Bukannya aku pesimis aku hanya takut tak bisa secepatnya memberikan keturunan untuk keluarga ini. Walaupun hasil pemeriksaan beberapa dokter semuanya mengatakan aku sehat. Kalau aku lihat, Mama Maya dan Papa Hendra dari sudut netra mereka sangat terlihat jelas, mereka begitu mengidamkan kehadiran cucu. *"Sayang kamu kenapa? Kok sejak tadi kayaknya banyak diam?" tanya Mas Raffi. Saat ini kami tengah mengemasi barang-barang kami, akan check out dari hotel, dan malam ini juga kami akan terbang ke pulau Dewata Bali."Aku nggak apa-apa Mas.""Kamu capek? Kalau kamu capek, kita bisa ambil penerbangan besok pagi aja," ucapnya lagi."Oh, enggak kok. Aku nggak apa-apa. Terbang malam ini pun oke."Kami pun sama-sama berkemas memastikan semua barang milik kami berdua sudah semuanya masuk ke dalam koper.Setelah semuanya selesai kami langsung turun, di bawah Papa dan Mama sudah menunggu di lobby."Sudah siap pulang siang ini?""Sudah Ma," sahutku."Nggak ada yang ketinggalan kan?""Nggak ada,
"Sini kamu! Silakan pergi dari sini!" Raffi menarik kuat lengan Siena, dan menyeretnya hingga keluar pintu depan."Ngapain sih kesini, cuma bikin onar! Sudah berapa kali aku bilang, kita sudah selesai! Nggak ada lagi yang harus di bahas! Aku sudah nikah, dan aku mohon kamu jangan ganggu hidupku lagi!" sentak Mas Raffi seraya menghempaskan dengan kasar tubuh Siena."Tega kamu Fi! Kamu tega! Kamu lupa dengan semua yang pernah kita lakukan! Bahkan kamu dulu sangat memujaku. Aku yakin pernikahan kamu dengan perempuan sok suci itu pasti hanya pelarian semata kan? Aku tahu di hati kamu hanya ada aku kan Fi?! Ayolah, sekarang aku sadar, aku datang untuk kembali sama kamu, aku mau kita sama-sama lagi kayak dulu, ayolah Fi, aku janji nggak akan mengulangi kesalahanku. Aku minta maaf, aku khilaf. Sekarang laki-laki yang aku cintai hanya kamu seorang Raffi! Aku cinta kamu Sayang."Aku menajamkan pendengaran dan melihat wanita itu dengan penuh drama menarik simpati Mas Raffi.Benar-benar sudah gi
"Indah banget ya Mas, pemandangannya.""Iya."Salah satu bukti kebesaran Allah, yang menciptakan semua pemandangan yang memukau, bak di dalam lukisan. Sangat indah.Lautan lepas berwarna biru, debur ombak bersahutan, membuat siapapun akan betah berlama-lama di sini, menatap birunya lautan bersamaan dengan semilir angin yang berhembus mengibarkan hijab berwarna abu-abu yang kukenakan.Aku menatap ke bawah, kakiku yang basah oleh air laut karena terbawa ombak, lalu kemudian surut dan disusul lagi oleh ombak yang lain. Begitu terus hingga pasir putih yang lembut dibawah telapak kaki, perlahan makin membenamkan kakiku di bawah sana.Pelan kurasakan satu tangan Mas Raffi merangkul pundakku, kami sama-sama menikmati indahnya ia panorama alam yang begitu indah. Menatap jauh hamparan laut yang luas berpadu dengan birunya langit cerah pagi ini.Lalu Mas Raffi menggandeng tanganku, mengajakku berjalan di sepanjang bibir pantai, menikmati setiap detik waktu yang kelak akan menjadi sebuah memori
"Oh Tuhan, siapa lagi ini?" Aku mengusap wajahku, kemudian menatap wajah suamiku yang masih terlelap dalam damainya.Semoga saja dia bukan siapa-siapa.Aku masih sibuk dengan pikiranku, ketika tiba-tiba Mas Raffi menggeliat, perlahan matanya terbuka dan menatapku yang berada di sebelahnya dengan ponsel miliknya berada dalam genggamanku"Sayang, kamu lagi ngapain?" Ia sedikit terkejut."Enggak ngapa-ngapain. Cuma mau lihat-lihat foto-foto kita tadi di pantai." Aku mengukir senyum untuknya."Oh. Astaghfirullah! Aku belum salat salat dhuhur, jam berapa sekarang?" "Jam dua siang. Salat dulu Mas.""Kamu udah?" tanyanya."Udah, tadi kamu tidur pules banget, aku jadi nggak tega mau bangunin jadi aku salat duluan tadi.""Ya udah nggak apa-apa. Mas mau salat dulu."Ia pun bangun dan berjalan ke kamar mandi.Aku meletakkan kembali ponsel miliknya di atas nakas, biarlah nanti setelah Mas Raffi salat, aku baru akan menanyakan soal wanita yang mengirim pesan padanya.Aku merebahkan tubuhku di pem
