Bab 1. Berkhianat.
[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?] Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto. Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel. Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut. Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung. Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon. "Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh? "Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?" Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wanita sebelumnya. "Nggak. Kalau saudara Mas Iqbal aku rasa bukan, Aku belum pernah melihatnya sebelumnya." "Terus siapa dong? Apa jangan-jangan Iqbal selingkuh Yas?" Pertanyaan Amel membuatku tersentak. Bagai di tusuk belati tajam, rasanya sakit tak terkira, laki-laki yang amat kucintai ternyata diam-diam memiliki wanita lain. Melihat perubahan sikapnya sebulan belakangan ini ... Apa mungkin? Tidak. Tidak! Itu tidak mungkin! Mas Iqbal tidak mungkin nyakitin aku. Walau hati ini cemas dengan prasangka ke arah sana. Tapi otakku seakan tak terima dan berusaha menepis semua itu. "Nggak mungkin Mas Iqbal selingkuh Mel. Dia itu sayang banget sama aku." Aku mengelak. Lebih tepatnya aku seakan menghibur diriku sendiri. "Ya, bisa aja kan! Apalagi sekarang Iqbal bukan lagi Iqbal yang dulu, sekarang Iqbal sudah punya jabatan! Perempuan mana yang sanggup nolak pesona laki-laki mapan! Ya kan! Apalagi, pas kemarin aku lihat mereka jalan rangkulan gitu, mesra banget Yas! Suerr! Kalau hanya teman atau saudara aku rasa nggak akan semesra itu, Yas. Semalam Iqbal pulang jam berapa?" Aku meneguk saliva dengan susah payah. Semalam memang Mas Iqbal nggak pulang, itu artinya dia nginap di hotel sama perempuan itu? Hatiku sudah seperti di cabik-cabik, membayangkan apa yang dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan di dalam kamar hotel "Semalam dia nggak pulang Mel," sahutku dengan suara bergetar. "Nah kan! Pasti dia nginep di hotel Cempaka sama tuh cewek Yas!" Astaghfirullah! Mas benarkah kamu setega ini sama aku Mas? Aku menunggumu semalaman di rumah, tapi justru kamu enak-enakan sama perempuan lain. Aku pejamkan mataku erat, menahan sesaknya rasa menghimpit di dada. "Saran aku kamu selidiki dulu, aku tahu kamu orangnya seperti apa. Kamu itu kan nggak akan percaya kalau belum lihat sendiri buktinya." Aku mengangguk. Meski Amel di sana tak melihatku. "Entahlah Mel, aku bingung, antara percaya dan enggak, benarkah Mas Iqbal sejahat itu sama aku," ucapku parau. "Haissh, Tyas ! Nggak usah bingung-bingung! Gini aja, Hotel Cempaka itu tempat kerja Om Rudi, dia Manager di sana. Nanti aku minta tolong sama dia untuk cek apa benar Iqbal check in di sana apa nggak. Kalau iya, kamu bisa susulin dia kesana. Dan pergoki mereke secara langsung." Aku masih diam. Entahlah belum apa-apa rasanya tubuhku sudah lemas, mencium bau-bau perselingkuhan Mas Iqbal dengan perempuan lain. Lagi kupejamkan mata ini erat-erat, mencoba menguatkan hati. Bersamaan dengan air mata yang luruh tanpa permisi. "Oke ya! Gitu aja ya! Dah kamu tenang. Nanti aku kabarin lagi kalau udah tahu informasi selanjutnya." "Makasih Mel!" Panggilan selesai. Aku duduk di kursi yang seharusnya kami duduki malam tadi untuk makan malam bersama Mas Iqbal. Niat hati hendak membereskan semua makanan ini, tapi tiba-tiba aku malas mengerjakan apapun. Tulang dan persendian rasanya lemas. "Benarkah kamu bermain api di belakangku Mas?" Aku bermonolog dengan suasana hati yang sulit tergambarkan. Apa kurangnya aku selama ini Mas? Aku berusaha mengimbangi kamu, aku sudah melakukan banyak hal hingga kamu berada di titik ini. Tapi apa ini balasannya untukku? Aku menggeleng cepat. Aku tak terima jika benar kamu selingkuh di belakangku, Mas! Aku akan buat perhitungan. Enak saja, saat masih jadi karyawan biasa kita jalani sama-sama sekarang