"Buka matamu!" perintah Diaz dengan suara elan tapi menekan. Dengan perlahan Mutia membuka matanya dan menatap ke arah lelaki di depannya dengan tatapan yang sedikit takut. "Jadi ini hasilnya kamu pergi dari sisiku? menjadi seorang pelayan bar?" Mata Mutia terbelalak mendengar perkataan lelaki itu yang begitu dingin dan menekan. Jadi dia mengenalinya? "Ba ... bagaimana anda mengenali saya?" tanya Mutia dengan gugup. "Walaupun kamu menutupi seluruh tubuhmu, makan matamu juga kau tutupi, atau kau pakai jubah ninja sekalipun, bagaimana aku tidak mengenali aroma perempuan satu-satunya yang pernah kutiduri? aku bahkan sampai saat ini masih terus merindukan ingin menghirup aromamu." Bulu kuduk Mutia bergidik ketika lelaki itu menghirup rambutnya dengan kuat, bahkan lelaki itu sampai memejamkan matanya karena begitu menikmati aromanya. "Hmmm, rambutmu masih beraroma sama, aroma mawar yang membangkitkan gairahku, tubuhmu, masih beraroma susu segar," bisik lelaki itu membuat Mutia se
Sabtu siang sudah tiba, Mutia membawa pakaian satu stel dan dimasukkan ke tas ransel. Dibawah Walimar sudah menunggu dan sudah mengirim pesan. Mutia bergegas ke luar rumah, kebetulan Bu Leli yang berada di depannya juga tengah keluar rumah berbarengan. "Kamu mau keluar, Mut?" "Iya, Bu. rencananya mau nginap. Walimar mengajak saya untuk bekerja di kapal pesiar sebagai pelayan." "Kamu itu apa nggak capek? sudah bekerja di pabrik roti, akhir pekan masih bekerja juga." "Karena nenek saya sedang dirawat di rumah sakit, jadi saya butuh banyak biaya pengobatan." "Duh, kamu ini memang anak berbakti. Kalau aku punya anak laki-laki yang masih lajang akan aku jodohkan kamu. Tapi sayang akan saya sudah menikah, bagaimana kalau saya jodohkan sama pak Sultan? biar dia tidak cemberut terus, dia pasti beruntung punya istri seperti kamu." "Ah, ibu ini bercanda saja. Maaf sekali Bu, saya sudah menikah, jadi tidak bisa dijodohkan." "Loh, kamu sudah menikah? kok malah kayak gadis? suami kamu
"Ya, nyanyi dong. Sayang sekali kamu punya bakat menyanyi tapi hanya dipendam. Tunjukkan pada rekan-rekan pengusaha aku, aku punya istri bertalenta dan cantik." Pujian itu membuat Siska semakin senang, dia bahkan menyenderkan kepalanya pada lelaki di sampingnya. "Aku haus, Mas," keluh Siska. "Kalau begitu akan saya pesankan minum, Bu Siska. Anda ingin minum apa?"tanya Walimar. "Buatkan istri saya jus jambu biji biar lebih sehat. Dia sekarang sedang hamil muda, jadi tidak boleh minum atau makan sembarang." "Baik, Pak. Tunggu sebentar. Silahkan duduk dulu di meja nomor delapan, Pak. Nanti akan datang pelayan yang membawakan minuman buat ibu Siska. Apa anda akan memesan minuman juga?" "Bawakan saya anggur merah saja." "Baik, Pak." Walimar bergegas menuju stand minuman, di sana ditemukan Mutia yang sedang berjaga. "Mutia, buatkan jus jambu merah dan segelas anggur merah, bawa ke Maja nomor delapan." "Baik, Mbak." Mutia bersemangat membuat minuman tersebut. saat ini
"Aish, Kenapa selalu bertemu dengannya? Sedang apa dia di sini?!" tanya seorang lelaki memakai tuksedo warna abu-abu, baju kemeja putih dan celananya juga berwarna abu-abu. "Sepertinya dia memakai pakaian seragam pelayan, Pak." Rais yang menatap ke arah Mutia menyipitkan matanya, padahal banyak orang di sana, kenapa bos nya ini bisa langsung mendapati keberadaan Mutia di sana. Rais sebenarnya sudah tahu lama jika bosnya ini naksir berat sama Mutia, hanya saja sepertinya orang ini kebanyakan gengsi, jadi ya hanya pura-pura tidak peduli, dulu selama Mutia bekerja padanya, Lelaki itu selalu berwajah sumringah dan sering tersenyum, tetapi saat ini, jangankan tersenyum wajahnya itu bahkan seperti kulkas dua pintu, dingin tidak berekpresi. "Kenapa kamu gak mau melayani meja no 8? itu Siska Artamevia, Mut. Artis beken tanah air, loh?" tanya Walimar dengan heran. "Ceritanya panjang, Mbak. Tapi aku juga gak keberatan buat memberitahu mbak Limar garis besarnya, laki-laki yang bersama Si
