Share

Istri yang Kuabaikan
Istri yang Kuabaikan
Penulis: Ina R

Kutilang

Penulis: Ina R
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-18 21:05:45

"Hans, kamu gak lupa, 'kan, nanti malam pertunangannya Al. Anaknya Bu Desi tetangga kita dulu?" tanya Mama di ujung ponsel saat aku tengah sarapan.

"Gak kok, Ma aku ingat," jawabku sembari mengunyah nasi goreng yang baru saja kusuapkan ke dalam mulut.

"Kenapa suaramu seperti orang berkumur-kumur gitu? Lagi makan? Kamu ini, gak sopan kalau ngomong sama orang tua sambil ngunyah gitu?" protes Mama, yang terdengar risih.

"Iya, Ma maaf!" jawabku buru-buru minum agar makanan dalam mulut segera masuk ke perut.

Terdengar Mama menghela nafas, mungkin tengah kesal. Tapi, aku yakin Mama gak akan marah. Ya karena bagaimanapun aku ini anak laki-laki kesayangannya sekaligus satu-satunya. Kakakku perempuan, adikku juga perempuan.

"Mama dengar calonnya Al itu anak orang kaya lho." Mama berkata dengan antusias. "Punya usaha sendiri, berpendidikan, mandiri lagi. Coba istrimu juga begitu, " tutur Mama panjang lebar.

Aku sudah biasa mendengar keluhan Mama tentang istri pilihanku. Dulu Mama juga suka memujinya, namun sejak Almira tak bekerja, dan tak punya penghasilan lagi, Mama jadi berubah. Terlebih, Almira belum bisa memberi Mama cucu.

"Ya udah, Mama tutup dulu telponnya. Mama mau bikinin teh dulu buat Bapakmu." Mama berucap setengah berbisik. Lalu, langsung mematikan ponselnya. Sementara aku kembali melanjutkan sarapan yang sempat terjeda.

"Siapa, Mas?" tanya Almira sembari menuangkan air ke gelasku yang sudah hampir habis.

"Mama. Nanti malam aku mau pergi ke acara pertunangan Al, tolong kamu setrikain baju aku yang warna biru langit!"

"Al itu siapa, Mas?"

"Teman Mas waktu kecil, sekaligus tetangga waktu di rumah Mama. Tapi, sekarang mereka udah pindah," jawabku. Almira nampak mengangguk mendengar penjelasanku, sembari mulutnya terlihat ber oh ria.

"Aku ikut ya, Mas!" ucapnya kemudian sembari memegang tanganku.

"Gak usah," jawabku singkat. Malas kalau harus ngajak dia.

"Lho kenapa, Mas?" tanyanya nampak terkejut.

"Langsingin dulu itu badan! Kamu gak lihat badan kamu sekarang udah kayak karung beras begitu? Nanti malah bikin malu," ucapku tanpa peduli perasaannya.

Almira terdiam, sembari menunduk. Barangkali ia tengah kecewa atau terluka hatinya mendengar ucapanku barusan. Tapi, bukankah memang begitu kenyataannya?

Usia pernikahan kami baru memasuki dua tahun, belum juga punya anak. Tapi, badan Almira sudah seperti gentong air. Benar-benar bukan istri yang bisa dibanggakan. Dulu waktu aku menikahinya dia seperti kutilang (Kurus, Tinggi, langsing). Bahkan banyak laki-laki yang menyukainya.

Namun, waktu itu sepertinya takdir baik sedang berpihak padaku. Saat aku mengatakan cinta padanya, bagai gayung bersambut. Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Karena banyak laki-laki yang menyukai Almira, aku tidak mau menunda terlalu lama untuk menghalalkannya. Lagian, usia kami juga tidak lagi muda. Bukan lagi, waktunya pacar-pacaran. Kami memang lulusan SMA yang sama, sudah sejak lama aku menyukainya. Namun, kupendam saja karena waktu itu kami masih sekolah, Bapak melarang pacar-pacaran. Katanya fokus belajar dulu, gak usah pacar-pacaran.

