Feyana datang ke kantor lebih awal dan langsung berkutat dengan pekerjaannya yang menumpuk di meja. Yang dikatakan David hanya omong kosong, untung saja dirinya sendiri yang menolak keras ketika David semalam ingin meminta lebih. Jika tidak, Feyana jamin akan terlambat dan badannya pasti pegal-pegal.“Aku harus tuntaskan hari ini agar bisa mempersiapkan materi meeting besok,” ucapnya optimis.Hampir 30 menit kemudian, banyak karyawan sudah mulai berdatangan dan langsung bekerja sesuai rutinitas masing-masing, tak ada yang mengacuhkan Feyana di ruangannya.Luna yang juga baru datang langsung menuju ruangan Feyana untuk melaporkan pekerjaannya. Ia sedikit kagum dengan ketekunan Feyana, padahal dirinya sempat berpikir bahwa Feyana adalah wanita manja yang tak mau bersusah payah.“Aku bawakan kopi untukmu,” ucap Luna sambil meletakkan cangkir ke meja.Feyana melihat wajah Luna sekilas dan mengangguk. “Terima kasih.”Luna lalu menyodorkan beberapa map yang perlu dibaca Feyana dan ditanda-t
Feyana menatap rendah ke arah Luna, lalu berbalik badan untuk pergi ke luar dari area kafetaria diikuti oleh David yang panik bukan main.“Fey, dengarkan dulu penjelasanku, jangan bersikap seperti ini!” sergah David mencegat pintu agar Feyana tidak bisa keluar.David tak peduli dengan sebelah pipinya yang memerah akibat tamparan Feyana, yang dipikirkannya hanya bagaimana bisa menenangkan istrinya.Feyana diam memandangi David. Tak ada yang diucapkannya, tapi mengode bahwa cepat saja David bicara karena waktunya tak ingin terbuang sia-sia mendengar ocehannya.David tak mau marah dengan sikap Feyana yang menyebalkan itu, karena ia merasa ini salahnya membiarkan Feyana salah paham.“Aku berulang kali menelefon untuk mengajakmu makan berdua di sini, tetapi kamu bahkan tak mengangkatnya. Aku sudah lebih dulu menunggu hampir sejam lamanya, berpikir bahwa kamu akan segera turun dan kita bisa bertemu. Tetapi, hasilnya nihil. Ketika aku akan pulang, tak sengaja berpapasan dengan Luna yang baru
Feyana selesai dengan pekerjaannya tepat jam 22.45 malam dengan mata yang sudah mengantuk berat. Ia beberapa kali menguap saat jalan seorang diri di koridor kantor. Dirinya sengaja menyuruh para karyawan terutama satpam penjaga yang sudah jamnya pulang untuk segera pulang saja, sebab dirinya sendiri yang akan mengunci pintu utamanya.Feyana tadi sempat diberitahu oleh Luna bahwa David menunggu di area parkir untuk pulang bersama, tetapi Feyana menolaknya. Ia beralasan bahwa akan pulang sangat larut dan meminta Luna katakan hal itu pada David agar tidak perlu menunggunya.“Aku pulang naik taksi sajalah. Tetapi, jam segini apa tidak susah mencarinya?” gumam Feyana setelah selesai mengunci pintu kaca di lantai utama.Ketika Feyana melihat-lihat ke jalan seberang, mencari tahu apakah ada taksi yang lewat, ia malah melihat Joshua melambaikan tangan padanya. Joshua berjalan mendekati dengan senyuman manisnya membuat Feyana mau tak mau ikut tersenyum melihatnya.“Aku pikir akan sendirian, te
Feyana diam mematung melihat Luna berdiri di sebelah David. Tak mendapat bantuan dari Feyana bukannya sungkan, Luna malah menyerobot masuk begitu saja sambil memapah David yang mengoceh tak jelas.“David mabuk dan aku terpaksa yang membawanya pulang. Dia tak sadar, jadi tak mungkin kubiarkan berkendara sendirian. Kuharap kamu mengerti dan tak salah paham. Aku langsung pamit pulang dulu,” ungkap Luna setelah dirinya membaringkan David di ranjang.Luna berjalan mendekati Feyana yang berdiri di ambang pintu. Senyumannya terulas tipis sambil menepuk pundaknya. “Aku dan David hanya teman saja.”Feyana membiarkan Luna pulang tanpa diantar olehnya. Ia masuk ke kamar dan menatapi David yang setengah sadar.David yang melihat siluet Feyana tertawa senang dan duduk sedikit terhuyung, membuat Feyana buru-buru membantunya duduk dengan benar.“Kenapa mabuk begini? Dan kenapa juga harus Luna yang mengantarmu?” desak Feyana kesal bercampur marah, tapi ia tak bisa meluapkan emosinya pada orang yang m
