Akira menatap layar laptop dengan campuran emosi, antara kemarahan dan kelegaan. Noah hanya diam, membiarkan wanita muda itu melihat semuanya. Setelah beberapa menit, Akira menutup laptopnya dengan gerakan pelan dan memandang Noah."Ini bukti yang kita butuhkan," jelas.pemuda dengan suara tegas, meski nadanya menyimpan ketegangan.Noah mengangguk, "Dengan ini, kita bisa membersihkan nama Center Group dan mengungkapkan siapa sebenarnya Willy. Tapi saya butuh persetujuan, Bu Akira untuk langkah berikutnya."Akira mencondongkan tubuhnya ke depan, "Langkah berikutnya?""Kita harus membawa ini ke publik, tapi tidak langsung," jelas Noah."Jika kita terburu-buru, Willy mungkin akan menemukan cara untuk membantah semuanya. Kita harus memastikan dia tidak punya kesempatan untuk melarikan diri."Akira menghela napas panjang. "Jadi apa rencanamu?"Noah mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya dan menyerahkannya pada Akira, "Kita akan menyusun konferensi pers besar. Tapi sebelum itu, aku ingin me
Noah duduk di ruang kerjanya, menatap pemandangan kota dari balik kaca besar. Gemerlap lampu-lampu malam mengingatkannya bahwa perjuangan Center Group tidak sepenuhnya berakhir. Willy mungkin sudah tertangkap, tapi dampak dari skandal itu masih membayangi perusahaan.Pikirannya terganggu oleh ketukan di pintu. Dimas masuk dengan langkah cepat, membawa setumpuk dokumen. "Tuan Noah, saya membawa laporan lengkap mengenai dampak finansial dari skandal ini," ujar Dimas sambil menyerahkan berkas tersebut.Noah membuka laporan tersebut, "Seberapa buruk?"Dimas menghela napas, "Beberapa investor besar masih menahan diri, menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut. Tapi, sebagian lainnya mulai kembali percaya setelah konferensi pers itu. Kita sudah menutup beberapa celah keuangan, tapi butuh waktu untuk memulihkan semua kerugian."Noah mengangguk, "Kita harus segera memulihkan kepercayaan publik. Aku ingin semua langkah berikutnya fokus pada transparansi dan inovasi. Kita harus menunjukkan bahwa
Noah terkejut dengan seseorang yang memiliki rambut coklat panjang sedang tersenyum ke arahnya, wanita muda nan cantik itu menghampiri Noah dengan sangat ramah, "Hai, Noah kamu kerja di sini?" tanya Rossa dengan lembut. "Iya!" sahut pemuda itu dengan nada datar. "Kamu masih menyimpan rasa sa......." "Noah! Kamu....!" Akira memotong ucapannya, dia melihat wanita cantik yang rambutnya di keriting bawah dengan gaun v neck. "Hai, Nona ada yang bisa kami bantu?" tawar Akira dengan senyum ramah. "Anda, Bu Akira--direktur utama di perusahaan Center Group ini?" tanya Rossa dengan lembut. "Iya, saya Akira!" "Dia....." Rossa menunjuk Noah yang hanya diam saja, "Dia sekretaris saya namanya, Noah!" "Oh begitu, sa......." "Maaf, Bu Akira kita sudah harus kembali bekerja lagi bukan, dokumen yang membutuhkan tanda tangan Anda masih banyak," potong Noah yang sudah malas dengan percakapan Rossa. "Ah iya, Nona saya pergi dulu ya!" Akira dan Noah meninggalkan Rossa sendiri di depan
Malam di ballroom itu terasa megah, namun bagi Rossa, suasananya terasa penuh tekanan. Setelah Noah dengan sengaja menarik Akira menjauh, Rossa berdiri terpaku, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap gelas anggurnya dengan tatapan kosong, memikirkan langkah berikutnya, "Tidak mungkin Noah bersikap sedingin ini kepadaku. Dulu dia tidak seperti ini," pikir Rossa.Namun, Rossa adalah tipe wanita yang tidak mudah menyerah. Dia menarik napas panjang dan menenangkan diri, "Aku harus bicara dengan Noah lagi, aku tidak bisa membiarkan hal ini berakhir seperti ini."Sementara itu, Noah dan Akira berbicara dengan beberapa tamu penting. Akira tampak ceria, penuh percaya diri saat berdiskusi tentang rencana perusahaan, sementara Noah hanya mendampingi, mengamati setiap percakapan. Namun, dalam hati, pikirannya terganggu oleh kemunculan Rossa. Dia tahu, cepat atau lambat, Rossa akan mencoba mendekatinya lagi.Setelah beberapa saat, Akira melibatkan dirinya dalam percakapan serius dengan salah sa