"Memangnya mau ngapain pacaran?" tanya Bapak kala itu, gara-gara Nantri adik perempuanku nemuin surat yang lupa kusimpan. Kalau saja dia bacanya gak kedengeran Bapak juga gak bakalan sampai ditegur, ini sengaja suaranya dikeras-kerasin supaya Bapak dengar.

"Ya gak ngapa-ngapain, Pak," jawabku takut-takut.

"Kalau gak ngapa-ngapain, ngapain pacaran?"

Aku diam, tak berani menjawab apa lagi membantah. Sejak itu aku tidak berani lagi naruh surat sembarangan, dan memilih mencintai diam-diam, termasuk mencintai Almira yang akhirnya sampai kami lulus menjadi cinta dalam diam.

Aku pikir setelah lulus kami tidak akan bertemu lagi. sekian tahun terpisah akhirnya kami bertemu untuk urusan pekerjaan. Memang ya, kalau jodoh gak kemana, tulang rusuk dan pemilik hati tidak akan tertukar. Gak seperti sendal jepit yang bisa ketukar. Paling juga jagain jodoh orang.

Seperti yang pernah saya baca bahwa jodoh itu seperti 'Alif Lam Mim' ayat pertama dalam surat Al-Baqarah. Artinya yaitu, hanya Allah yang tahu.

Sejak pertemuan itu, kami jadi sering bertemu. Lebih tepatnya aku yang sering berkunjung ke rumahnya walau hanya sekedar untuk numpang minum teh manis atau nganterin jajanan cilok yang sengaja kubeli di pinggir jalan, biar ada alasan untuk bertemu. Karena, kami tidak satu kantor.

Setelah menikah, aku melarang Almira bekerja dengan alasan agar ia fokus mengurus keluarga saja. Almira memang sempat hamil. Namun, keguguran di usia kandungannya memasuki 3 bulan. Karena kata bidannya janin di rahim Almira tidak berkembang.

Aku sempat marah, dan menyalahkannya karena ia tidak becus menjaganya. Bagaimana mungkin bisa tidak berkembang? aku selalu memenuhi kebutuhannya. Makanan bergizi, susu ibu hamil, vitamin dan segala yang ia butuhkan selalu aku penuhi. Tapi, nyatanya tetap saja ia keguguran. Bahkan setelah keguguran, badannya semakin melebar gak ketulungan. Harusnya orang setress itu gak selera makan, ini malah sebaliknya.

"Tapi, Mas ...."

"Udah gak ada tapi-tapian, kamu mau bikin aku malu?" tanyaku dengan ketus.

Almira kembali diam sembari menggelengkan kepala dengan pelan. Kentara sekali wajahnya menggambarkan raut ke khawatiran mendengar bentakan dariku. Kutahu dia adalah tipe istri yang penurut, tidak akan berani membantah.

"Aku berangkat kerja dulu!" ucapku seraya bangkit dari kursi makan. Lalu, Almira pun buru-buru bangkit dan menyambut tanganku.

"Fii amanillah, Mas," ujarnya sembari memberikan tas kerja padaku. Entah apa artinya aku hanya menjawabnya dengan gumaman. Lalu, melangkah pergi.

***

Pukul tujuh lebih lima, aku tiba di kantor. Dengan status sebagai manager membuat keberadaanku cukup dihormati di sini. Sudah beberapa bulan ini pangkatku naik, tentu saja juga mengubah penampilanku semakin kece, ditambah lagi aku tampan, kata orang. Ya walaupun aku juga tidak mau menampikkan dan mengakui itu.

"Selamat pagi, Pak!" sapa security yang jaga pintu depan begitu aku memasuki gedung.

Aku tersenyum dan membalas sapaanya. Lalu, melangkah menuju ruangan kerjaku.

Untuk bisa sampai pada posisiku saat ini tidaklah mudah, butuh waktu dan kerja keras tentunya juga kesungguhan.

