“Terima kasih atas tawarannya, tapi aku gak minat makan semeja denganmu.” Feyana melontarkan kalimat dingin dan tajam itu begitu ringan seolah tak berarti apa-apa untuknya.Randy meringis ngilu mendengarnya lalu mengangguk sekejap dan berlalu meninggalkan Feyana yang terbengong dengan tingkahnya.Feyana mengangkat kedua bahunya tak peduli. Ia memang tidak senang dengan Randy, jadi untuk apa ia tutupi. Randy sendiri sudah tahu kalau hubungannya dengan Feyana takkan membaik meskipun bekerja di tempat yang sama.Feyana berjalan di belakang Randy dengan jarak yang terbilang cukup jauh. Tak ada yang namanya obrolan basa-basi untuk menghilangkan keheningan di antara mereka. Keadaan kantor dan seluruh lorong maupun lobi yang sepi tanpa aktivitas membuat suasana makin mencekam. Dan tiba-tiba saja lampu padam total.“YAK, LAMPUNYA MATI! JANGAN MAIN-MAIN!” pekik Feyana lantang karena terkejut sekaligus takut kegelapan.Randy yang awalnya menghentikan langkahnya karena juga terkejut dengan keada
Feyana menggebrak meja dan menatap nyalang ke arah Randy yang melotot kaget dengan aksinya barusan.“Aku anggap tak pernah mendengar apa yang barusan kamu ucapkan! Jika kamu masih terus mempengaruhiku dan melantur begini, jangan salahkan aku jika langsung memecatmu. Kamu pikir aku seperti dirimu yang mudah untuk berkhianat? Jangan samakan aku denganmu!”“Aku begitu mencintai David dan selamanya akan begitu. Jadi kuharap kamu berhenti berusaha merusak rumah tanggaku. Jika kamu masih bebal, aku takkan segan membuatmu menderita! Aku bukanlah Feyana yang dulu, yang bisa kamu injak-injak.”Feyana berdiri dan bermaksud pergi tapi saat berbalik yang dilihatnya adalah sosok suaminya yang memberinya tatapan sulit diartikan.“David—” gumam lirih Feyana sebelum berjalan mendekati suaminya yang berdiri di ambang pintu masuk.Namun belum sampai Feyana meraih tangannya, David sudah lebih dulu putar balik dan melangkah pergi. Kaki jenjang David yang membuatnya mampu melangkah lebar, sehingga meningg
Feyana menampar dengan keras pipi Randy hingga ciuman itu berhasil terputus. Napas Feyana terengah-engah, tatapan tajamnya berusaha mendominasi Randy yang sudah duduk di kursinya sambil memegangi pipinya yang terasa panas akibat ditampar.“Kamu punya otak, tidak!? Gimana bisa kamu lakuin hal gila kayak itu ke aku, hah!” bentak Feyana yang benar-benar emosi dengan kelakuan tak senonoh Randy.Feyana bermaksud keluar dari mobil namun Randy bergerak cepat untuk mencekal tangannya, menghentikan pergerakan Feyana yang diselimuti amarah.“Kamu yang memancingku lebih dulu. Kamu juga menikmati ciuman tadi. Jujur saja, kamu itu sebenarnya masih punya perasaan padaku juga, kan?” umbar Randy masih belum sadar perbuatan salahnya.“Jangan sembarangan! Aku bahkan tak mau berduaan denganmu dan sama sekali tak menikmati ciuman itu. Kamu melakukannya tanpa izinku!” sengat Feyana tak mau Randy menyalahkannya. Randy sendiri yang memang sembarangan mengambil ciuman di saat dirinya tidur.Bukannya merasa b
Keadaan canggung di antara keduanya tetap terjadi bahkan ketika akan tidur. Feyana dan David saling tidur dengan membelakangi satu sama lain. Tak ada yang memulai obrolan dan saling diam hingga Feyana mendengar dengkuran lirih dari balik tubuhnya.“Dia mudah sekali tidur, sedangkan aku malah kepikiran dan sulit memejamkan mata.” Feyana menghela napas lirih lalu bertukar posisi hingga miring menghadap wajah David yang ternyata sudah pindah posisi.Wajah damai David ketika tidur membuat Feyana tak luput untuk mengelusnya. Feyana sungguh berharap bahwa yang tadi Randy lakukan padanya itu tak pernah terjadi. Ia ingin hanya David yang bisa mencium dan menjamahnya secara bebas bukan orang lain apalagi mantan suaminya itu. Ia merutuki kebodohannya.“Harusnya aku bisa jaga kepercayaanmu, Mas. Maaf aku gagal melakukannya,” lirih Feyana yang dengan kelembutannya mengecup bibir suaminya. Di antara ciuman bibir itu, Feyana menitikkan air mata penyesalan.Feyana menjauhkan kepalanya lalu menatap D
