Mutia sudah pindah dan membersihkan rumah sederhana itu dengan seksama. Setelah semua bersih, dia bermaksud untuk membeli bahan makanan di luar, ketika di lantai dasar, dia bertemu Walimar dan berbincang dengannya. "Mutia, kamu sudah pindah?" "Tadi pagi langsung pindah, Mbak. Mbak mau ke mana?" "Kamu kerja, kamu tahu sendiri aku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku." "Sekarang mbak mau kerja ke mana?" "Mau ke mall, kalau pagi aku bekerja sebagai SPG di showroom mobil, sekarang di mall sedang ada pameran, jadi aku ke sana. Kalau malam aku berkerja part time di beberapa tempat, kalau Senin sampai Jumat di restauran jadi tukang cuci piring, kalau malam Sabtu dan Minggu ke night club menjadi pelayan di sana." "Wah, banyak banget pekerjaan mbak Walimar, apa tidak capek, Mbak?" "Demi anak-anak tidak ada kata lelah. Kamu sendiri bekerja di mana, Mut?" "Masih nganggur, Mbak. Kemarin baru resign dari pekerjaan karena bos nya itu genit banget, saya takut."
"Bukannya tidak tertarik, Mut. Tapi akunya yang tidak menarik. Aku ini hanya wanita tua yang jelek dan tidak menjual." "Mbak Walimar masih cantik, kok." "Tapi perempuan penghibur itu jauh lebih cantik, mereka bahkan masih muda-muda belia." "Oh ya?" Mutia yang belum pernah sekalipun kelayapan sampai ditempat hiburan malam seperti ini benar-benar tidak paham dengan situasi. Dia terus memperhatikan sekelilingnya dan mempelajari keadaan tempat itu. Ketika jam menunjukan pukul enam sore, wanita-wanita muda dan cantik dengan busana yang kurang bahan berbondong-bondong memasuki night club. Mutia sangat takjub melihat kecantikan para wanita muda itu, kulitnya begitu putih terawat, wajahnya glowing dan rambutnya juga di tata dengan apik, pasti perawatan mereka sangat mahal untuk mendapatkan penampilan se-perfeck itu. "Lihat mereka, cantik-cantik dan muda-muda, sangat cocok untuk menjadi sugar baby om-om berduit," ujar Walimar. "Ayo kita beraksi, Bos Brian pasti sudah misuh-misuh
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dua orang pria masuk ke sana. "Kamu mau berpesta tanpa menunggu kami dulu?" Suara seorang dua orang pria yang datang ke dalam ruang VIP tersebut. Salah satunya langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk, semntara yang satunya masih berdiri. Mutia yang sibuk memindahkan makanan ke atas meja, tidak terlalu memperhatikan siapa pelanggan yang baru saja masuk. "Duduk lah, Yas. Kenapa cuma berdiri di situ saja?" Mutia yang kini berdiri akan keluar dari ruangan, tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan pria berdiri tadi, mereka bersamaan akan berjalan ke arah berhadapan, sehingga tabrakan tidak bisa dihindari. "Auh!" Hampir saja Mutia berteriak karena tubuhnya hampir limbung, tiba-tiba tubuh wanita itu tertahan tatkala pinggangnya di tahan oleh lengan kekar dengan erat. Mutia terkejut hingga tubuhnya menegang dan matanya membelalak ketika menyadari siapa lelaki yang kini tengah memeluk pinggangnya. Bagaimana tidak terkejut? orang ini adala
Mutia tidak bisa membantah perkataan manager Brian, dia butuh uang dan pekerjaan. Terpaksa dia menuruti nya. hanya saja dia akan lebih berhati-hati, dia sudah melangkah sejauh ini tentu tidak ingin kembali ke star awal hanya untuk dipermainkan oleh Diaz. Dengan membawa nampan, Mutia menaiki tangga ke lantai atas. Sungguh sial nasibnya, ketika mau ke lantai atas, dia ditabrak seseorang yang turun ke bawah dengan tergesa-gesa. Minuman yang dibawanya tumpah semua di lantai, bahkan botol wiski itu pecah berkeping-keping, mengeluarkan cairan yang membasahi lantai. "Hei, kalau jalan pake mata!" hardik lelaki itu Mata Mutia melotot melihat siapa yang berdiri di hadapannya, dia adalah lelaki yang masih jadi suaminya. "Anda yang salah kenapa malah menyalahkan saya?" ujar Mutia tidak terima, dia bertekad untuk saat ini dan seterusnya dia akan melawan lelaki ini. "Enak saja pelayan rendah seperti kamu menyalahkan saya? siapa kamu berani-beraninya!" bentak lelaki itu. Tentu saja kon