Sekarang bisa di bilang aku hampir punya segalanya tampan dan mapan. Tapi, hanya satu yang kusayangkan istriku yang tidak cantik seperti dulu lagi. Harusnya ia bisa merawat diri terlebih saat ini posisiku adalah seorang manager. Mengingat itu membuatku kesal.

***

Malamnya aku tengah bersiap, kulirik Almaira dari cermin saat aku tengah menyisir rambut. Wajahnya terlihat sedih, mungkin karena aku tak mengajaknya untuk pergi.

Aku menghela nafas, sebagai lelaki yang baik hati aku masih punya rasa empati.

"Kamu boleh ikut," ucapku sambil terus pura-pura sibuk menyisir rambut.

Almira langsung menoleh ke arahku, ada raut wajah tak percaya di sana.

"Apa, Mas? kamu seriusan?" tanya Almira, dari cermin aku bisa melihat binar terkejut sekaligus bahagia di matanya.

"Em ... Tapi, ada syaratnya!" ucapku sembari memutar badan menatap ke arahnya.

Dahi Almira berkerut mendengar itu, wajahnya yang tadi terlihat senang berganti dengan ragu.

"S-syarat?" Wajah Almira wajah terlihat ragu menyebut kalimat itu.

Aku mengangguk.

"A-apa syaratnya?"

Aku tersenyum, sembari memasukkan kedua tanganku ke saku celana. Tentu saja syarat yang kuajukan demi kebaikanku. Ah, tidak, tidak lebih tepatnya buat kami.

Bersambung ...

Bab terkait

  • Istri yang Kuabaikan   Laki-laki yang bersama Almira

    "Jadi syaratnya adalah ...." Aku sengaja menjeda kalimatku, sebenarnya tidak enak juga mau mengatakannya. Tapi, mau bagaimana lagi. "Setelah sampai di sana aku dan kamu harus berpura-pura tidak saling kenal," lanjutku.Alis Almira terangkat sebelah seolah apa yang kuucapkan terdengar aneh. Ya walau pun sebenarnya aku juga merasa aneh sih."Ke-kenapa?" tanya Almira nampak ragu."I-iya gak apa-apa, ini demi kebaikan kamu juga," jelasku asal. Meski nyatanya ini tentunya demi kebaikanku."Gitu ya? Jadi kayak ngantri minyak goreng ya, harus pura-pura gak saling kenal." ucap Almira terlihat sedih. Kalau dipikir-pikir iya juga sih. Tapi, harusnya dia berterima kasih karena aku sudah berbaik hati mau mengajaknya, bukan malah terlihat tidak suka begitu."Ya sudah kalau kamu tidak mau, aku pergi sendiri," ucapku acuh tak acuh. Akan lebih baik kalau dia tidak jadi ikut.Apa aku terlalu kejam? Kurasa tidak, aku hanya berusaha menjaga imageku sebagai lelaki tampan dari beristrikan seorang yang ...

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-18
  • Istri yang Kuabaikan   Istri gak ada akhlak

    Aku langsung bangkit dari tempat duduk, dengan tujuan untuk menghampiri Almira, siapa laki-laki yang kini tengah bersamanya. Bukan cemburu ya, catat! Mana mungkin seorang Hans Al-Farabi cemburu. Cuma memastikan saja, sekaligus ingin menegurnya.Bisa-bisanya dia berdua-duaan dengan laki-laki asing, sedangkan dia berstatus istri. Kalau sampai orang tahu aku suaminya bisa merusak martabatku sebagai seorang kepala rumah tangga."Hans, mau kemana kamu?" tanya Mama begitu melihat aku bangkit."Eum ... A-anu, i-itu ...." Aku sampai gugup, bingung mau bilang apa."Apaan sih a-i-u, a-i-u gak jelas gitu," potong Mama cepat."Toilet. Ah, iya aku mau ke toilet dulu," kilahku sembari memegangi perut, pura-pura kebelet. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya bisa-bisa Mama marah."Ya sudah sana! Jangan lama-lama," ucap Mama.Aku tidak menjawab dan segera melangkah ke arah Almira berada."Khem ...," ucapku begitu sampai.Almira dan laki-laki itu langsung menoleh, dan menatap dengan heran. Seme