Keadaan Mutia sangat menyedihkan, seluruh seragamnya basah. Walimar langsung membawa Mutia ke kamar tempat mereka menginap. "Cepat bersihkan tubuhmu, Mutia. Mbak ambilkan seragam baru. Sudah itu cepat ke tempat acara, nanti Bu Dianty nyariin." "Baik, Mbak." Mutia langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersikan diri. Rambut dan baju serta tubuhnya sangat lengket karena ketumpahan minuman manis dari berbagai macam minuman, saat itu dia tengah membawa enam gelas minuman berbagai jenis. Ketika keluar kamar mandi, di sana sudah ada baju seragam yang dilipat sangat rapi. Juga sebuah hair dryer di atas meja rias. Kapal tampak bergoyang sedikit, mungkin kapal sudah melaju ke tengah laut, sepertinya akan mengitari Kepulauan di sekitar ibu kota dan akan kembali lagi di pagi hari besok. Karena ternyata malam hari ini adalah puncaknya pesta, para pengusaha akan terus berinteraksi dan membangun relasi diantara mereka. Ketika keluar dari kamar dan menuju tempat acara, hingar bingar pesta
Mutia sekarang membantu koki mengisi tempat prasmanan yang sudah tinggal sedikit, wanita itu bekerja dengan rajin, sementara lelaki yang duduk di hadapan dirjen itu selalu menatapnya ke arah wanita itu, sepertinya lelaki itu juga belum mengambil makanan sama sekali. "Pak Diaz, anda tidak makan malam?" tanya pak dirjen itu. "Sebentar, Pak. Masih ramai," jawab Diaz. "Apa saya ambilkan, Pak? Anda mau lauk apa?" tanya Rais. "Biar aku mengambil sendiri." "Kalau begitu saya ambil makanan dulu ya, Pak." Rais bangkit menuju meja prasmanan. Dia mengambil piring dan sendok yang tersedia di sana, dengan berjalan perlahan, dia memperhatikan makanan yang tersedia di sana, semua sepertinya enak-enak, dia jadi ingin mencicipi semuanya. Dengan semangat Rais memang mengambil semua makanan yang tersedia walaupun itu hanya sedikit-sedikit, lelaki itu juga mengambil puding dan minuman jus segar, membawanya pakai nampan yang disediakan menuju mejanya. Dia sengaja mengambil semua sampel makan
Restauran sudah tampak sepi, Mutia dan beberapa pelayan bertugas membereskan meja prasmanan, sepertinya tidak akan ada lagi orang yang makan malam, lagipula makanan di tempat prasmanan tinggal sedikit, itu adalah jatah para pelayan, mereka bisa makan dengan makanan sisa itu, di tempat penyimpanan bahan makanan juga masih ada stok makanan, para pelayan biasanya akan makan dari sana. "Mutia, makan dulu baru beresin. Ayo kita makan di ruang penyimpanan," ajak Walimar. "Aku mau makan di sini saja, Mbak. Masih ada sisa di sini, sayang kalau gak dimakan." "Ya Udah, kalau begitu aku mau makan di sana. Makannya harus cepat, ya. Tugas kita masih banyak." "Baik, Mbak." Ketika Mutia sibuk mengambil makanan ke piring, tiba-tiba ada suara deheman dari belakang, sontak wanita itu menoleh. Tidak disangka tubuh tinggi besar itu sudah melingkupi dirinya. "Aku mau makan, ambilkan aku makanan!" perintahnya. "Memangnya Bapak belum makan? saya lihat anda dari tadi duduk di sana." "Tadi aku
Diaz menghela napas mendengar perkataan Mutia. Kalau mendengar alasan Mutia menolaknya sebenarnya gampang saja solusinya, kenapa dia begitu berat mau menjalaninya, mungkin karena Diaz sudah begitu trauma selama ini. "Kalau begitu, ayo kita nikah! kamu cuma tidak mau melakukan perbuatan haram, kan? ayo kita nikah! aku mau melakukannya hanya dengan kamu, jadi kamu harus menjadi istriku!" Mutia terperangah mendengar perkataan lelaki itu yang begitu serius. Napas lelaki itu bahkan tampak tersengal karena terbawa emosi yang menggebu. Ya, sebenarnya Diaz sedikit dilema dengan perasaannya sendiri. Bagaimana dia selama ini menganggap bahwa pernikahan hanya sebuah bencana, pernikahan adalah penjara dan penyiksaan lahir batin bagi sepasang suami istri. Bukan apa, itu disebabkan karena pernikahan ayah dan ibunya yang seperti neraka. Dengan mata kepalanya sendiri Diaz menyaksikan bagaimana ibunya melompat dari sebuah gedung di Singapura ketika dia berobat di negeri singa tersebut. Luka fi