Tyas Pov. "Tyas, kamu ini apa-apaan? Kau bisa menyuruh sekretarismu untuk memperbaiki ini semua. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan daripada harus mengurusi masalah tentang laporan, dan hal remeh temeh begini!" Mas Iqbal tak terima, dan ia melempar kembali beberapa berkas yang tadi kuberikan padanya. Seketika aku menatapnya tajam. Konyol memang, untuk hal sekecil itu, masak iya harus berulang kali diperbaiki. "Nggak! Aku maunya kamu yang kerjain ini, kamu sendiri yang membuat ini, tanggung jawab dong! Ambil kembali semua itu atau kau akan tanggung akibatnya membangkang pada atasan!" tegasku. Mas Iqbal pun mau tak mau meraih kembali semua berkas itu. Makanya Mas, mulai sekarang biasakan kerja yang baik, rapi, karena aku akan langsung menegur. Aku sengaja sering memberinya tugas tambahan, lalu jika hasil kerjanya tidak sesuai, maka aku akan memintanya untuk memperbaikinya. Bukankah itu sangat wajar ketika pekerjaan kita kurang baik, ya sudah sepatutnya kita memperba
Memang benar apa yang Papa katakan, aku bisa saja memecat dia sekarang juga, tapi aku rasa tidak etis rasanya memecat seseorang tanpa alasan apapun.Bagaimana pun aku adalah pemimpin perusahaan, ke depan sepak terjangkau akan selalu jadi sorotan, di mata klien, juga di mata para karyawan lainnya."Iya Pa, nanti aku pikirkan caranya untuk bisa memecat dia dari kantor." Papa mengaguk paham."Kita bisa lihat, apa dia masih bisa tersenyum bangga tanpa pekerjaannya?" "Papa benar, dan Tyas pun ingin lihat bagaimana reaksi Bu Wina, apa dia masih bisa berbangga saat putranya tak punya apa-apa lagi."Aku teringat betapa ibu sangat bangga dengan pencapaian yang di raih Iqbal, padahal itu semua karena ada campur tanganku."Iqbal tanpa kamu, dia bukan siapa-siapa, ingat itu."Aku mengangguk paham."Sore ini Papa ingin ketemu sama Abi, ada hal yang ingin Papa bicarakan, kamu mau ikut?" tanya Papa. "Kayaknya nggak deh Pa, Tyas pengin istirahat, hari ini rasanya capek sekali." Aku menolak karena m
"Sayang kamu nggak apa-apa? Apanya yang sakit?" Tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki, terdengar memecah keheningan. Suaranya seperti tak asing bagiku."Bapak!" Aku terpekik kaget melihat laki-laki itu datang menghampiri Bu Maryam. Seketika keduanya menoleh."Tyas!" Bu Maryam menatapku dan Bapak bergantian."Kalian saling kenal?""Dia menantuku, Sayang. Istrinya Iqbal."Bu Maryam terperangah. Ternyata Bu Maryam ini istri mudanya Bapak. Kenapa dunia ini sesempit ini."Jadi, Bu Maryam ini ....""Iya Yas, dia perempuan yang Bapak nikahi. Kamu lihat kan, bagaimana perbedaan Maryam dengan Wina? Mereka bagai langit dan bumi. Maryam adalah perempuan sabar, dan dia sangat menghormati Bapak. Bapak merasa lebih tenang di sini. Walau hadirnya sering di cap sebagai orang ketiga, tapi Bapak nggak peduli itu. Semua terjadi karena Wina tak kunjung berubah, di otak dia yang ada hanya uang, dan harta. Hingga mengabaikan kewajibannya terhadapku."Bapak berkata sambil menatap lurus ke depan. Padah
"Buka!"Dug! Dug! Dug! "Buka!" teriaknya.Keringat dingin sudah membanjiri sekujur tubuhku, jangankan untuk membuka pintu mobil, untuk napas saja rasanya ini sangat sulit, Ya Allah lindungilah hamba."Buka! Atau akan kami pecahkan kaca mobil ini!" teriaknya lagi.Aku segera membuka ponselku dengan tangan bergetar, dan menelpon siapa saja di sana, namun Si4l! ponselku justru terjatuh. Benar-benar Sial! Tanganku bergetar hebat, mengakibatkan ponsel jatuh dari genggaman.Aku menoleh laki-laki itu, dia melotot menatapku, mengisyaratkan untuk tidak melakukan panggilan telepon pada siapapun atau aku akan di bu nuh olehnya, Terlihat ia menggerakkan tangan di bawah dagu.Aku menelan Saliva dengan susah payah."Buka!" pintanya lagi.Ya Allah apa aku harus membukanya? Bukankah ini justru akan membahayakan nyawaku? Setelah aku pikir-pikir, mungkin lebih baik aku membukanya, berharap ada orang yang lewat, dan aku bisa berteriak meminta tolong.Klik.Pelan aku membuka pintu mobil, tapi laki-laki