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-18
  • Istri yang Kuabaikan   Sesuatu yang terlupakan

    Tiba di parkiran aku segera masuk ke mobil, dan menyalakan lampu. Begitu lampu menyala aku tersentak saat tiba-tiba melihat seseorang duduk di kursi belakang kemudi."S-siapa kamu?" Aku bertanya tergagap, sembari memundurkan badan."Apaan sih, Mas kamu?" jawabnya. Aku kenal suara itu. "Almira? Ngapain kamu disitu?" tanyaku langsung dengan nada kesal. Sementara jantungku rasanya mau copot, dan tengah memompa lebih cepat dari biasanya gara-gara kaget."Ya nungguin, Mas lah. Ayo pulang!" jawabnya santai."Maksudku kenapa kamu bisa masuk, bukannya kunci mobilnya ada diaku?" tanyaku."Sepertinya tadi Mas lupa ngunci mobilnya, makanya aku bisa masuk."Dahiku langsung berkerut mendengar jawabannya. Masa iya aku lupa ngunci mobilnya? Ah, sudahlah mungkin juga apa yang dikatakannya benar."Eum ... Terus ngapain kamu masih duduk di situ? Cepat pindah! Kamu pikir aku supirmu?" tanyaku dengan nada ketus.Almira tidak menjawab tidak juga membantah, biasanya mendengar bentakan ku ia akan segera men

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-18
  • Istri yang Kuabaikan   Merasa Bersalah

    Gara-gara ucapan Almira aku jadi teringat sama Dinda, sedang apa dia sekarang? Aku lupa untuk minta nomornya semalam, kurasa dia juga lupa. Astaga kenapa kami bisa melewatkan hal sepenting itu?Padahal semalam kami sudah menghabiskan waktu cukup lama. Tapi, tidak terpikir untuk bertukar nomor ponsel. Kalau begini bagaimana aku bisa menghubunginya? Ah, sudahlah mungkin kami memang ditakdirkan untuk bertemu, lalu berpisah.Aku terus melajukan kemudi dengan kecepatan sedang, pagi-pagi begini sudah biasa ditemani macet saat akan berangkat ke kantor. Setelah hampir 30 menit menempuh perjalanan akhirnya aku tiba di kantor, waktu menunjukkan pukul 7 kurang lima. Aku pun langsung masuk ke gedung dan menuju ruangan kerja.Begitu sampai aku langsung melepaskan jas yang kupakai. Lalu, menaruhnya di belakang kursi. Memeriksa beberapa berkas sebelum memulai pekerjaan adalah hal biasa yang sering kulakukan. Coba lihat sedetail ini aku memperhatikan pekerjaan, apalagi kamu kalau saja bisa menyenang

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-18
  • Istri yang Kuabaikan   POV Almira

    Setelah menikah dengan Mas Hans, aku pikir akan bahagia. Bagaimana tidak, kami menikah karena saling mencintai. Dia adalah tipe penyanyang dan perhatian. Tapi, nyatanya tidak. Awal menikah iya, bahkan hampir bisa dipastikan setiap pasangan merasa bahagia.Apalagi saat Mas Hans tahu aku hamil, aku merasa menjadi perempuan paling bahagia, dia begitu memanjakanku. Semua apa yang kuinginkan selalu dipenuhinya."Mas bangun," ucapku sembari menggoyang tubuhnya."Eum ... Ada apa Sayang," ucapnya dengan mata masih terpejam. Lalu, menarikku ke dalam pelukannya."Coba lihat ini," ucapku sembari menunjukkan tespack.Mas Hans langsung memicingkan matanya menatap ke arah benda yang kutunjukkan. Lalu, dengan cepat mengubah posisi berbaringnya dengan sembari mengucek mata. Lalu, mengambil tespacknya."Kamu hamil?" tanyanya masih tak percaya dengan binar bahagia.Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Mas Hans langsung memeluk tubuhku dengan erat dan menghujani dengan ciuman."Ya Allah terima kasih, mak