Mutia dengan buru-buru mengambil alat-alat kebersihan, setelah membersihkan bekas kaca dan mengepel lantainya, dia dengan buru-buru membawa pesanan ke ruang VIP nomor tiga Sekarang dia harus waspada, walaupun jalannya sedikit cepat, dia harus menghindari orang-orang yang berpapasan dengannya agar tidak terjadi insiden yang sama. Ketika dia sudah masuk ke ruang VIP, dia mengedarkan pandangan, semua lelaki di sana memeluk wanita penghibur, bahkan Evan sudah menggerayangi wanita tersebut, menciumi bahkan tangannya sudah berada di dada wanita itu. Tetapi pandangannya menyipit ketika melihat Diaz hanya duduk sendiri, tidak ada satu wanita penghibur di sana, lelaki itu malah asyik bermain ponsel. Salah seorang wanita sedang bernyanyi, nyanyiannya juga jenis lagi yang sangat menggoda dan membangkitkan gairah, lagu berjudul 'mari bercinta' itu bahkan dinyanyikan dengan suara-suara desahan. Mutia melangkah dengan pelan dan sedikit ragu, dia menuju ke meja untuk menghidangkan semua menu te
"Buka matamu!" perintah Diaz dengan suara elan tapi menekan. Dengan perlahan Mutia membuka matanya dan menatap ke arah lelaki di depannya dengan tatapan yang sedikit takut. "Jadi ini hasilnya kamu pergi dari sisiku? menjadi seorang pelayan bar?" Mata Mutia terbelalak mendengar perkataan lelaki itu yang begitu dingin dan menekan. Jadi dia mengenalinya? "Ba ... bagaimana anda mengenali saya?" tanya Mutia dengan gugup. "Walaupun kamu menutupi seluruh tubuhmu, makan matamu juga kau tutupi, atau kau pakai jubah ninja sekalipun, bagaimana aku tidak mengenali aroma perempuan satu-satunya yang pernah kutiduri? aku bahkan sampai saat ini masih terus merindukan ingin menghirup aromamu." Bulu kuduk Mutia bergidik ketika lelaki itu menghirup rambutnya dengan kuat, bahkan lelaki itu sampai memejamkan matanya karena begitu menikmati aromanya. "Hmmm, rambutmu masih beraroma sama, aroma mawar yang membangkitkan gairahku, tubuhmu, masih beraroma susu segar," bisik lelaki itu membuat Mutia se
Sabtu siang sudah tiba, Mutia membawa pakaian satu stel dan dimasukkan ke tas ransel. Dibawah Walimar sudah menunggu dan sudah mengirim pesan. Mutia bergegas ke luar rumah, kebetulan Bu Leli yang berada di depannya juga tengah keluar rumah berbarengan. "Kamu mau keluar, Mut?" "Iya, Bu. rencananya mau nginap. Walimar mengajak saya untuk bekerja di kapal pesiar sebagai pelayan." "Kamu itu apa nggak capek? sudah bekerja di pabrik roti, akhir pekan masih bekerja juga." "Karena nenek saya sedang dirawat di rumah sakit, jadi saya butuh banyak biaya pengobatan." "Duh, kamu ini memang anak berbakti. Kalau aku punya anak laki-laki yang masih lajang akan aku jodohkan kamu. Tapi sayang akan saya sudah menikah, bagaimana kalau saya jodohkan sama pak Sultan? biar dia tidak cemberut terus, dia pasti beruntung punya istri seperti kamu." "Ah, ibu ini bercanda saja. Maaf sekali Bu, saya sudah menikah, jadi tidak bisa dijodohkan." "Loh, kamu sudah menikah? kok malah kayak gadis? suami kamu
"Ya, nyanyi dong. Sayang sekali kamu punya bakat menyanyi tapi hanya dipendam. Tunjukkan pada rekan-rekan pengusaha aku, aku punya istri bertalenta dan cantik." Pujian itu membuat Siska semakin senang, dia bahkan menyenderkan kepalanya pada lelaki di sampingnya. "Aku haus, Mas," keluh Siska. "Kalau begitu akan saya pesankan minum, Bu Siska. Anda ingin minum apa?"tanya Walimar. "Buatkan istri saya jus jambu biji biar lebih sehat. Dia sekarang sedang hamil muda, jadi tidak boleh minum atau makan sembarang." "Baik, Pak. Tunggu sebentar. Silahkan duduk dulu di meja nomor delapan, Pak. Nanti akan datang pelayan yang membawakan minuman buat ibu Siska. Apa anda akan memesan minuman juga?" "Bawakan saya anggur merah saja." "Baik, Pak." Walimar bergegas menuju stand minuman, di sana ditemukan Mutia yang sedang berjaga. "Mutia, buatkan jus jambu merah dan segelas anggur merah, bawa ke Maja nomor delapan." "Baik, Mbak." Mutia bersemangat membuat minuman tersebut. saat ini
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me