"Tetapi...." "Ada apa, Bu Akira?" Wanita muda itu menggeleng pelan, "Kita fokus sama proyek selanjutnya saja, tugas kita masih banyak, Noah!" Pemuda itu mengangguk setuju, "Apa ada lagi, Bu Akira?"Di sisi lain, Rossa masih berdiri terpaku di sudut ruangan, menatap punggung Noah yang perlahan menjauh bersama Akira. Suasana di ballroom yang awalnya terasa mewah kini terasa hampa baginya. Air mata masih membekas di wajahnya, namun tekadnya tidak runtuh. Dia tidak bisa menyerah begitu saja. Dalam hati, Rossa berjanji bahwa malam ini belum selesai.Setelah beberapa lama, para tamu mulai meninggalkan ballroom, termasuk Noah dan Akira. Melihat kesempatan, Rossa diam-diam mengikuti mereka ke luar. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan, tetapi dia yakin satu hal, dia tidak akan membiarkan Akira merebut Noah darinya.Di parkiran hotel mewah itu, Noah sedang bersiap masuk ke mobil bersama Akira. Akira, dengan senyumnya yang anggun, menyapa beberapa kolega yang lewat, menunjukkan ketenanga
Tiga mobil hitam tanpa plat nomor tiba-tiba muncul dari belakang, berhenti tak jauh dari kendaraan mereka. Lampu sorot dari mobil-mobil itu menyinari mereka tajam, menciptakan ketegangan instan di parkiran yang tadi sepi.Akira mengerutkan alis, instingnya langsung menyadari ada yang tidak beres, "Noah, ada yang aneh," bisiknya seraya melirik melalui kaca spion samping.Noah memperhatikan sekilas melalui spion tengah, lalu mengangguk kecil, wajahnya berubah serius, "Saya tahu. Ini bukan kebetulan. Pegang sabuk pengaman Anda dengan erat, Bu Akira. Malam ini kita mungkin akan sedikit... beraksi."Akira tidak sempat bertanya lebih jauh ketika Noah langsung menekan pedal gas. Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Ketiga mobil hitam itu langsung bergerak, mengejar mereka tanpa ragu."Noah, siapa mereka?!" tanya Akira dengan suara penuh waspada sambil menoleh ke belakang."Saya tidak yakin. Tapi berdasarkan pengalaman, biasanya mereka adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu, entah da
"Janga hiraukan hal itu, Bu Akira, kita pulang saja sudah larut malam juga bukan?" Akira mengangguk tanda setuju dengan ucapan Noah. Langit malam yang pekat membungkus kota dengan tenang, tetapi bagi Akira, malam itu terasa mencekam. Noah mengemudi dengan fokus, matanya tajam mengawasi jalanan seolah setiap tikungan adalah potensi bahaya. Suara mesin mobil terdengar berat, berpacu dengan degup jantung Akira yang tak juga tenang setelah pengejaran berbahaya tadi. "Noah..." suara Akira terdengar gemetar, "Apa mereka masih mengejar kita?" Noah tidak menjawab, hanya menatap kaca spion untuk memastikan bahwa tak ada mobil lain yang membuntuti. Setelah memastikan keadaan aman, dia membelokkan mobil ke sebuah gang sempit dan mematikan mesinnya. "Kita aman untuk saat ini, Bu Akira," sahut Noah dengan nada pelan, tetapi sorot matanya dingin. Akira menatap Noah. Wajahnya seperti topeng tak bercelah, tidak ada ketakutan, tidak ada kekhawatiran. Hanya keheningan yang membuat Akira semakin b