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-04
  • Istri yang Kuabaikan   Lelah yang semakin Terasa Bertambah

    Malamnya aku pulang, lampu di teras terlihat mati. Tidak seperti biasanya, kemana Almira kenapa lampu di teras tidak dinyalakan? aku memberengut kesal sembari turun untuk membuka pintu gerbang. Bahkan ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya. Kemana dia?Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 22 lebih 30. Setelah membuka pintu pagar, aku kembali ke mobil dan memasukkan mobil ke garasi.Usai kembali menutup pagar,aku melangkah menuju pintu utama, dan membukanya dengan kunci cadangan yang kubawa. Begitu masuk aku langsung menekan saklar lampu yang terhubung ke teras, ternyata lampunya yang bermasalah, mungkin sudah waktunya untuk di ganti.Aku mendesah pelan, berjalan menyusuri rumah yang nampak tak berpenghuni. Kemana Almira? Sampai di kamar aku juga tak menemukannya, apa dia pergi karena kejadian tadi siang? Aku menggeleng pelan, tidak. Tidak mungkin Almira bukan tipe perempuan seperti itu, kalau pun pergi dia pasti pamit. Jujur, ada pe

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-04
  • Istri yang Kuabaikan   Pertemuan tak Sengaja

    "Astaga Almira ...," ucapku begitu melihat penampilannya begitu-begitu saja.Aku pun langsung mengusap wajah dengan kasar, pulang-pulang berharap bisa melepas segala lelah malah dapat pemandangan yang membuat malas. Bagaimana tidak, perempuan yang sudah kunikahi hampir dua tahun ini benar-benar telah menjelma menjadi Almira yang berbeda.Tubuhnya tidak terawat, lemak dimana-mana bahkan wajahnya terlihat lebih tua dari usianya."Suami pulang itu harusnya kamu sambut dengan tampil cantik, bersih, wangi," jelasku saat memandangi penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. Setidaknya dia bisa pakai pakaian yang pantas dan tidak beraroma bumbu dapur kayak gini. Aku menggerutu kesal.Perempuan yang tengah mengenakan baju daster lusuh dan longgar itu hanya tertunduk, wajahnya terlihat lesu dan lelah. Padahal kerjaannya cuma di rumah, sedangkan aku seharian di luar kerja banting tulang."Maaf, Mas!" Hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutnya, sembari mengambil tas kerja yang ada di

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-04
  • Istri yang Kuabaikan   Almira Pingsan

    "Ya ampun aku gak nyangka bisa ketemu Mas Hans di sini," ucapnya senang.Aku tersenyum, antara senang juga kaget melihatnya kembali. "Mas Hans suka olahraga di sini juga?" tanyanya lagi dengan mata berbinar."Eum ... Iya kalau lagi sempet, Mas juga gak nyangka bisa ketemu kamu di sini," jawabku sambil tertawa kecil dengan ekspresi senang.Dinda tersenyum, senyumnya terlihat begitu manis. Semanis gula Jawa, membuat jantungku bertalu-talu lebih cepat dari biasanya.Kenapa aku merasa grogi kayak gini ya? Ada suatu perasaan yang tidak biasa."Aku pikir setelah acara kemarin kita gak bakalan ketemu lagi," ucapnya dengan ekspresi terlihat merajuk, menggemaskan.Aku tersenyum, ah ternyata Dinda berpikir sama sepertiku. "Mungkin kita jodoh," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Ah, Mas Hans bisa aja." Kedua pipi putih Dinda langsung terlihat bersemu merah, mungkin malu atau karena cuaca yang panas."Oh iya kemarin aku lupa minta nomor HP kamu," ucapku langsung karena tak ingin men