Setengah tak percaya dengan apa yang menimpa suaminya, Feyana berulang kali limbung tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri ketika berjalan menyusuri lobi rumah sakit. Dengan dituntun Joshua yang mati-matian merendam amarahnya ketika tahu Feyana memperkerjakan Randy, keduanya sampai di depan ruang operasi.“Sudah berapa lama dia di sana?” tanya Feyana dengan suara tersendat.Semua anggota keluarga sudah ada di sana menunggui operasi selesai, hanya Feyana yang datang paling akhir. Feyana merasa sangat buruk sebagai istri yang harusnya menjadi yang pertama dan terus mendampingi David malah terlambat mengetahui kabar duka suaminya.“Hampir 6 jam, tapi belum ada tanda-tanda operasi akan usai. Kamu sendiri dari mana, Fey? Kenapa tidak bisa dihubungi sama sekali?” sahut Ibu Mertua Feyana yang terlihat pucat karena terlalu banyak menangis.Feyana menunduk malu. Ia memang sengaja mematikan daya ponselnya agar tidak ada yang mengganggu waktu sendirinya di apartemen. Dan ketika berangkat ke ka
Feyana merasakan jadi David yang dulu sangat sabar menungguinya ketika koma di rumah sakit waktu masih di penjara kala itu. Jadi, begini perasaan suaminya yang harus mengusahakan pikiran positifnya bahwa Feyana akan bangun kapan saja, entah itu selama mungkin atau dalam waktu cepat. Tak ada kepastian akan penantiannya.“Kapan kamu bangunnya, sih? Aku gak sekuat dan setegar kamu yang bisa tahan melihat aku dulu di ranjang ini tanpa pernah bisa menjawab segala pertanyaan ataupun rengekanmu yang ingin aku bangun. Aku mau kamu cepat bangun, Dav.”Feyana mengerucutkan bibirnya sambil mengelap badan David dengan kain basah. Ia melakukannya dengan hati-hati agar meskipun David tidak sadarkan diri, ia tak merasakan kesakitan.“Sudah selesai memandikannya, Fey?” tegur Joshua yang datang dari luar dan tak langsung masuk.Feyana menoleh ke arah pintu di mana Joshua berdiri di sana sembari menenteng kresek hitam. Feyana melirik ke arah David yang masih betah memejamkan mata.“Hampir selesai. Kamu
Feyana menatap nanar pada David yang terbaring koma di ranjangnya. Ia sungguh kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak mau sedikit saja mencoba mengerti David. Sakit hati yang ia timbulkan pada David membuatnya menjadi wanita paling jahat yang ia rasakan.“Maafkan atas segala sikap burukku, Dav.” Feyana menggenggam punggung tangan David yang tidak diinfus dan dikecupnya dengan lembut.“Saat kamu bangun nanti, aku pastikan akan menjadi istri yang jauh lebih perhatian dan berusaha mengutamakan dirimu di atas segalanya. Aku takkan sanggup kehilanganmu, Dav.”Lagi dan lagi, Feyana terus saja bergumam menyedihkan di sisi ranjang. Ia ingin David segera siuman dan menemaninya seperti dulu lagi. Saat sedang menyesali kesalahannya, jemari David bergerak pelan membuat atensi Feyana langsung tertuju pada kedua kelopak mata David yang mulai perlahan terbuka.Feyana buru-buru bangkit dari duduknya dan berlari keluar untuk memanggil dokter. Ia mencoba mengusap kasar air matanya yang menetes bahag
Agak ragu Sherin menyahut, “Kami satu alumni di universitas yang sama ... sekaligus mantan kekasih.”Feyana membolakan matanya dan tertawa sarkas untuk menyindir Sherin. Mantan pacar David ternyata, pantas saja David bisa ingat dirinya. Dia pikir hanya Luna saja wanita yang dekat dengan David dan tergila-gila dengannya, tapi masih ada mantannya yang lain.David merasa tak nyaman dengan sikap Feyana. Dengan sedikit membisiki Sherin yang sengaja ia keraskan suaranya agar didengar yang lain, ia menyuruh Feyana agar diusir saja. “Suruh wanita itu untuk pergi saja! Dia membuatku sakit kepala dengan sikap sarkasnya padamu, Sher.”“Dav, kok kamu ngomong gitu? Aku ini istrimu, wajar jika marah kalau kamu malah dekatnya dengan wanita lain." Feyana langsung menyalak karena kesal mendengarnya.Joshua berusaha menenangkan Feyana agar tidak menarik perhatian para pasien lain yang kini menatap ke arah mereka. “Fey, jangan buat ribut di sini! Kita keluar dulu dan bicarakan berdua hal ini.”“Aku tida
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje
Feyana dan David dalam perjalanan pulang, bersisian di dalam mobil tapi senyap sejak 15 menit yang lalu. David berulang kali menatap sebentar istrinya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Karena tak kunjung mendapat perhatian, David mengelus punggung tangan Feyana dengan sebelah tangannya yang bebas dari menyetir.“Lagi mikirin apa?”Feyana barulah menoleh padanya lalu menyengir kecil membuat David mengangkat sebelah alisnya bingung. “Soal Joshua dan Mitha, ya? Kamu kenapa ngebet banget jodohin mereka, sih? Padahal kalau dipikir-pikir yang dikatakan Joshua memang benar, kita belum terlalu kenal soal Mitha. Iya kita memang lihatnya Mitha wanita yang baik dan tidak neko-neko, tapi siapa tahu itu hanya topengnya semata.”Seperti bisa membaca apa yang sedang Feyana pikirkan, David menuturkan hal demikian dengan raut wajah tenang tanpa menunjukkan emosi apapun, itu agar Feyana juga tak merasa tersinggung.Feyana mencebik sambil menyahuti, “Tapi aku merasa kasihan pada Joshua yang sudah
“Aku malah bermaksud ingin menyingkirkan Randy di saat kontrak kerja dengannya berakhir. Aku senang kamu melakukannya lebih cepat, Dav.”Tanggapan di luar dugaan dari Feyana membuat David menganga tak percaya. Semenit kemudian ia barulah bisa mengulum senyuman karena ternyata Feyana tidak marah dan malah sejalan dengannya.“Jadi kuharap kita tak lagi bersitegang hanya karena Randy dan keluarganya. Aku muak kita bertengkar perihal mereka,” kata Feyana yang diangguki semangat oleh suaminya.“Aku akan membereskan Randy dan keluarganya agar tidak akan pernah muncul di hadapan kita lagi. Tenang saja, aku tidak bermaksud membunuh mereka, hanya saja ingin mengusir mereka dari kota ini. Jika mereka berada di tempat yang jauh, tak mungkin bisa mengganggu kita lagi,” cetus David sembari mengambil ponselnya untuk menghubungi orang suruhannya.Kening David mengerut ketika mengobrol beberapa saat dengan seseorang di telepon. Setelahnya ia memutuskan sambungan dan memberi tatapan linglung pada Feya
Feyana melihat Joshua tak berkutik mendengar pertanyaannya yang cukup menohok itu. Karena melihat pria di depannya itu hanya diam tak menyahut, Feyana yang kembali bersuara. “Aku tak sengaja melihat Randy ada di rumah sakit ini. Dia dirawat karena mengalami patah tulang dan berakhir cacat usai dioperasi. Kamu tahu apa yang membuatku merasa tersinggung? Ketika aku menghadapi keluarga Randy seorang diri demi menjaga martabatnya suamiku. Tapi aku merasa kasihan pada diriku sendiri sebab membela orang yang malah membohongiku. Kamu mengerti bagaimana bencinya aku saat kutahu bahwa David membohongiku dari keluarganya Randy? Mereka semua saling menyerangku waktu itu, dan aku diam tak berkutik dalam hati, tapi pura-pura berani pada mereka dengan membual soal ancaman untuk menakutinya.”Feyana menenggak minuman di gelasnya secara brutal dan meletakkan kembali gelasnya dengan keras sampai terdengar bunyi berdentum. Tatapan tajam menusuk Feyana yang memerah menahan amarah membuat Joshua was-was