"Kak Diaz, minum dulu. Ini aku bawakan air putih," ujar Evita sambil menyerahkan segelas air putih ditangannya. "Aku tidak minum air seperti itu, aku hanya meminum air mineral dari merk khusus. Jadi tidak usah repot-repot." Perkataan Diaz jelas membuat Evita kecewa. Kenapa tidak ngomong dari tadi kalau maunya air mineral. Tangan Evita yang menggantung itu akhirnya ditarik kembali sambil menghela napas kesal. "Sabar," bisik Reni. Wanita paruh baya tersebut tentu tidak ingin membuang kesempatan untuk memiliki menantu seperti Diaz. Akhirnya Evita tersenyum kembali, selama ini dia memang belum menemukan lelaki setampan dan sehebat Diaz, hanya Diaz yang paling hebat. "Tenang, Ma. Aku akan bersabar." "Bagus." Setelah melihat dokumen telah lengkap, Diaz menaruh berkas tersebut di atas meja. Lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya pada keluarga tersebut. "Baiklah, Pak Hilman. Saya sudah membaca semua berkasnya, berapa pak Hilman akan menjual tanah tersebut?" tanya Diaz
Mobil yang dikendarai supir melaju dengan mulus di jalan aspal, lelaki di sebelah Mutia hanya sibuk menatap iPad nya dan mengutak-atik benda itu. Sementara Mutia menyandarkan kepalanya di pintu mobil sambil memandang keluar jendela. Raut wajahnya masih sedih, sebenarnya memang sedih, dia tak tahu ke mana lagi akan mencari uang buat membayar biaya rumah sakit neneknya. sebenarnya, diam-diam Diaz selalu memperhatikan wanita di sebelahnya, bahkan dia ingin sekali merengkuh tubuh wanita itu hingga kesedihan di wajahnya berkurang. Bagaimana wanita ini hidup selama ini, bersama keluarga yang tidak peduli padanya. Diaz bukannya tidak tahu, dia sudah banyak tahu tentang kehidupan Mutia. Bahkan tanah yang akan dibelinya kini, dulu atas nama siapa lelaki itu juga tahu. "Mau ke mana sekarang, Pak?" tanya Rais. "Langsung pulang!" Mobilpun melaju ke arah apartemen, setelah sampai, mobil berhenti di carport depan lobi, tidak langsung masuk ke basemen. "Turun!" Kata perintah dari Diaz mem
"Aku tidak menderita diabetes." "Tapi anda mengatakan punya riwayat diabetes." "Kau melihat aku ada di rumah pamanmu?" "Ya." "Apa yang kau dapatkan setelah mendapat tamparan dan tendangan di sana?" Mutia menghela napas berat, bawang dan cabai yang baru saja diiris membuat matanya perih, membuat hatinya juga bertambah perih. Sehingga memperlancar air matanya mengalir, dengan cepat wanita itu menghapus air matanya memakai tangan, tetapi karena tangannya juga habis memegang bawang, jadi matanya bertambah perih. Melihat itu Diaz tidak bisa tinggal diam. Lelaki itu langsung datang menghampirinya. Memeluknya dengan posesif, membuat Mutia terkejut dan berusaha memberontak. Dengan tangan panjangnya, lelaki itu mudah sekali meriah tissue di atas bufet. Mengambilnya secara sembarangan dan mengusap mata wanita itu dengan lembut. Tak lupa juga mengusap pipinya yang terlihat bengkak. "Apa masih sakit?" tanya lelaki itu dengan suara lembut. "Nggak lagi." "Harus dikompres air hanga
Semalaman Mutia tidak bisa tidur, dia terus memikirkan kondisi neneknya. Hanya neneknya yang dia punya di dunia ini, sebisa mungkin dia harus memperjuangkan kehidupan wanita tua itu. Pagi itu, suara telepon terus berdering. Ini sudah jam setengah tujuh lagi. Mutia juga tidak beranjak dari tempat tidur setelah selesai salat subuh tadi. Mutia dengan malas menatap layar telepon, dia sungguh tidak ingin menerima telepon dari bosnya itu, lelaki yang benar-benar tidak menghargai perempuan, apa bedanya dia dengan Tommy? Semakin di diamkan, suara ponsel itu semakin berdering dengan tanpa jedah. Akhirnya demi ketentraman dirinya, dia terpaksa mengangkat ponselnya. "Ini sudah jam berapa? kenapa tidak menyiapkan keperluanku? sarapanku?!" teriak lelaki dari seberang. "Maaf, Pak Diaz. Mulai hari ini saya akan resign." "Apa?! Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? kau mau resign? kau sudah tahu konsekuensinya? Kau akan didenda dua miliyar, kau paham itu?!" teriak lelaki itu dengan t