Feyana bangun lalu melihat sekeliling yang senyap, tak mendapati suaminya ada di ranjang ataupun berada di kamar mandi. Feyana hanya menghela nafas mengetahui bahwa David tak merasa bersalah atas pertengkaran semalam.Dengan langkah gontai, Feyana mandi dan bersiap untuk ke kantor. Mengabaikan rasa sakit hatinya dan berusaha fokus di pekerjaan sepenuhnya.Ketika dirinya membuka pintu rumah, ia dibuat kaget karena David berlutut sambil menghadiahinya buket bunga yang besar.“Mas, sedang apa kamu?” tanya Feyana melongo, bukannya segera menerima buket dari suaminya.David mengintip dari balik buket sambil menyengir lucu. “Tidak mau segera ambil bunganya? Kakiku sudah pegal ini,” ungkapnya lalu tersenyum penuh harap.Feyana seperti dikomando dan mengambil buket dengan kaku, memeluknya sambil tetap menatap David yang berdiri sambil membersihkan celananya yang agak kotor.“Untuk apa ini?” tanya Feyana menatap agak sangsi pada David. Takut dibentak seperti semalam.David menarik pundak Feyan
“Fey, apa yang kamu lakukan? Cepat ucapkan kalimat penutupnya!” bisik Erik yang kebetulan duduk di dekat podium Feyana.Feyana segera mengikuti arahan ayahnya dan melakukan penutupan rapat kali ini. Semua yang hadir pun satu persatu keluar gedung. Feyana buru-buru turun dari podium dan mencari keberadaan Randy, namun ia terhalang dengan banyaknya orang di dalam ruangan yang mengantre untuk keluar.“Hey, kamu itu kenapa? Siapa yang kamu cari, sih?” sentak Erik mencekal tangan Feyana agar berhenti bergerak seperti orang kebingungan.“Aku melihat Randy. Dia ikut rapat dan menatapku lekat, aku yakin sejak tadi ia pasti sudah memperhatikanku.” Feyana menyahut dengan nada kesal dan tak sabaran melepas cekalan ayahnya.Erik mengeratkan pegangannya dan menyuruh Feyana untuk tenang. Ia tak mau orang-orang yang masih berada di dalam gedung melihat kepanikan Feyana yang tidak wajar seperti ini.“Kalaupun memang dia datang ke mari—lalu apa? Tidak akan berpengaruh apapun padamu, Nak. Apa kamu masi
“Kamu ketakutan dengar ucapanku? Astaga, bagaimana kamu berubah se-drastis ini setelah mencampakkanku?” kekeh Feyana lalu kembali menatap tajam. Aura suramnya sungguh terlihat kentara.Ketika Feyana melangkah turun untuk sejajar dengan Randy, pria itu malah memegangi lengannya.“Aku minta maaf. Aku dan keluargaku sungguh menyesali perbuatan kami dulu padamu. Jadi, kumohon berhenti memendam amarah pada keluargaku. Aku ingin hidup tenang,” pinta Randy putus asa.Feyana tersenyum miring. Ia tak mengerti, kenapa dendamnya bisa mempengaruhi hidup Randy. Tapi baguslah jika memang hidup Randy dan keluarganya jadi sulit setelah bercerai darinya.“Perusahaanku sedang dalam keterpurukan. Aku tak tahu, kenapa semuanya jadi sulit. Tetapi, sepertinya karena dendammu kepadaku dan keluargaku yang membuat karma menimpa kami.”Feyana tak bisa menahan untuk tidak tertawa terbahak. Karma katanya? Hey, ternyata Randy masih mempercayai takhayul seperti itu. Tak sangka, pria metropolitan macam Randy masih