Bab "Ingatan tentang Lidia tetap ada di sini. Dulu kami saling mencintai, namun ternyata dia sudah di jodohkan dengan seseorang oleh kedua orangtuanya sejak ia kecil. Istilah yang biasa orang sebut Kawin gantung. Saat orang tuanya tahu kami berpacaran masa SMA itu, mereka marah, dan melarang Lidia untuk bertemu denganku. Tapi cinta yang tumbuh diantara kami, sepertinya sangat kuat, Aku dan Lidia bahkan nekat mencuri waktu untuk bertemu saat jam sekolah berakhir. Sampai pada puncaknya, Orang tuanya langsung mendatangiku untuk tak lagi menemui Lidia, dan sejak saat itu, Lidia dipindahkan ke sekolah lain."Aku terkesiap mendengar cerita yang di ungkapkan oleh laki-laki yang beberapa hari lalu telah sah menjadi suamiku."Aku kira setelah lama tak berjumpa dengannya aku akan lupa tentangnya. Ternyata aku salah. Hampir satu tahun aku dekat dengan Siena ternyata semua itu tak mampu mengikis rasaku pada Lidia."Aku tercekat hingga tanpa sadar netraku berkaca-kaca menatap wajah laki-laki data
Sebuah kalung emas dengan liontin diamond yang berkilau, begitu indah, seketika membuatku netraku membeliak, karena terkejut bahagia bercampur haru, semuanya jadi satu.Model rantai kalungnya yang tipis dengan sebuah liontin berlian, sangat simpel namun begitu anggun dan elegan.Aku menatapnya dengan senyum merekah di bibir."Spesial aku memesan hadiah ini untukmu, anggap saja hadiah pertama dariku untuk istriku.""Masya Allah Mas, ini indah sekali. Terimakasih Mas." Ia mengangguk tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya menyingkap sedikit hijabku dan memakaikannya di leherku.Untung saja makan malam spesial ini, tempat ini memang di sediakan khusus untuk kami berdua jadi tak ada pengunjung lain yang duduk di area ini. Jadi aman."Nah, cantik. Secantik orangnya.""Ah masak, makasih ya.""Ya. Aku suka melihatmu tersenyum." Ia meraih jemariku dan mendekatkan pada bibirnya. Mengecupnya cukup lama.Selesai makan kami sejenak menikmati suasana malam dari sini, pemandangan alam di bawah k
"Lidia," ucap Mas Raffi pada wanita itu."Raffi," gumamnya pelan.Ternyata Alina, gadis kecil cantik jelita ini adalah anaknya Lidia, wanita yang pernah menjadi ratu di hati suamiku, meski itu di masa lalunya."Ekhem!" Aku sengaja berdehem setelah beberapa saat mereka bersitatap. Keduanya langsung menoleh menyadari ada sesuatu."Ehm, Alina, sini Sayang," ucap Lidia lembut pada Putrinya."Mas Raffi kamu apa kabar?"Terlihat sekali suasana canggung diantara keduanya.Aku yang tadinya merendahkan tubuhku dengan Alina kini kembali berdiri tegap di sebelah Mas Raffi."Aku baik, oh ya, Lidia, kenalkan ini Putri, Istriku," ucap Mas Raffi seraya merangkul bahuku."Oh, ya. Saya Lidia, saya ....""Lidia ini teman SMA-ku dulu, Sayang," ucap Mas Raffi. Aku pun mengulas senyum padanya dan meraih uluran tangannya, kami berjabat tangan."Putri, aku senang bisa berkenalan denganmu Lidia.""Ah ya, sama. Nggak nyangka ya setelah sekian lama kita tak berjumpa, kita justru tak sengaja bertemu di sini. Ap
Sampai di Bandara Jakarta, kami sudah di jemput oleh Yanto untuk langsung pulang ke rumah Mama Maya."Alhamdulillah yang abis bulan madu sudah pulang, gimana? Seru? Lancar nggak?" Baru saja kami mendaratkan tubuh di sofa, sudah di berondong pertanyaan oleh Mama Maya."Alhamdulillah Ma," sahutku."Mama, anak baru pulang kok langsung di tanyain macam-macam. Biarlah mereka istirahat dulu, makan dulu, baru ngobrol dan tanya," tegur Papa."Ya Mama kan penasaran aja Pa.""Ya, yang pasti seru lah, Mama kayak nggak pernah ngerasain bulan madu aja.""Ya kalau kita kan udh lama banget dulu Pa, ya jelas beda lah," cetus Mama."Apa perlu kita bulan madu kedua? mumpung anak sudah married, jadi sudah tenang. Kita yang tua juga ndak kalah romantisnya sama yang muda, ya nggak Ma," ucap Papa, membuat aku dan Mas Raffi seketika saling pandang."Papa serius?" ucap Mama langsung antusias."Ya serius lah, kapan sih Papa pernah nggak serius sama Mama. Mau nggak?""Ya mau dong Pa. Ayok! Udah lama juga kita