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-05

Bab terbaru

  • Istri yang Kuabaikan   Istri yang Kuabaiakan

    Akhirnya urusan dengan Dirga selesai juga. Putusan sidang yang menyatakan, kalau ia harus tinggal di hotel prodeo dalam beberapa kurun waktu akibat perbuatannya membuat lega. Setidaknya aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Almira lagi.Namun di sisi lain, hati gelisah. Sebab, hari yang ingin kuperlambat waktunya datang juga. Apalagi kalau bukan hari pernikahan dengan, Dinda. Terkadang dalam keputusan yang kita ambil dengan secara sadar menyisahkan penyesalan.Aku menyesal karena harus membagi cinta Almira dengan wanita lain. Meski ia bilang tidak keberatan dan melarang membatalkannya. Tapi, tetap saja aku merasa bersalah.Tanganku bergetar saat menjabat tangan seorang laki-laki yang menjadi walinya Dinda, seketika ingatanku berputar, pada waktu mengucapkan janji suci untuk Almira, dan bersedia mengambil alih tanggung jawab ayahnya. Perasaan sedih seketika menelusup ke relung hati, aku tidak bisa membohongi perasaan bersalah atas kebohongan untuk tidak menyakiti dan menduakannya.Na

  • Istri yang Kuabaikan   Almira dan Dinda di Kantor Polisi

    Begitu sambungan telpon terputus, aku bergegas mengambil jas yg tadi kutaruh di kepala kursi. Lalu, melangkah tergesa arah luar."Hans mau kemana kamu?" tanya Pak Bambang tiba-tiba saat aku tengah menutup pintu."Eum ... Sa-saya mau izin keluar sebentar, Pak!"Pak Bambang langsung melihat jam yang melingkar di tangannya. Lalu, beralih ke wajahku dengan raut penuh tanda tanya."Sepertinya belum waktunya makan siang," ucap Pak Bambang."Eum ... Teman saya sedang ada masalah di kantor polisi, Pak." "Ada apa? Memangnya kamu pengecara?""Bu-bukan, Pak. Saya juga belum tahu ada masalah apa. Apa boleh saya izin keluar sebentar, Pak?"Pak Bambang sejenak terdiam, terlihat tengah memikirkan sesuatu. "Ya sudah kamu boleh pergi! Tapi, besok pagi berkas untuk meeting lusa harus sudah ada di meja saya!""Ba-baik, Pak. Terima kasih," ucapku, dan langsung menyambut tangan Pak Bambang. Lalu, bergegas pergi ke arah parkiran.Selama di perjalan pikiranku dipenuhi pertanyaan juga kecemasan. Apa kiranya

  • Istri yang Kuabaikan   Perempuan bukan halte

    Dengan langkah cepat aku kembali ke kamar. Namun, begitu sampai di kamar aku langsung kembali dibuat terkejut. Karena, tak melihat keberadaan Almira, kemana dia? Cemas itulah yang kurasakan."Mira?" teriakku sembari melangkah masuk mencarinya di kamar mandi. Tapi, tidak ada, bahkan di balkon juga tidak ada. Pikiran negatif mulai merasuki, bagaiman kalau Almira diculik Dirga?Aku terduduk di sisi ranjang dengan perasaan lemas juga cemas. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh deringan ponsel di saku celana.Aku pun segera mengeluarkan benda pipih tersebut, berharap Almira. Namun, ternyata Dinda."Mas, kamu sebenarnya dimana sih? Dari tadi aku nungguin. Tapi, Mas malah gak dateng-dateng?" Dinda langsung bertanya begitu sambungan telpon terhubung."Eum ... M-mas lagi nyariin Almira.""Nyariin Mbak Almira? Nyariin gimana sih Mas Maksudnya?" tanya Dinda terdengar penasaran."Almira hilang.""Ha, Hilang? kok bisa? Ya udah sekarang Mas dimana, biar aku susul kesana!""Sebentar! Nanti Mas share lok!"