David tanpa buang waktu segera mengajak Feyana untuk pergi ke rumah sakit. Keduanya sama-sama dibuat gugup bukan main ketika memasuki ruangan Dokter Kehamilan setelah beberapa lama menunggu antrean.“Santai dulu! Kalian berdua terlihat sangat tegang sekali,” goda dokter wanita itu yang melihat David dan Feyana sebagai pasangan baru.David menggenggam tangan Feyana yang ada di bawah meja sambil tersenyum kaku. “Jadi, apa hasilnya? Benarkah istriku sedang mengandung?” tanya David harap-harap cemas menanti jawaban.Dokter itu menunjukkan lembar kertas hasil pemeriksaan pada mereka berdua. Senyumnya terkembang sempurna dengan satu tangan menunggu untuk dijabat oleh David. “Selamat, istri anda sedang mengandung. Janin yang ada di perutnya masih berumur sekitar 4 minggu dan masih lemah, jadi saya sarankan untuk terus berhati-hati.”David rasanya hampir tak percaya mengetahui bahwa Feyana hamil. Ini sebuah berkah yang tak diduga akan datang padanya secepat ini. Dirinya memeluk Feyana dan ter
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje
Feyana dan David dalam perjalanan pulang, bersisian di dalam mobil tapi senyap sejak 15 menit yang lalu. David berulang kali menatap sebentar istrinya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Karena tak kunjung mendapat perhatian, David mengelus punggung tangan Feyana dengan sebelah tangannya yang bebas dari menyetir.“Lagi mikirin apa?”Feyana barulah menoleh padanya lalu menyengir kecil membuat David mengangkat sebelah alisnya bingung. “Soal Joshua dan Mitha, ya? Kamu kenapa ngebet banget jodohin mereka, sih? Padahal kalau dipikir-pikir yang dikatakan Joshua memang benar, kita belum terlalu kenal soal Mitha. Iya kita memang lihatnya Mitha wanita yang baik dan tidak neko-neko, tapi siapa tahu itu hanya topengnya semata.”Seperti bisa membaca apa yang sedang Feyana pikirkan, David menuturkan hal demikian dengan raut wajah tenang tanpa menunjukkan emosi apapun, itu agar Feyana juga tak merasa tersinggung.Feyana mencebik sambil menyahuti, “Tapi aku merasa kasihan pada Joshua yang sudah
“Aku malah bermaksud ingin menyingkirkan Randy di saat kontrak kerja dengannya berakhir. Aku senang kamu melakukannya lebih cepat, Dav.”Tanggapan di luar dugaan dari Feyana membuat David menganga tak percaya. Semenit kemudian ia barulah bisa mengulum senyuman karena ternyata Feyana tidak marah dan malah sejalan dengannya.“Jadi kuharap kita tak lagi bersitegang hanya karena Randy dan keluarganya. Aku muak kita bertengkar perihal mereka,” kata Feyana yang diangguki semangat oleh suaminya.“Aku akan membereskan Randy dan keluarganya agar tidak akan pernah muncul di hadapan kita lagi. Tenang saja, aku tidak bermaksud membunuh mereka, hanya saja ingin mengusir mereka dari kota ini. Jika mereka berada di tempat yang jauh, tak mungkin bisa mengganggu kita lagi,” cetus David sembari mengambil ponselnya untuk menghubungi orang suruhannya.Kening David mengerut ketika mengobrol beberapa saat dengan seseorang di telepon. Setelahnya ia memutuskan sambungan dan memberi tatapan linglung pada Feya
Feyana melihat Joshua tak berkutik mendengar pertanyaannya yang cukup menohok itu. Karena melihat pria di depannya itu hanya diam tak menyahut, Feyana yang kembali bersuara. “Aku tak sengaja melihat Randy ada di rumah sakit ini. Dia dirawat karena mengalami patah tulang dan berakhir cacat usai dioperasi. Kamu tahu apa yang membuatku merasa tersinggung? Ketika aku menghadapi keluarga Randy seorang diri demi menjaga martabatnya suamiku. Tapi aku merasa kasihan pada diriku sendiri sebab membela orang yang malah membohongiku. Kamu mengerti bagaimana bencinya aku saat kutahu bahwa David membohongiku dari keluarganya Randy? Mereka semua saling menyerangku waktu itu, dan aku diam tak berkutik dalam hati, tapi pura-pura berani pada mereka dengan membual soal ancaman untuk menakutinya.”Feyana menenggak minuman di gelasnya secara brutal dan meletakkan kembali gelasnya dengan keras sampai terdengar bunyi berdentum. Tatapan tajam menusuk Feyana yang memerah menahan amarah membuat Joshua was-was