Ketika nama itu di sebut, terdengar seseorang membuka pelan pintu ruang meeting, membuat semua mata yang ada di ruangan ini langsung tertuju padanya, termasuk aku.Aku hanya ingin memastikan kalau perempuan itu bukanlah Tyas istriku. Tak mungkin Tyas menjadi atasan di kantor ini, Memangnya siapa dia?Setelah pintu terbuka, wanita dengan tinggi semampai menyembul dari balik pintu.Senyumnya langsung merekah menatap semua yang ada di dalam ruangan.Aku terpana, bahkan sampai mengucek mataku, berharap ini hanya halusinasiku saja, melihat Tyas masuk ke ruangan ini. Ternyata aku tidak salah lihat, ini benar-benar Tyas! Aku dibuat melongo melihat penampilannya saat ini.Ia mengenakan, blazer berwarna krem dengan hijab krem, dan celana hitam, bunyi ketukan sepatunya seakan memecah keheningan. Ia berjalan dengan begitu anggun melewati kami semua yang duduk di depan meja persegi panjang saling berhadapan.Wajahnya sangat cantik, riasannya tidak menor, tapi justru membuatnya terlihat berkelas,
Iqbal Pov."Tapi Yas!"Tyas justru kembali menatap laptop seolah aku di sini tak terlihat. Mau tak mau aku pun keluar ruangan ini, dan mengikuti perintahnya dengan hati kesal.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" ucapnya dari dalam. Aku benar-benar seperti orang konyol, hendak bertemu istri sendiri saja seribet ini."Duduk!" titahnya menatapku, kemudian menatap bangku di depannya. Tak ada senyum ramah diwajahnya. Justru terlihat sangat judes."Ini coba cek!" Ia menyodorkan padaku beberapa file. Aku pun meraihnya dan langsung membukanya."Ini, laporan yang aku buat bulan lalu, kenapa memangnya?" Aku bertanya-tanya, pasalnya aku merasa nggak ada yang aneh dengan laporan itu."Kenapa? Pak Iqbal masih tanya? Lihat itu, output yang di dapatkan jauh dari target," ucapnya."Lho bukannya selama ini memang yang kita hasilkan segitu? Kenapa kamu pertanyakan?" tanyaku heran."Harusnya anda berpikir dong, gimana caranya supaya bisa meningkat? Anda 'kan manager operasional di sini! Tugas anda menaikkan hasil s
Tyas Pov. "Tyas, kamu ini apa-apaan? Kau bisa menyuruh sekretarismu untuk memperbaiki ini semua. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan daripada harus mengurusi masalah tentang laporan, dan hal remeh temeh begini!" Mas Iqbal tak terima, dan ia melempar kembali beberapa berkas yang tadi kuberikan padanya. Seketika aku menatapnya tajam. Konyol memang, untuk hal sekecil itu, masak iya harus berulang kali diperbaiki. "Nggak! Aku maunya kamu yang kerjain ini, kamu sendiri yang membuat ini, tanggung jawab dong! Ambil kembali semua itu atau kau akan tanggung akibatnya membangkang pada atasan!" tegasku. Mas Iqbal pun mau tak mau meraih kembali semua berkas itu. Makanya Mas, mulai sekarang biasakan kerja yang baik, rapi, karena aku akan langsung menegur. Aku sengaja sering memberinya tugas tambahan, lalu jika hasil kerjanya tidak sesuai, maka aku akan memintanya untuk memperbaikinya. Bukankah itu sangat wajar ketika pekerjaan kita kurang baik, ya sudah sepatutnya kita memperba
Memang benar apa yang Papa katakan, aku bisa saja memecat dia sekarang juga, tapi aku rasa tidak etis rasanya memecat seseorang tanpa alasan apapun.Bagaimana pun aku adalah pemimpin perusahaan, ke depan sepak terjangkau akan selalu jadi sorotan, di mata klien, juga di mata para karyawan lainnya."Iya Pa, nanti aku pikirkan caranya untuk bisa memecat dia dari kantor." Papa mengaguk paham."Kita bisa lihat, apa dia masih bisa tersenyum bangga tanpa pekerjaannya?" "Papa benar, dan Tyas pun ingin lihat bagaimana reaksi Bu Wina, apa dia masih bisa berbangga saat putranya tak punya apa-apa lagi."Aku teringat betapa ibu sangat bangga dengan pencapaian yang di raih Iqbal, padahal itu semua karena ada campur tanganku."Iqbal tanpa kamu, dia bukan siapa-siapa, ingat itu."Aku mengangguk paham."Sore ini Papa ingin ketemu sama Abi, ada hal yang ingin Papa bicarakan, kamu mau ikut?" tanya Papa. "Kayaknya nggak deh Pa, Tyas pengin istirahat, hari ini rasanya capek sekali." Aku menolak karena m
"Sayang kamu nggak apa-apa? Apanya yang sakit?" Tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki, terdengar memecah keheningan. Suaranya seperti tak asing bagiku."Bapak!" Aku terpekik kaget melihat laki-laki itu datang menghampiri Bu Maryam. Seketika keduanya menoleh."Tyas!" Bu Maryam menatapku dan Bapak bergantian."Kalian saling kenal?""Dia menantuku, Sayang. Istrinya Iqbal."Bu Maryam terperangah. Ternyata Bu Maryam ini istri mudanya Bapak. Kenapa dunia ini sesempit ini."Jadi, Bu Maryam ini ....""Iya Yas, dia perempuan yang Bapak nikahi. Kamu lihat kan, bagaimana perbedaan Maryam dengan Wina? Mereka bagai langit dan bumi. Maryam adalah perempuan sabar, dan dia sangat menghormati Bapak. Bapak merasa lebih tenang di sini. Walau hadirnya sering di cap sebagai orang ketiga, tapi Bapak nggak peduli itu. Semua terjadi karena Wina tak kunjung berubah, di otak dia yang ada hanya uang, dan harta. Hingga mengabaikan kewajibannya terhadapku."Bapak berkata sambil menatap lurus ke depan. Padah
"Buka!"Dug! Dug! Dug! "Buka!" teriaknya.Keringat dingin sudah membanjiri sekujur tubuhku, jangankan untuk membuka pintu mobil, untuk napas saja rasanya ini sangat sulit, Ya Allah lindungilah hamba."Buka! Atau akan kami pecahkan kaca mobil ini!" teriaknya lagi.Aku segera membuka ponselku dengan tangan bergetar, dan menelpon siapa saja di sana, namun Si4l! ponselku justru terjatuh. Benar-benar Sial! Tanganku bergetar hebat, mengakibatkan ponsel jatuh dari genggaman.Aku menoleh laki-laki itu, dia melotot menatapku, mengisyaratkan untuk tidak melakukan panggilan telepon pada siapapun atau aku akan di bu nuh olehnya, Terlihat ia menggerakkan tangan di bawah dagu.Aku menelan Saliva dengan susah payah."Buka!" pintanya lagi.Ya Allah apa aku harus membukanya? Bukankah ini justru akan membahayakan nyawaku? Setelah aku pikir-pikir, mungkin lebih baik aku membukanya, berharap ada orang yang lewat, dan aku bisa berteriak meminta tolong.Klik.Pelan aku membuka pintu mobil, tapi laki-laki
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er