  • Istri yang Kuabaikan   Sebuah Kenyataan

    Akhirnya kamar dimana Dirga dan Almira berada ketemu. Hatiku bimbang, apa harus didobrak saja pintunya atau diketuk secara baik-baik? Ditengah kebimbangan, kemudian samar-samar telingaku mendengar suara yang membuat penasaran.Entah apa yang mereka bicarakan, suaranya terdengar tidak begitu jelas. Karena penasaran, aku langsung menempelkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara mereka dengan jelas, dan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sayang. Setelahnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Entah apa yang terjadi, keadaan seketika senyap membuat perasaan semakin cemas.Apa sebenarnya yang terjadi? Apa benar Almira sudah berbuat curang dengan orang yang sudah memusuhiku untuk membalas dendam atas rasa sakit hatinya padaku? Tapi, jika iya mengapa justru hatiku berkata lain. Ya Tuhan tunjukan kebenaran-Mu!Tanpa bukti aku hanya bisa menduga. Apapun caranya aku harus bisa mencari kebenarannya. "Apa yang sedang Bapak lakukan?" Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki, yang tern

  • Istri yang Kuabaikan   Dirga dan Almira ke Hotel

    "Kenapa baru diangkat sekarang, kemana aja kamu, Mas? Dari kemarin ditelponin gak diangkat, WA gak dibales. Aku udah nungguin berjam-jam. Tapi, kamu tidak juga datang. Memberi kabar pun tidak. Aku kecewa sama kamu, Mas!" Letupan kemarahan diujung ponsel, seperti akan memecahkan gendang telinga. Aku tidak heran, mengerti jika Dinda akan semarah itu padaku."Maaf! Kemarin Mas ....""Apa? Mas mau bilang kalau, Mas sibuk? Terus gak ada waktu buat hubungi aku? Oh aku tahu, kalau aku memang gak penting buat kamu!" Dinda benar-benar terdengar sangat marah."Bu-bukan be-" ucapanku langsung terjeda saat sambungan telpon tiba-tiba langsung dimatikan Dinda. Aku memijit pelipis yang mulai terasa pening. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada, Dinda? Sepertinya aku harus menemuinya dan menjelaskan semuanya. Semoga saja dia mau mengerti. Sementara Almira, sudah siap berangkat kerja. "Mir kamu sudah mau berangkat?" aku bertanya basa-basi. "Maaf hari ini Mas tidak bisa mengantarmu!" sesalku. "Mas

  • Istri yang Kuabaikan   Almira Marah

    Akhirnya dengan pertimbangan, aku lebih memilih untuk menjemput Almira. Dinda biar nanti, aku akan menemaninya setelah menjemput Almira.Aku pun segera mengambil kunci mobil, dan melangkah lebar-lebar menuju parkiran. Entah apa yang ada dipikiran Almira, bisa-bisanya dia menerima tawaran untuk diajak makan berdua dengan Dirga. Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?Perjalanan menuju tempat Almira bekerja terasa begitu sangat jauh. Kesal dan marah seketika bercampur menjadi satu, bagaimana tidak? Disaat terburu-buru dan khawatir seperti ini jalanan macet. Akhirnya setelah setengah jam lebih aku tiba, tak mau membuang waktu, dan segera turun. Namun, gerakanku terhenti mendengar ponsel berdering. Astaga Dinda, bagaimana ini? Aku harus bilang apa? Ah, lebih baik abaikan saja dulu. Bukan waktunya untuk menjelaskan. Bisa-bisa malah jadi salah paham.Dengan langkah tergesa aku menuju tempat Almira bekerja. Namun, aku tak mendapatinya. Kemana mereka? Ah bodohnya, kenapa tadi tidak

  • Istri yang Kuabaikan   Dinda atau Almira?