Pagi itu Mutia memang memutuskan tidak pergi ke kantor juga tidak ke apartemen Diaz. Dia tidak mau menjadi lebih rusak lagi, baginya kejadian malam itu sudah cukup membuatnya merasa bersalah dan berdosa. Pagi itu dia memutuskan untuk memasukkan lamaran ke tempat kerja Tasya, sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang transfortasi publik. Ada lowongan untuk satu orang staf administrasi dan operator. Sesuai jurusan, Mutia melamar di staf administrasi. Ternyata banyak sekali pelamar yang sudah datang, padahal banyak juga yang mendaftar via online. Hal itu membuat Mutia pesimis akan mendapatkan pekerjaan di tempat ini, karena banyak juga lulusan universitas terbaik yang ikut melamar. Sebenarnya gaji sebagai administrasi kantor juga tidak banyak, gaji pokoknya hanya empat juta ditambah tunjangan kinerja menjadi tujuh juta. Sementara bekerja di perusahaan Diaz bisa bergaji lima belas juta. Tapi apa mau dikata, ternyata selama ini Mutia merasa dijebak. Karena ternyata apartemen ya
Sore harinya, Mutia langsung mengutarakan kepindahannya pada Tasya. Gadis itu hanya mengangguk saja, sepertinya tidak cemas sama sekali. "Aku sudah punya tempat tinggal. Sudah lama aku mencari kontrakan dan ternyata dekat dengan tempat kerjaku. Jadi kamu jangan kuatir tentang aku. Aku juga bisa tinggal di mess karyawan kalau mendesak. Besok pagi aku juga akan pergi, aku bahkan sudah berkemas sejak kemarin," ujar Tasya membuat Mutia sedikit lega. "Oke, besok aku akan mampir ke tempat tinggal kamu, Sya." "Besok cari kerja lagi di tempat lain, siapa yang cepat dipanggil itu yang kamu ambil." "Iya, aku sudah memasukkan lamaran ke tiga perusahaan, tetapi belum juga dipanggil. Aku sih pesimis, sepertinya aku sudah diblacklist juga di sana." Keesokan harinya, Mutia sudah mengepak pakaiannya di koper. Dia tidak akan membawa barang apapun dari apartemen ini selain pakaian yang dia bawa dulu. Pagi-pagi sekali Tasya juga sudah pergi sambil menyeret kopernya menaiki taksi online. Entah
Mutia sudah pindah dan membersihkan rumah sederhana itu dengan seksama. Setelah semua bersih, dia bermaksud untuk membeli bahan makanan di luar, ketika di lantai dasar, dia bertemu Walimar dan berbincang dengannya. "Mutia, kamu sudah pindah?" "Tadi pagi langsung pindah, Mbak. Mbak mau ke mana?" "Kamu kerja, kamu tahu sendiri aku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku." "Sekarang mbak mau kerja ke mana?" "Mau ke mall, kalau pagi aku bekerja sebagai SPG di showroom mobil, sekarang di mall sedang ada pameran, jadi aku ke sana. Kalau malam aku berkerja part time di beberapa tempat, kalau Senin sampai Jumat di restauran jadi tukang cuci piring, kalau malam Sabtu dan Minggu ke night club menjadi pelayan di sana." "Wah, banyak banget pekerjaan mbak Walimar, apa tidak capek, Mbak?" "Demi anak-anak tidak ada kata lelah. Kamu sendiri bekerja di mana, Mut?" "Masih nganggur, Mbak. Kemarin baru resign dari pekerjaan karena bos nya itu genit banget, saya takut."
"Bukannya tidak tertarik, Mut. Tapi akunya yang tidak menarik. Aku ini hanya wanita tua yang jelek dan tidak menjual." "Mbak Walimar masih cantik, kok." "Tapi perempuan penghibur itu jauh lebih cantik, mereka bahkan masih muda-muda belia." "Oh ya?" Mutia yang belum pernah sekalipun kelayapan sampai ditempat hiburan malam seperti ini benar-benar tidak paham dengan situasi. Dia terus memperhatikan sekelilingnya dan mempelajari keadaan tempat itu. Ketika jam menunjukan pukul enam sore, wanita-wanita muda dan cantik dengan busana yang kurang bahan berbondong-bondong memasuki night club. Mutia sangat takjub melihat kecantikan para wanita muda itu, kulitnya begitu putih terawat, wajahnya glowing dan rambutnya juga di tata dengan apik, pasti perawatan mereka sangat mahal untuk mendapatkan penampilan se-perfeck itu. "Lihat mereka, cantik-cantik dan muda-muda, sangat cocok untuk menjadi sugar baby om-om berduit," ujar Walimar. "Ayo kita beraksi, Bos Brian pasti sudah misuh-misuh