kamu sudah punya jabatan mulai banyak tingkah! [Gimana Mel! Sudah kamu tanyakan sama Om kamu belum?] Aku mengirim pesan pada Amel, rasanya tak sabar menunggu informasi darinya. [Bentar ya. Ini lagi di cek.] Aku menunggu dengan gelisah. Beberapa menit berlalu begitu ada notifikasi pesan masuk dari Amel aku buru-buru membukanya. Amel. [Benar Yas. Iqbal menginap di sana. Ini datanya.] Sebuah pesan disertai foto layar komputer, yang berisi data tamu. Tertulis nama Mas Iqbal sudah check in di sana terhitung dari hari kemarin jam lima sore. Aku menggenggam erat ponselku, tanpa sadar telapak tangan kiriku terkepal sempurna hingga buku-buku jari ini memutih karena menahan gejolak emosi yang tiba-tiba memuncak. Keterlaluan kamu Mas Iqbal. Aku menunggu kamu di rumah sampai lumutan, ternyata kamu sedang bersenang-senang dengan gundikmu. Aku langsung menekan tombol panggil. Menelpon Amel. "Mel! Tolong bantu aku, supaya bisa punya akses masuk ke kamar hotel tempat Mas Iqbal menginap. Apakah Bisa?" "Bisa. Itu gampang. Om Rudi adalah orang kepercayaan sang pemilik hotel, jadi itu bisa di atur." Aku lega mendengarnya. "Oke. Kalau gitu aku siap-siap sekarang juga. Aku mau datangi mereka," ucapku tanpa ragu. Aku ingin lihat, apa Mas Iqbal masih bisa berkilah jika aku memergokinya secara langsung. Aku bergegas masuk ke kamar, mandi dan bersiap untuk ke Hotel Cempaka. Urusan membereskan makanan di belakang bisa kukerjakan nanti. Atau bisa meminta tolong Mbak Yanti, salah seorang tetangga yang kerap kali kumintai tolong untuk bantu-bantu jika aku memerlukan bantuan. Selesai bersiap aku langsung mengemudikan mobilku menuju ke hotel Cempaka. [Aku sudah di depan Mel] Sengaja aku mengajak Amel untuk ikut serta, biar ada saksi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. [Sip. Tunggu bentar, aku sebentar lagi sampai.] Menunggu beberapa menit sampai Amel sampai, baru kemudian kami masuk ke dalam. "Om Rudi, ini Tyas, temenku yang tadi kuceritakan di telepon." Sampai di dalam area hotel, kami langsung masuk ke ruangan Om Rudi. "Oh. Saya Rudi." "Tyas." Kami berjabat tangan. "Saya sudah mendengar semuanya dari Amel, dan saya turut prihatin jika benar suamimu menginap di hotel ini bersama perempuan lain, padahal saat check-in mengakunya istrinya. Apa mau langsung menuju ke kamarnya? Tapi sebelumnya mohon maaf, saya mohon untuk tidak memantik keributan di area hotel. Bisa?" "Baik Om. Saya hanya ingin memastikan apa benar suami saya ada di dalam bersama wanita itu." "Iya saya mengerti. Kalau gitu mari ikut saya. Sebenarnya ini adalah hal privasi bagi tamu. Kalau saja Tyas bukan teman Amel, saya tak bisa bantu." "Sekali lagi terimakasih banyak Om Rudi, sudah berkenan bantu saya." "Iya sama-sama. Amel sudah seperti anak saya sendiri, jadi rasanya saya merasa bersalah kalau tak bisa membantu." "Makasih banyak ya Om." Amel menyahuti. Kami berjalan menyusuri lorong hotel sambil berbincang. Hotel Cempaka tidak begitu besar, entah apa yang ada di pikiran Mas Iqbal menginap di hotel ini. Tapi sekarang aku tahu jawabannya. Karena kalau dia menginap di hotel besar yang berbintang, tentu dia tak bisa membawa selingkuhan masuk. Kami bertiga terus berjalan, seiring dengan degup jantungku yang berpacu cepat. Hingga kami sampai di depan kamar 201. Om Rudi menatap aku Amel, lalu mengangguk. Tok! Tok! Tok! Om Rudi mengetuk pintu kamar. Lalu memberi kode padaku dan Amel untuk tidak berdiri tepat di depan pintu. Karena dari lubang intip mereka bisa melihat kalau yang datang adalah aku. Setelah beberapa saat menunggu. Terdengar suara kunci di putar. Ceklek. Pintu terbuka. Mas Iqbal menyembul dari balik pintu. pintu hanya di buka sedikit selebar tubuhnya. Di saat yang sama aku bergeser menunjukkan diri ke hadapannya. Jantungku seakan berhenti beberapa saat, melihat penampilan Mas Iqbal saat ini, ia bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek, rambutnya acak-acakan. Cukup membuatku paham, akan aktivitas apa yang baru saja dilakukan. "Ty–Tyas!" Mas Iqbal terkejut melihatku, kedua netranya melebar sempurna melihatku kini berdiri di. Wajahnya pucat pasi seolah melihat suatu hal yang menakutkan. "Ya, ini aku Mas. Kenapa? Kaget?" tanyaku, sambil menerobos masuk. Mendorong tubuhnya, membuat pintu hotel itu terbuka lebar dan aku berhasil masuk ke dalam. Amel mengekor di belakangku. "Tyas! Tunggu dulu tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!" Bersambung.Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er
Bab 3. Ibu mertua "Aaauuuu!" Amanda berteriak kesakitan. Aku menarik kuat-kuat rambut hitamnya yang tergerai itu. Lalu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Jadilah dia terhuyung jatuh ke lantai. "Dasar pelakor!" umpatku padanya. Teriakan wanita itu sukses mencuri perhatian Mas Iqbal yang sejak tadi sibuk mengincar ponsel milik Amel. Tapi tak juga mendapatkannya. Pintar juga Amel berkelit. Di saat posisi Amel kian terdesak karena Mas Iqbal berhasil mengunci pergerakan tangan Amel, dan hampir saja ia mendapatkan ponsel Amel tapi karena teriakan Amanda, Mas Iqbal jadi menoleh, fokusnya terbagi, dan ini menjadi kesempatan bagi Amel untuk lolos darinya. "Amanda, kamu nggak apa-apa?" Mas Iqbal terlihat khawatir dan buru-buru membantu gundiknya untuk bangun. Dengan cepat Mas Iqbal mengambilkan baju-baju perempuan itu yang tercecer dan memberikan padanya. Membuat perutku terasa mual. Menjijikan. "Amel, ayo kita pulang. Lama-lama di sini aku bisa muntah karena menyaksikan pasangan mesum."
"Tyas!" Ibu kembali memanggil kali ini suaranya sangat nyaring terdengar. Jika biasanya aku akan langsung menyusul ke dapur dan melakukan apapun supaya beliau berhenti mengomel, mendengarkan semua nasihat darinya untuk hidup hemat supaya bisa punya banyak tabungan. Tapi sekarang aku enggan menyusulnya ke dalam. Biarkan saja dia mengomel sampai puas. Aku sedang tidak ingin berdebat, sudah cukup kelakuan anaknya yang membuatku sakit, tak ingin aku bertambah pusing karena ocehannya. Ibu mertuaku sebenarnya baik, hanya saja beliau sedikit pelit. Terutama soal makan. Beliau rela makan hanya pakai ikan asin asal bisa nabung. Uangnya sebenarnya banyak, tapi dia jarang membelanjakan untuk urusan perut. Terkadang untuk makan sendiri saja dia sangat irit sekali dengan dalih berhemat. Dia lebih suka menyimpan uangnya untuk membeli tanah atau emas, daripada menggunakannya untuk makan enak apalagi jalan-jalan. Terbukti prinsipnya itu berhasil, ibu mertuaku punya beberapa tanah, dan rumah. Rumah
Bab 5. Mulai mengambil langkah. "Oke, kalau gitu kamu pilih aku atau dia Mas?" tanyaku dengan suara bergetar, menahan sesak yang menghimpit dada ini. Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tak sampai tumpah sekarang. "Aku nggak mungkin ninggalin dia, Yas!" "Segitu berartinya dia untuk kamu Mas?! Lalu selama ini pernikahan kita kamu anggap apa?!" sentakku tajam. "Sebenarnya kami ... Ka.i sudah menikah siri seminggu yang lalu. Bagai tersambar petir di siang bolong. Ternyata sudah sejauh itu hubungan mereka. Aku menatapnya dengan pandangan mulai berkabut. "Dan sekarang, dia sedang hamil anakku." Lagi-lagi tubuhku seperti di timpa godam yang teramat berat. Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang kudengar. "Aku laki-laki. Apanya yang salah? Laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu. Bukankah itu Sunnah, dan bagimu jaminannya syurga." Aku menggeleng tak terima. Sunnah yang di maksud dalam berpoligami tentu bukan seperti ini. Posisi Mas Iqbal jelas dia menikahi Amanda karena
