agar kepalanya tidak meledak, karena terlalu panas. “Kita tahu bahwa ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh. Banyak orang takut dengan penyakit ini. Tak sedikit pula yang tidak memiliki keberanian untuk mendonorkan ginjalnya, meski seseorang masih bisa hidup hanya dengan satu ginjal,” jelas Dokter Hasan. “Saya akan memberikan apa pun, seandainya ada yang bersedia menjadi pendonor untuk Laila. Tolonglah, Dokter. Saya berjanji akan menjamin orang itu dengan kehidupan layak dan berkecukupan. Istri saya adalah segalanya. Saya tidak tega melihat dia terbaring sakit dan … satu bulan. Kenapa hanya satu bulan, Dok?” Pramoedya berusaha keras meredam
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan