Feyana serta merta berhambur memeluk David yang melongo dengan pelukannya. Ia menatap bertanya pada Jerome yang malah mengulas senyum.“Ada apa? Hey, kenapa malah menangis, sih? Ada yang memarahimu atau gimana? Ngomong saja jangan menangis begini, aku tidak tahu kalau kamu gak cerita.”Feyana yang menangis pun menyudahinya. Ingusnya yang keluar pun segera diseka secepatnya agar tidak membuatnya malu.Setelah tenang, David mendudukkan Feyana. “Sekarang ceritakan padaku ada apa?” tanyanya lagi.“Aku rindu kamu.”Wajah David yang khawatir berubah cengo. Rindu katanya? David rasanya ingin guling-guling saja sekarang. Ia baper dengan ucapan spontan Feyana.“Loh, aku ini kerja bukan pergi sembarangan. Kan, aku juga sudah pulang. Kenapa tiba-tiba bilang rindu?” sahut David menyembunyikan wajah bersemunya.“Takut kamu kenapa-napa di luar sana. Ponselmu itu loh mati jadi membuatku waswas,” jelas Feyana merajuk.David tersenyum mengelus kepala Feyana. Ponselnya memang mati kehabisan baterai, ma
Yang ditatap hanya menggeleng pelan. “Polisi belum mengabari lagi setelah terakhir kali menginfokan bahwa abangku kecelakaan akibat tertabrak truk yang sedang rem blong.”“Hanya itu? Tidak ada hal lain yang polisi bicarakan padamu?” selidik Feyana lebih intens.Gelengan kepala Jerome membuat Feyana bertanya-tanya. Kenapa polisi sangat lama menangani kasus ini. Apa ini karena Jerome masih remaja sehingga penyelidikan tidak digencarkan? Jika memang itu alasannya, Feyana yang akan mengajukan penyelidikan dipercepat.“Mas, gimana kalau kita ke kantor polisi? Aku hanya merasa aneh saja dengan kasusnya Joshua. Jika karena rem blong, seharusnya identitas sopir truk sudah ketahuan. Tetapi kenapa tidak ada info penangkapannya? Kenapa pihak keluarga korban sama sekali tidak dilibatkan?” ajak Feyana menuturkan persepsinya.David setuju dengan keanehan kasus yang terjadi pada Joshua. Ia pun ikut setuju diajak Feyana pergi ke kantor polisi untuk mendapatkan kejelasannya.“Dek, kamu gak masalah aku
Feyana kembali ke rumah sakit bersama David, namun mereka disambut dengan wajah murung Jerome. Perlahan Feyana mengambil duduk di sisinya.“Kenapa menunduk sedih? Ada yang membuatmu kesulitan saat aku pergikah?” tanya Feyana khawatir.“Tadi 2 orang detektif polisi datang mengajakku bicara. Dia bilang agar aku tidak perlu memperpanjang masalah ini dan terima beres saja. Keluarga korban akan diberi kompensasi 10juta sebagai bentuk pertanggungjawaban dari penabrak. Karena jika aku menuntut lebih jauh lagi, Bang Joshua yang akan kena imbasnya. Abangku ternyata yang salah karena menerobos lampu lalu lintas, dan truk yang tak mampu mengerem mendadak berakhir menabraknya hingga terpental jauh.”Feyana langsung tersenyum menganga mendengarnya. Ternyata mereka jauh lebih gesit bertindak di luar perkiraannya.“Bagaimana ini, Mas? Mau kita diam saja dan diinjak-injak begini lebih lama, atau kita balas mereka lebih cepat dari seharusnya?” celetuk Feyana sambil mendongak menatap David yang berdiri
Feyana membangunkan Jerome dengan hati-hati, takut jika remaja itu tersentak. Sambil menggeliat meregangkan badannya, Jerome menatap penuh tanda tanya pada Feyana.“Joshua kembali kritis. Sekarang dia sedang ditangani oleh Dokter di ruang ICU.”Seperti tersengat setrum, Jerome langsung berdiri dan bergegas lari menuju kaca besar melihat kakaknya. Feyana mengikuti di belakang, ia lalu mengusap-usap punggung Jerome.“Kenapa lagi dengan dirinya? Apa tidak bisa dia berhenti membuatku khawatir dan segera bangun saja? Dia memang sengaja mau menghukumku yang susah diatur atau bagaimana, sih?” gumam Jerome lalu memukul pelan kaca jendela dengan kepalan tangannya.Feyana tentu saja langsung menghentikannya yang mau memukul kaca jendela lagi. Meskipun didesain tidak mudah pecah, tetap saja Feyana takkan biarkan Jerome menyakiti dirinya sendiri.“Kakakmu tidak mungkin tega menghukummu. Dia hanya sedang berusaha bangun, makanya tubuhnya merespons agar jangan dulu. Kamu tenang saja, Joshua pasti t