Ia merogoh sakunya dan mengangkat telepon."Iya, hallo Pak."Abian melirikku sekilas."Bu Tyas baik-baik saja Pak. Dia aman. Aku ... Aku juga baik-baik saja."Rupanya yang telepon Papa."Alhamdulillah polisi datang tepat waktu sebelum para komplotan itu kabur."Tak berapa lama, Abian menyerahkan ponselnya padaku."Pak Aditama."Aku pun meraihnya untuk berbicara sama Papa."Tyas! Sayang, kamu nggak apa-apa?""Aku nggak apa-apa Pa, beruntung tadi Abian datang cepat, kalau tidak, entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi padaku," ucapku, dengan suara bergetar, dan benar saja detik berikutnya air mataku lolos begitu saja mengingat kejadian yang baru saja menimpaku."Alhamdulillah kalau begitu, Papa sudah khawatir sekali, tadi begitu Abi jalan ke sana, Papa langsung telpon polisi."Oh, rupanya Papa yang menghubungi polisi."Iya Pa, tapi Abian ada luka dan banyak memar Pa, sekarang kami ada di rumah sakit.""Ya sudah Papa kesana sekarang."Panggilan selesai, aku kembalikan ponsel itu pada Ab
"Mereka? Mereka siapa?"Papa terdiam."Pa! Mereka siapa?" Aku mengulangi pertanyaan."Papa dan Abian merasa ini ada yang janggal, sepertinya ada seseorang yang sengaja melakukan ini, ada dalang di balik kejadian itu."Aku tersentak kaget, mendengar ucapan Papa. Siapa? Siapa orang yang berniat jahat padaku?"Siapa orang yang Papa curigai?"Papa kembali diam. Kemudian menggeleng."Papa nggak bisa asal nuduh, karena memang belum ada bukti, jadi Papa mohon kamu di dampingi bodyguard, biar Papa tenang, oke!"Aku pun tak mampu menolak. Aku menatap jalanan ibu kota yang di hiasi kelap kelip lampu kecil yang melilit di pepohonan yang ada di bahu jalan. Sinar lampu kuning dan merah berjejer seperti semut menyala yang berjalan berbaris. Dalam otakku sedang membayangkan bagaimana repotnya nanti kemana-mana ada orang yang mengikutiku.Hah, pasti itu sangat mengganggu sekali.Tapi apa yang Papa khawatirkan ada benarnya juga, bisa jadi orang yang berniat jahat itu bisa mencelakaiku.Masih banyak m
"Selamat pagi semuanya, seperti biasa kita meeting pagi untuk breafing mengenai hasil kerja hari kemarin, sekaligus mempersiapkan apa-apa saja perencanaan kerja hari ini."Aku mulai bicara di depan semua jajaran management. Netra ini memindai wajah-wajah mereka yang sudah mengabdi di perusahaan ini.Semuanya tampak tenang dan terlihat sangat bersemangat menyongsong hari ini. Kecuali Iqbal, wajahnya tampak murung ia juga lebih sering menunduk."Oh ya, dan satu hal lagi, saya juga akan sampaikan hasil keputusan saya dan Pak Abian mengenai salah seorang dari Bapak ibu sekalian di sini, mungkin ada yang akan di pindahkan ke posisi yang lain. Mengingat hasil kerja, dan profesionalitas kerjanya jauh di bawah dari yang diharapkan."Seketika Iqbal mengangkat kepalanya, menatapku penuh arti. Aku hanya mengulum senyum.Suasana mendadak riuh, para peserta yang lain pun saling pandang, juga saling berbisik."Siapa?""Nggak tahu.""Untuk itu, nanti saya akan sampaikan langsung pada yang bersangku
Saat jam makan siang, aku keluar kantor, mau tak mau aku melewati bagian staf dimana Mas Iqbal di tempatkan saat ini.Terlihat ia begitu murung dan tak bersemangat kerja.Mas Iqbal, kamu harusnya bersyukur aku tidak langsung memecatmu saat ini. Harusnya ini bisa jadi pembelajaran buat kamu, untuk bekerja lebih baik lagi, tapi ternyata kamu memang sudah keenakan dengan posisi yang lalu, hingga kamu lupa bagaimana keadaan kamu dulu saat berada di bawah.Aku menghela napas memperhatikan Iqbal dari kejauhan."Ehem! Bu Tyas liatin Iqbal? Kenapa? apakah ada rasa penyesalan memindahkan dia ke bagian staf?" celetuk Bu Agustin mengagetkanku. Entah sejak kapan dia berdiri di sampingku.Seketika aku menoleh, ke arah perempuan paruh baya itu yang tengah tersenyum lebar menatapku."Ehm, nggak juga Bu. Cuma pengin lihat aja gimana dia di tempat lamanya," sahutku.Bu Agustin mengangguk, netranya mengikuti pandangan mataku ke arah Iqbal."Saya rasa itu sudah keputusan yang terbaik sih. Bahkan dia mas