David melotot tak suka mendengar permintaan Feyana yang menurutnya terlalu peduli pada Joshua. Salah sendiri kenapa keduanya harus kena skandal begitu.“Joshua itu temanku dan dia dipecat dengan cara tidak adil. Aku tidak ingin dia kecewa padahal hidupnya sudah sangat menderita. Demi agar reputasiku di kantor baik-baik saja, dialah yang dikorbankan. Jika dipecat, bagaimana dia mau menghidupi dirinya dan adiknya, Mas? Dia tak memiliki orang tua atau kerabat yang bisa dimintai tolong,” terang Feyana dengan wajah penuh iba memikirkan bagaimana nasib Joshua ke depannya.Karena Joshua dipecat dengan alasan yang buruk, dia akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di luaran sana. Tentu saja karena sudah di cap jelek oleh orang-orang.“Mas, mau kan membantu Joshua? Aku mohon,” pinta Feyana lagi.David mengeratkan pegangan di setir mobilnya. “Sebenarnya, apa arti Joshua untukmu? Kenapa kamu sangat peduli padanya, sih? Padahal, dia itu baru-baru ini jadi temanmu. Dia belum selama itu kamu kenal, ta
Feyana sangat berterima kasih pada suaminya yang memberikan solusi paling baik yang tidak mempengaruhi siapapun atau perusahaan.Dengan girang, Feyana mengajak David untuk menemui Joshua di rumahnya. Dia ingin beritahukan kabar gembira ini secara langsung pada Joshua, sekalian mengunjungi Jerome yang beberapa hari ini tidak ketemu. Jerome sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri.“Tidak abangnya, tidak adiknya, sainganku kok makin banyak. Aku yakin kalau si Jerome itu suka denganmu,” gerundel David saat menyetir mobil. Inginnya tidak ikut tapi tak mau Feyana berduaan bertemu dengan Joshua, bisa kebakaran jenggot dirinya karena cemburu si istri berguyon dengan pria lain.Feyana memukul pelan lengan David sambil tertawa. “Jangan salah! Aku yang sebelumnya ngebet untuk mendekati adiknya Joshua. Jerome itu remaja labil dan nakal, tapi dia juga penyayang. Hubungan antara Jerome dan Joshua membuatku ingin memiliki saudara seperti mereka juga.”David langsung menyalak marah ketika mendengar
Betapa cengo nya wajah Feyana dan David mendapati info dari Alysa bahwa ternyata Jerome absen hari ini.“Kenapa gak bilang dari tadi kalau si Jerome bolos sekolah hari ini, sih?” gerundel David saat menyetir untuk pulang ke rumah orangtuanya mengantar Alysa.“Lah, aku mana tahu kalo adiknya Joshua libur sekolah. Kalau tahu gak bakal kusaranin ke sekolah,” sahut Feyana ikut kesal. Capek-capek ditungguin ternyata orangnya gak sekolah.“Loh, jadi kalian ini emang gak berencana buat jemput aku? Lebih mentingin si Jerome itu, ya? Tega bener kalian sama aku.” Kini, Alysa ikut-ikutan mangkel. Sudah tak pernah dijemput oleh kakaknya, sekalinya dijemput ternyata bukan karena untuknya.Ketiganya sama-sama mendengus kesal. Beberapa saat kemudian, sampailah mereka di rumah orangtuanya David dan Alysa.Buru-buru Alysa turun dan langsung mengadu pada orangtuanya kalau si kakak maupun iparnya membuat ia kesal. Feyana masih punya rasa malu ketika menghadap mertuanya, tetapi David sama sekali tidak.D
“Agak cepat lagi, Mas! Kasihan Jerome sendirian di sana,” pinta Feyana.Feyana tahu bahwa suaminya sudah berusaha untuk melajukan mobilnya dengan cepat, tapi ia tetap tak bisa tenang. Dia dengar sendiri bagaimana Jerome menangis, mengatakan bahwa ia tak tahu harus berbuat apa.“Benar rumah sakit yang ini, bukan?” tanya David ketika dari kejauhan ia bisa melihat bangunan Rumah Sakit yang besar.“Dari yang kudengar, Jerome mengatakan di sini tempatnya.”David mengangguk lalu menyuruh Feyana turun lebih dulu, sebab dirinya perlu mencari tempat parkir yang pastinya akan butuh waktu. Melihat Feyana yang tak sabaran, akan jauh lebih baik membiarkannya masuk lebih dulu.“Tapi kamu gak boleh panik! Karena kalo kamu panik, Jerome bakal ikutan panik. Ngerti kan?” pesan David sebelum membiarkan Feyana keluar dari mobilnya.Meski agak ragu, Feyana memberikan anggukan pertanda mampu melakukannya. David pun melepas kepergian istrinya dengan agak berat.Feyana berlari masuk ke dalam lobi rumah sakit