“Dimana Jerome, Mas?” tanya Feyana karena saat kembali tak mendapati Jerome di sana.“Dia dapat panggilan dari sekolahan, katanya ada yang mau dibicarakan persoalan yang penting mengenai sekolahnya. Jerome mengaku padaku bahwa dia memang suka membolos dan mungkin pihak sekolah menganggap Jerome hanya alasan saja seperti biasa. Makanya dia perlu ke sekolahan untuk membuktikan dirinya tak berbohong sedang merawat kakaknya di rumah sakit.”Penjelasan panjang lebar David nyatanya didengarkan saksama oleh Feyana. “Lalu bagaimana dia akan buktikan? Apa dia sudah ambil foto Joshua di ruang ICU? Itu bisa menjadi bukti mudah baginya.”David menepuk jidatnya. “Tidak. Jerome hanya langsung bergegas pergi ketika ditelepon tadi. Aduh, bagaimana ini?” ujarnya kasihan.“Kamu berangkat kerjanya kapan? Kalau aku tinggal untuk menyusul Jerome sebentar, kamu mau menunggu di sini atau tidak? Kasihan kalo dia harus bolak-balik,” kata Feyana yang sudah bersiap mengambil ponselnya di tas.“Iya, silakan saja
Keributan terjadi makin memanas kala Feyana tak mau kalah bicara dengan Pak Robin yang mengelak dan malah menuduh Joshua, seolah korban itulah yang bersalah karena menerobos lampu lalu lintas.Feyana tentu tak terima karena dia yakin Joshua bukanlah pengendara yang tak menaati peraturan seperti yang dikatakan Pak Robin. Itu pasti hanya alasannya untuk mengelak dan lepas tanggung jawab.“Biar polisi yang menemukan bukti di lapangan. Kita lihat siapa yang benar dan siapa yang sengaja menghindari kesalahan!” sentak Feyana sambil menudingkan telunjuk ke arah Pak Robin.Robin ikut terbawa emosi. Ia bahkan sempat memegang kerah baju Feyana, bermaksud mencekiknya. Namun rencana itu digagalkan oleh pengawal pribadinya yang juga berada di ruangan itu. Pengawal itu langsung menarik Robin untuk menjauhi Feyana.“Anda tidak boleh terpancing emosi yang akan merugikan citra Anda nantinya!” bisik Pengawal itu untuk menenangkan tuannya.Robin pun menghembuskan napas kesal. Ingin sekali menghajar wani
“Gimana tadi di sana, Fey? Loh, kok bawa buku banyak banget? Sini, tak bantu taruh ke situ,” kata David yang sigap membantu Feyana dan Jerome membawa buku.Feyana langsung duduk menyender ke kursi tunggu sambil mengipasi wajahnya yang berkeringat. Berat bawa buku miliknya Jerome.Jerome juga melakukan hal yang sama, tapi tidak sampai berkeringat banyak seperti Feyana. Ia hanya tersenyum ketika David menaikkan sebelah alis bertanya padanya.“Kalian ini habis mulung di mana? Kok balik-balik malah bawa buku sebanyak ini.” David bergurau jenaka sambil menyenggol bahu Jerome.Feyana langsung memicing tajam pada David yang sengaja duduk di sebelah Jerome, menghindar jika sewaktu-waktu Feyana memukul lengannya kalau lagi kesal.“Aku minta agar Jerome pindah sekolah saja. Asal kamu tahu, aku tadi di sekolahannya Jerome trus berantem sama tuh Pak Robin. Ternyata Kepala Sekolah sana berkoalisi dengan Pak Robin, makanya tadi Jerome disuruh datang ke sekolahan untuk diancam.”Feyana berapi-api me