"Well...... Bagaimana kabarmu sepupuku? Apakah hatimu masih saja beku?" sindir pemuda tampan namun menggunakan kaca mata di wajahnya yang putih bersih. "Jangan terlalu galak sepupuku, aku hanya ingin mengunjungi kamu yang sekarang terlihat sangat frustasi, bukankah begitu?" ujar Gabriel dengan senyum menyebalkan. "Jangan banyak alasan, sebenarnya apa maumu?" tanya Noah ketika sepupunya seakan mengejek dirinya. "Aku dengar kamu bekerja di perusahaan kecil, apa benar? Seorang Noah yang merupakan Direktur Utama Hydra Star Corp bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan kecil, apa tanggapan orang lain pada kamu?" tanya Gabriel kepada Noah "Jangan ikut campur masalahku, pergi saja sana! "Kamu kayak anak perempuan perawan yang sensitif," lontar Gabriel asal kepada Noah. "Berisik kamu, pulang saja sana!" "Loh aku ke sini karena perintah dari Kakek untuk mengawasi kerjaan kamu, lagian pernikahan kamu sudah diatur loh, kamu mau cari yang bagaimana lagi?" tutur Gabriel dengan nada kesa
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m
Pagi di kediaman keluarga Mahendra begitu tenang, nyaris terlalu tenang jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia di luar pagar besar itu tengah bersiap meledak dalam badai yang lebih besar dari sebelumnya.Di dalam ruang latihan rahasia, Arka yang kini berusia tujuh tahun, mengenakan seragam khusus dengan lambang Phoenix kecil di dadanya. Di depan layar kaca transparan, ia mempelajari ulang taktik bertahan, membaca kode sinyal, dan membedakan pola gerakan drone musuh. Noah berdiri tak jauh darinya, mengamati.“Kamu sudah makin cepat, Arka. Tapi ingat, bukan soal kecepatan. Ini tentang ketepatan dan niat.”Arka menoleh, berkeringat namun penuh semangat. “Papa, kenapa mereka mau menyakiti kita? Padahal kita tidak pernah mengganggu mereka.”Noah menarik napas. Ia tahu, anaknya terlalu cerdas untuk dibohongi, tapi juga terlalu muda untuk menanggung semua kebenaran.“Karena mereka takut. Karena kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka
Malam itu langit Jakarta berwarna gelap pekat. Awan hitam menggulung seakan menyembunyikan badai yang akan datang. Di ruang observasi Phoenix of Gold, cahaya layar komputer menyala redup. Noah berdiri di tengah ruangan seperti bayangan diam yang sedang menyatu dengan gelap. Di hadapannya, lusinan monitor menampilkan gambar-gambar: aktivitas Black Shadow, pergerakan logistik Rio, dan pesan-pesan terenkripsi yang telah berhasil dibuka oleh sistem keamanan rahasia mereka.“Aku akan turun langsung,” gumam Noah.Akira yang berdiri di belakangnya mengernyit. “Maksudmu ke Montenegro? Noah, kamu baru saja menarik perhatian dunia. Kamu akan menjadi target utama jika kembali menyamar.”Noah memalingkan wajahnya. “Bukan menyamar. Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Phantom. Hanya itu cara untuk menuntaskan semuanya.”Akira menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu masuk terlalu dalam… bagaimana caranya kamu kembali ke kami?”Noah melangkah pelan mendekati istrinya, menangkup wajahnya dengan ked
Phoenix of Gold kini menjadi sorotan dunia. Media internasional menyoroti perusahaan yang tak hanya bergerak di bidang energi hijau, tetapi juga menjadi simbol ketahanan keluarga di tengah ancaman global. Akira dan Noah menjadi pasangan fenomenal yang disegani—bukan karena kekayaan mereka, tapi karena integritas dan keberanian mereka mempertahankan nilai.Namun di balik sorotan itu, ada ketegangan yang terus menguat. Noah kini tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Sisanya ia habiskan untuk memperkuat keamanan digital, memperluas jaringan intelijen, dan yang paling penting: menyusun serangan balik terhadap Rio Vasilyev.Di ruang bawah tanah Phoenix of Gold—ruang yang tak diketahui siapa pun kecuali Akira dan beberapa orang kepercayaannya—Noah berdiri di hadapan layar besar yang menampilkan peta dunia.“Operasi Valkyrie akan dimulai dalam empat puluh delapan jam,” ucap Raka sambil menunjukkan serangkaian data. “Kami sudah menanam orang dalam di markas Rio di Montenegro. Namun mereka m