David langsung memeluk istrinya, mengelus punggungnya dengan lembut. “Joshua bisa diselamatkan, percaya pada ucapanku! Sekarang ayo, berdiri! Jangan membuat Jerome melihatmu lemah seperti ini dan menjadikannya putus harapan pada kakaknya.”Feyana menurut. Meski sulit, ia harus tetap tegar supaya Jerome tidak kehilangan sandaran padanya. Dengan langkah agak tertatih, Feyana meminta agar Jerome mau memapahnya menuju ruang ICU.Saat tiba di sana, Feyana dan Jerome bersisian melihat dari kaca besar, kondisi Joshua yang dipasangi banyak selang dan alat bantu lainnya. Feyana meringis ikut kesakitan melihat bagaimana tubuh Joshua harus ditusuk oleh jarum-jarum tajam.David bertindak gesit menutupi mata Feyana. “Jangan dilihat kalo tak sanggup.”Feyana tak menampik tangan suaminya. Ia diam saja ketika matanya ditutup oleh David. Hingga beberapa menit lamanya, barulah David tidak lagi menutup matanya. Joshua sudah selesai dipasangi alat bantu dan beberapa selang infus.“Kamu mau langsung lihat
“Ayo, buruan maju! Lah, kamu turun lagi ternyata. Kasihan banget sih kamu, Fey,” kekeh David ketika melihat posisi istrinya yang makin tertinggal darinya.“Kurang 4 lagi aku udah sampek garis finish.” David menghitung peluangnya. Ia tersenyum yakin bahwa akan mendapatkan angka 4.“Halah, mana mungkin dapat 4. Semoga saja turun karena ular nomor 98.” Feyana langsung mendoakan agar suaminya dapat angka 2 saja.Keduanya sedang main ular tangga lewat ponsel David. Mengisi kejenuhan nyatanya dengan hal sederhana seperti itu cukup membuat keduanya bisa mengistirahatkan pikiran sejenak.Tiba-tiba suara gaduh dari ruang ICU membuat atensi keduanya teralihkan. Feyana dan David langsung berdiri dan mendekati pintu masuk ICU.David mencegat salah satu Dokter yang lewat ingin masuk ke dalam. “Dok, apa yang terjadi di dalam?” tanya David meminta kejelasan.“Pasien Joshua mengalami serangan jantung.”Setelahnya Dokter itu menghempaskan cekalan David di lengannya dan langsung melesat lari ke dalam r
Feyana kelimpungan karena sampai malam hari David belum juga kelihatan batang hidungnya. Ketika dia telepon, hanya suara operator perempuan yang keluar, mengatakan agar dirinya mengecek nomor yang dituju. Sudah pasti itu karena nomor David tidak aktif, makanya Feyana dibuat resah.Dari sejak dirinya berangkat pergi, tak sekalipun ia datang berkunjung ke rumah sakit, sekedar mengantarkan baju ganti atau makanan. Sejujurnya tak perlu itu, hanya David datang ke sini menunjukkan wajah dan badannya sehat, itu sudah sangat cukup. Tapi hingga detik ini, suaminya belum juga datang.“Kak Feyana masih ingin menunggu suamimu? Memang tidak bilang kalau suamimu mungkin terlambat datang atau tidak datang hari ini?” celetuk Jerome yang duduk melihat Feyana bolak-balik jalan di depannya.Feyana menggeleng pelan. “Dia bilang akan berusaha datang ke sini segera. Bukankah itu tandanya ada yang tidak beres? Gimana kalau terjadi sesuatu pada David?” ucapnya yang berakhir makin membuatnya resah sendiri.Je