David kembali dari kantor dengan wajah yang kelelahan. Ia berjalan lunglai mendekati ruang tunggu di mana istrinya dan Jerome berada.Saat ini Feyana sedang bercanda gurau dengan Jerome sambil bermain monopoli yang sengaja dibeli di toko dekat Rumah Sakit. Cukup membantu menghilangkan kebosanan karena bermain ponsel.David langsung tiduran beralas karpet yang mereka gelar, mendusel ke paha Feyana sambil mencebik manja.“Capek, ya? Sini, biar aku pijat,” ucap Feyana sambil mengelus-elus kepala suaminya yang sedang manja.“Sumpah, di kantor tadi aku hampir tidak istirahat. Banyak banget kerjaan yang belum selesai, ditambah sekretarisku juga tengah cuti lahiran. Aku kayak orang stres saking bundelnya kepalaku,” adu David seperti anak kecil.Feyana hanya manggut-manggut mendengar cerita sedih suaminya. “Yang sabar, ya. Nanti kalau Joshua sudah bangun, jadikan dia sekretarismu saja. Joshua sangat baik dalam pekerjaannya dan bisa diandalkan. Kamu akan mendapat kemudahan dan manfaat jika mem
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje
Feyana dan David dalam perjalanan pulang, bersisian di dalam mobil tapi senyap sejak 15 menit yang lalu. David berulang kali menatap sebentar istrinya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Karena tak kunjung mendapat perhatian, David mengelus punggung tangan Feyana dengan sebelah tangannya yang bebas dari menyetir.“Lagi mikirin apa?”Feyana barulah menoleh padanya lalu menyengir kecil membuat David mengangkat sebelah alisnya bingung. “Soal Joshua dan Mitha, ya? Kamu kenapa ngebet banget jodohin mereka, sih? Padahal kalau dipikir-pikir yang dikatakan Joshua memang benar, kita belum terlalu kenal soal Mitha. Iya kita memang lihatnya Mitha wanita yang baik dan tidak neko-neko, tapi siapa tahu itu hanya topengnya semata.”Seperti bisa membaca apa yang sedang Feyana pikirkan, David menuturkan hal demikian dengan raut wajah tenang tanpa menunjukkan emosi apapun, itu agar Feyana juga tak merasa tersinggung.Feyana mencebik sambil menyahuti, “Tapi aku merasa kasihan pada Joshua yang sudah
“Aku malah bermaksud ingin menyingkirkan Randy di saat kontrak kerja dengannya berakhir. Aku senang kamu melakukannya lebih cepat, Dav.”Tanggapan di luar dugaan dari Feyana membuat David menganga tak percaya. Semenit kemudian ia barulah bisa mengulum senyuman karena ternyata Feyana tidak marah dan malah sejalan dengannya.“Jadi kuharap kita tak lagi bersitegang hanya karena Randy dan keluarganya. Aku muak kita bertengkar perihal mereka,” kata Feyana yang diangguki semangat oleh suaminya.“Aku akan membereskan Randy dan keluarganya agar tidak akan pernah muncul di hadapan kita lagi. Tenang saja, aku tidak bermaksud membunuh mereka, hanya saja ingin mengusir mereka dari kota ini. Jika mereka berada di tempat yang jauh, tak mungkin bisa mengganggu kita lagi,” cetus David sembari mengambil ponselnya untuk menghubungi orang suruhannya.Kening David mengerut ketika mengobrol beberapa saat dengan seseorang di telepon. Setelahnya ia memutuskan sambungan dan memberi tatapan linglung pada Feya
Feyana melihat Joshua tak berkutik mendengar pertanyaannya yang cukup menohok itu. Karena melihat pria di depannya itu hanya diam tak menyahut, Feyana yang kembali bersuara. “Aku tak sengaja melihat Randy ada di rumah sakit ini. Dia dirawat karena mengalami patah tulang dan berakhir cacat usai dioperasi. Kamu tahu apa yang membuatku merasa tersinggung? Ketika aku menghadapi keluarga Randy seorang diri demi menjaga martabatnya suamiku. Tapi aku merasa kasihan pada diriku sendiri sebab membela orang yang malah membohongiku. Kamu mengerti bagaimana bencinya aku saat kutahu bahwa David membohongiku dari keluarganya Randy? Mereka semua saling menyerangku waktu itu, dan aku diam tak berkutik dalam hati, tapi pura-pura berani pada mereka dengan membual soal ancaman untuk menakutinya.”Feyana menenggak minuman di gelasnya secara brutal dan meletakkan kembali gelasnya dengan keras sampai terdengar bunyi berdentum. Tatapan tajam menusuk Feyana yang memerah menahan amarah membuat Joshua was-was