    Almira tengah bercakap-cakap dengan, Dirga. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi, kelihatannya mereka sangat akrab. Tak ingin membuang waktu aku pun langsung turun."Nah itu dia orangnya," ucap Almira tersenyum begitu melihatku datang."Oh iya, mungkin lain kali," ucap Dirga. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya sampai dia bisa berkata begitu."Kenapa, Yang?" tanyaku sengaja memanggil Almira dengan sebutan Sayang agar Dirga sadar dengan tujuannya yang sama sekali tidak seharusnya. Lalu, tanganku melingkar di pinggang Almira.Mendengar itu, Dirga malah terlihat tertawa kecil. "Kamu sudah tidak ada lagi yang perlu dikerjakan, 'kan?""Enggak kok.""Kalau begitu ayo kita, pulang!""Eum ... Kalau begitu kita duluan ya!" ucap Almira pada Dirga."Oh iya hati-hati!" balasnya. "Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi, saya sangat tertarik bekerja sama dengan Mbak Almira di salah satu restoran saya!" ucap Dirga seolah memberi penawaran yang menarik. Namun, disisi lain aku jelas tahu apa

  • Istri yang Kuabaikan   Sesuatu yang Mencemaskan

    "Siapa Mas?" tanya Almira."Mira kamu gak tidur?" tanyaku panik, takut kalau dia hanya pura-pura tidur, dan tahu kalau sejak tadi aku memandanginya."Suara ponsel Mas Hans berisik, membuatku terbangun, memangnya siapa yang telpon, kenapa gak Mas angkat?" tanyanya panjang kali lebar."I-ini juga baru mau Mas angkat," jawabku sembari melihat ke layar ponsel. Ternyata Dinda.Perlahan aku menggeser tombol hijaunya, hingga sambungan telpon terhubung."Hallo Assalamualaikum, Mas. Tadi aku dengar Mas Hans berantem lagi ya sama, Dirga? Terus keadaan Mas Hans gimana, Dinda khawatir?""Waalaikumsalam, Mas gak apa-apa kamu jangan khawatir."Terdengar Dinda menghela napas. "Syukurlah kalau Mas Hans gak apa-apa.""BTW kamu tahu dari mana?" tanyaku penasaran."Tadi, Dirga sendiri yang nge-WA in aku, dia juga bilang tidak akan menghalangi kita lagi, aku senang dengarnya, Mas juga senang,' kan?" ucap Dinda terdengar begitu senang.Ucapan Dinda membuatku sejenak terdiam, mungkin Dinda senang. Tapi, ti

  • Istri yang Kuabaikan   Meminta Almira Berhenti Kerja

    Farahpun langsung keluar. 45 menit kemudian Farah kembali dengan wajah panik."Farah, kenapa kamu tidak ketuk pintu dulu?" tanyaku kaget mendengar pintu yang tiba-tiba terbuka, dan melihat wajah paniknya."Eum ... Maaf, Pak!""kamu kenapa?""Anu ... Pak, Bapak dipanggil Pak Bambang ke ruangannya," ucap Farah terlihat takut-takut."Ada apa?""Saya kurang tahu, Pak. Tapi, tadi Pak Bambang marah-marah usai menerima laporannya.""Kamu tidak tanya kenapa?"Farah menggeleng. "Saya gak berani, Pak."Mendengar itu aku langsung, melangkah lebar-lebar menuju ruangan, Pak Bambang. Dalam hati bertanya-tanya ada masalah apa dengan laporan yang tadi kuberikan? Rasa penasaran ini tidak akan terjawab sebelum bertemu. Begitu sampai di depan ruangannya aku langsung mengetuk pintu dengan perasaan tak karu-karuan. Cemas dan takut, kesalahan apa kiranya sampai Pak Bambang memanggilku."Permisi, Pak ini saya Hans," ucapku setenang mungkin."Masuk!" Suara Pak Bambang terdengar keras tak seperti biasanya. M

DMCA.com Protection Status