Feyana serta merta berhambur memeluk David yang melongo dengan pelukannya. Ia menatap bertanya pada Jerome yang malah mengulas senyum.“Ada apa? Hey, kenapa malah menangis, sih? Ada yang memarahimu atau gimana? Ngomong saja jangan menangis begini, aku tidak tahu kalau kamu gak cerita.”Feyana yang menangis pun menyudahinya. Ingusnya yang keluar pun segera diseka secepatnya agar tidak membuatnya malu.Setelah tenang, David mendudukkan Feyana. “Sekarang ceritakan padaku ada apa?” tanyanya lagi.“Aku rindu kamu.”Wajah David yang khawatir berubah cengo. Rindu katanya? David rasanya ingin guling-guling saja sekarang. Ia baper dengan ucapan spontan Feyana.“Loh, aku ini kerja bukan pergi sembarangan. Kan, aku juga sudah pulang. Kenapa tiba-tiba bilang rindu?” sahut David menyembunyikan wajah bersemunya.“Takut kamu kenapa-napa di luar sana. Ponselmu itu loh mati jadi membuatku waswas,” jelas Feyana merajuk.David tersenyum mengelus kepala Feyana. Ponselnya memang mati kehabisan baterai, ma
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje
Feyana dan David dalam perjalanan pulang, bersisian di dalam mobil tapi senyap sejak 15 menit yang lalu. David berulang kali menatap sebentar istrinya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Karena tak kunjung mendapat perhatian, David mengelus punggung tangan Feyana dengan sebelah tangannya yang bebas dari menyetir.“Lagi mikirin apa?”Feyana barulah menoleh padanya lalu menyengir kecil membuat David mengangkat sebelah alisnya bingung. “Soal Joshua dan Mitha, ya? Kamu kenapa ngebet banget jodohin mereka, sih? Padahal kalau dipikir-pikir yang dikatakan Joshua memang benar, kita belum terlalu kenal soal Mitha. Iya kita memang lihatnya Mitha wanita yang baik dan tidak neko-neko, tapi siapa tahu itu hanya topengnya semata.”Seperti bisa membaca apa yang sedang Feyana pikirkan, David menuturkan hal demikian dengan raut wajah tenang tanpa menunjukkan emosi apapun, itu agar Feyana juga tak merasa tersinggung.Feyana mencebik sambil menyahuti, “Tapi aku merasa kasihan pada Joshua yang sudah
“Aku malah bermaksud ingin menyingkirkan Randy di saat kontrak kerja dengannya berakhir. Aku senang kamu melakukannya lebih cepat, Dav.”Tanggapan di luar dugaan dari Feyana membuat David menganga tak percaya. Semenit kemudian ia barulah bisa mengulum senyuman karena ternyata Feyana tidak marah dan malah sejalan dengannya.“Jadi kuharap kita tak lagi bersitegang hanya karena Randy dan keluarganya. Aku muak kita bertengkar perihal mereka,” kata Feyana yang diangguki semangat oleh suaminya.“Aku akan membereskan Randy dan keluarganya agar tidak akan pernah muncul di hadapan kita lagi. Tenang saja, aku tidak bermaksud membunuh mereka, hanya saja ingin mengusir mereka dari kota ini. Jika mereka berada di tempat yang jauh, tak mungkin bisa mengganggu kita lagi,” cetus David sembari mengambil ponselnya untuk menghubungi orang suruhannya.Kening David mengerut ketika mengobrol beberapa saat dengan seseorang di telepon. Setelahnya ia memutuskan sambungan dan memberi tatapan linglung pada Feya
Feyana melihat Joshua tak berkutik mendengar pertanyaannya yang cukup menohok itu. Karena melihat pria di depannya itu hanya diam tak menyahut, Feyana yang kembali bersuara. “Aku tak sengaja melihat Randy ada di rumah sakit ini. Dia dirawat karena mengalami patah tulang dan berakhir cacat usai dioperasi. Kamu tahu apa yang membuatku merasa tersinggung? Ketika aku menghadapi keluarga Randy seorang diri demi menjaga martabatnya suamiku. Tapi aku merasa kasihan pada diriku sendiri sebab membela orang yang malah membohongiku. Kamu mengerti bagaimana bencinya aku saat kutahu bahwa David membohongiku dari keluarganya Randy? Mereka semua saling menyerangku waktu itu, dan aku diam tak berkutik dalam hati, tapi pura-pura berani pada mereka dengan membual soal ancaman untuk menakutinya.”Feyana menenggak minuman di gelasnya secara brutal dan meletakkan kembali gelasnya dengan keras sampai terdengar bunyi berdentum. Tatapan tajam menusuk Feyana yang memerah menahan amarah membuat Joshua was-was