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, mendung menggantung berat seolah memantulkan perasaan yang memenuhi hati Akira. Ia berdiri di balkon rumahnya, menatap taman tempat anak-anak biasanya bermain. Namun hari ini, taman itu kosong. Arka sedang di kamar bersama tutor privatnya, sementara Eiden masih tidur dalam pelukan pengasuhnya.Akira baru saja menerima laporan bahwa kantor pusat Phoenix of Gold kembali diserang secara digital. Sistem keamanan mereka diretas, dan beberapa dokumen rahasia hampir bocor ke publik jika tim IT tidak sigap memblokir akses asing yang berasal dari luar negeri.“Noah, ini bukan cuma tentang bisnis lagi. Mereka sudah menjadikan Phoenix of Gold sebagai simbol. Dan kita adalah target berikutnya,” ucap Akira dengan nada serius saat Noah masuk ke balkon membawakan secangkir teh hangat untuknya.Noah meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Aku tahu. Rio ingin menjatuhkan semua yang pernah kita bangun. Dia tak hanya menyasar bisnis kita, tapi juga keluarga kita.”
Matahari sore menyelinap di balik jendela besar kamar keluarga Noah dan Akira. Di ruang bermain yang hangat dengan karpet berbentuk awan, Eiden tertawa ceria saat Akira menyuapi potongan buah kecil ke mulutnya. Sementara itu, Arka duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil warna yang ditekan kuat-kuat ke kertas.“Nooo! Itu apelku, Mama!” Arka tiba-tiba berseru, melihat potongan buah yang diberikan ke adiknya.Akira menoleh, sedikit kaget. “Sayang, kamu 'kan tadi sudah makan dua potong. Ini buat Eiden.”“Tapi aku mau sekarang juga!” Arka bangkit dan berjalan cepat, hampir mendorong Eiden yang sedang duduk di kursi bayi.“Arka!” Akira memanggil tegas. “Kamu tidak boleh dorong adikmu seperti itu.”Anak laki-laki berusia lima tahun itu memelototi adiknya. “Kenapa sih semuanya selalu tentang Eiden! Dia selalu dapat pelukan, buah, bahkan mainan baru. Aku ini anak pertama, kan?”Akira menelan ludah, hatinya perih. Ia tahu kecemburuan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi sudah ia lihat seja
Pagi itu di rumah keluarga Noah Mahendra, suasana tampak seperti biasa—hangat, nyaman, dan penuh cinta. Namun di balik ketenangan itu, ada mata kecil yang memandang dengan diam-diam. Arka, anak pertama Noah dan Akira, berdiri di balik pintu ruang keluarga, memperhatikan sang ibu menyuapi adiknya, Eiden, sambil tertawa bahagia.“Eiden pintar banget sih… mama makin sayang sama adek,” kata Akira dengan lembut.Eiden tertawa kecil, tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi Akira. Sementara itu, dada Arka terasa sesak. Ia tak mengerti mengapa dalam beberapa minggu terakhir, dirinya merasa seperti kehilangan tempat.Dulu, Akira selalu punya waktu untuknya. Dulu, Noah selalu mengajak Arka bermain catur atau membaca buku sebelum tidur. Tapi kini, semuanya seolah berubah. Segalanya tentang Eiden—jadwal makan, imunisasi, bahkan mainan terbaru.Arka tidak bodoh. Ia tahu adiknya masih bayi dan butuh perhatian lebih. Tapi kenapa ia merasa diabaikan?Di sekolah, Arka menjadi lebih pendiam. Gurunya bahkan