Tak berapa lama setelah Mas Iqbal ke luar rumah. Aku bergegas bangun berniat untuk mengikutinya ke rumah Ibu.Aku ingin lihat bagaimana reaksi mertuaku. Kalau sudah lihat kelakuan anaknya begini apa ibu masih mau membela anaknya?*"Iqbal! Kamu baru pulang kerja? Haduh, anak ibu sekarang jadi orang sibuk. Alhamdulillah, kerja keras ibu membesarkan kamu tidak sia-sia kamu bisa jadi orang sukses sekarang, punya jabatan. Ibu bangga sama kamu Bal!"Baru saja aku memasuki pintu depan, terdengar suara renyah ibu dari dalam. Aku mencibir mendengar ibu membanggakan anaknya. Sebentar lagi ibu pasti akan kaget, anak yang ia banggakan itu tak lebih dari seseorang yang bej4t kelakuannya."Oh ya, kamu kasih tau Tyas untuk hati-hati dalam membelanjakan uang. Kamu yang capek-capek kerja dia buang-buang duit. Dasar dia jadi istri tak pandai bersyukur!""Bu, Iqbal kesini karena ada yang ingin Iqbal sampaikan."Mas Iqbal sepertinya tidak terlalu mendengarkan ocehan Ibu yang melulu soal itu lagi, itu la
Aku berjalan pulang ke rumah, saatnya aku mulai menyusun rencana. *"Assalamualaikum, Papa. Gimana kabar Papa?"Aku menghubungi Papa. Tiba-tiba saja aku kangen Papa. Melihat kenyataan Mas Iqbal mengkhianatiku, aku merasa bersalah sama Papa. Dulu beliau orang pertama yang menentang keras keputusanku saat hendak menerima Mas Iqbal dan menikah dengannya.Tapi karena aku tetap kekeuh, bersikeras pada keyakinanku, akhirnya Papa terpaksa merestui. Meski aku tahu, hatinya berat, hatinya tak rela melepasku bersama laki-laki yang tidak sreg di hatinya."Papa Baik. Seperti biasa, baik-baik saja. Kamu apa kabar, Sayang?" Terdengar suara khas Papa di seberang sana."Tyas juga baik, sehat, Pa.""Alhamdulillah kalau gitu. Gimana? sudah kamu sampaikan sama Iqbal soal rencana itu? Bagaimana beraksi dia? Papa yakin dia akan senang sekali dengan berita ini. Ya kan?" Entah mengapa suara Papa terdengar seperti ... Seperti tak ikhlas. Apa mungkin hanya perasaanku saja?"Ehm, soal itu ... Belum. Tyas belu
"Ayo masuk Sayang! Sini biar aku saja yang bawa, kamu duduklah dulu," ucap Mas Iqbal pada seseorang.Setelah diperhatikan baik-baik. Yang datang bersama Mas Iqbal ternyata adalah Amanda.Si4lan! Ternyata secepat ini dia membawa gundiknya ke rumah ini untuk tinggal bersamaku.Aku masih merasa ini seperti mimpi. Mimpi paling buruk sepanjang hidupku. "Apa istrimu tak apa-apa aku tinggal di sini?" tanya perempuan membuatku muak."Tyas, maksud kamu? Aman pokoknya! Toh rumah ini juga 'kan rumahku. Dia nggak ada hak, apa lagi ngelarang kamu untuk tinggal di sini. Dengar, kamu juga 'kan istriku. Kamu juga punya hak yang sama sama dia untuk tinggal di rumah ini. Aku mau kita melewati hari bersama-sama. Menunggu dia lahir ke dunia ini." Mas Iqbal merapikan anak rambut perempuan itu, lalu mengelus perutnya yang terlihat masih rata.Tak kupungkri sakit rasanya melihat pemandangan ini di depan mataku. Jika memang rasa cinta di dalam hati ini mulai pudar karena sebuah pengkhianatan, tapi luka peng
Aku tercekat membaca laporan dari Nando. Ternyata Mas Iqbal selama ini banyak membohongiku. Tercatat performa kerjanya sangat buruk! Dia sering datang terlambat, dan juga beberapa kali tak masuk kantor padahal dari rumah dia selalu pamit ke kantor, bahkan sampai pulang malam dengan alasan ada meeting mendadak. Ck! Si4lan! Dasar laki-laki tak tahu di untung! Pembohong! Aku merutuki kebodohanku sendiri, bisa-bisanya aku tak menaruh curiga pada Mas Iqbal. Apa dia yang terlalu lihai dalam mengelabuiku? Salahku juga terlalu percaya padanya, sampai-sampai aku tak pernah terpikir untuk sesekali mengecek bagaimana sepak terjangnya di kantor. Aku langsung menghubungi Nando. "Nando, dua Minggu lalu ada proyek di Bandung, yang datang ke sana siapa?" tanyaku yang melihat kejanggalan pada data absensi Mas Iqbal sekitar dua Minggu. Di sini terlihat dua Minggu lalu, Mas Iqbal tetap masuk kerja seperti biasa, tapi dia mengambil ijin pulang cepat. Padahal aku ingat sekali pada tanggal itu, Mas Iq
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang