"Belum, Bu. Ayahnya baru saja tiba dari luar negeri. Kami harus menunggu keluarga yang akan menandatangani informed consent terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan operasi. Oleh karenanya operasi baru saja dilakukan kurang lebih lima belas menit lalu."Rumah sakit menunggu tanda tangan Pak Bondan rupanya."Ruang operasinya ada di lantai berapa, suster?""Lantai tiga kamar operasi satu, Bu."Setelah mendapat keterangan dari suster jaga, Suri pamit pada Bapak dan Ibu Siswoyo untuk melihat keadaan Murni. Bapak dan Ibu Siswoyo mengiyakan linglung. Keduanya masih shock melihat keadaan Pras yang belum sadar-sadar juga.Suri menumpang lift untuk naik ke lantai tiga rumah sakit. Ketika lift terbuka di lantai tiga, Suri langsung melihat Pak Bondan yang tengah duduk tafakur di depan ruang operasi. Lampu indikator ruang operasi nomor urut satu masih menyala. Pertanda tindakan bedah sudah dimulai.Perlahan Suri mendekati Pak Bondan. Ia ikut prihatin melihat kecemasan dan kesedihan di wajah Pa
"Saat bertemu ayah nanti, Wira mau bilang apa?" Sembari menelusuri lorong rumah sakit Suri bertanya sambil lalu pada putranya. Hari ini adalah hari kedua Pras masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas bersama Murni.Tadi pagi Suri baru mengetahui keadaan Pras yang sesungguhnya. Bahwa besar kemungkinan kalau Pras akan mengalami kebutaan. Serpihan kaca mobil yang pecah, ternyata bukan hanya melukai wajah Pras. Tetapi juga menusuk kedua bola mata Pras. Kornea mata Pras memang masih lumayan bagus. Namun jaringan selnya rusak dan tidak bisa berfungsi lagi. Suri mengetahuinya setelah Bu Siswoyo meneleponnya dari rumah sakit dengan suara terbata-bata. Sesampai di rumah sakit kemarin, bapak dan ibu Siswoyo memang menginap di rumah sakit. Masih menurut Bu Siswoyo, sebenarnya ia tidak ingin menyusahkan perihal Pras. Hanya saja karena emosi Pras yang tidak stabil, Bu Siswoyo khawatir. Bu Siswoyo takut kalau Pras putus asa dan melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk itulah Bu Siswoyo menghub
"Tolong jangan memaksaku makan atau minum obat, Bu. Aku ingin sendirian!" amuk Pras lagi."Ayah, ini Wira dan Bunda yang datang. Bukan nenek." Takut-takut Wira mendekati bed ayahnya. Setelah melihat anggukan sang ibu, Wira mendekati ayahnya. Wajah sang ayah yang dibalut seperti mummy, sebenarnya membuatnya takut. Namun telah melihat dukungan sang ibu, Wira menjadi lebih berani."Wira? Kamu datang, Nak? Kamu di mana?" Pras menegakkan punggung. Tangannya menggapai-gapai udara. Suara Wira membuat kerinduannya pada anak semata wayangnya itu kian besar. Ia rindu tetapi juga malu. Ia takut putranya akan kecewa melihat keadaannya yang menyedihkan saat ini."Dekati ayahmu, Wira. Pegang tangannya. Saat ini ayah tidak bisa melihat. Jadi Wira harus memegang tangan ayah, agar ayah tahu kalau Wira ada." Suri berbisik pelan di sisi telinga Wira. Wira mengangguk perlahan. Walau wajah ayahnya tidak ia kenali, tetapi suara ayahnya sama."Ini Wira, Yah." Wira mengenggam tangan sang ayah yang menggapai-
"Pelan-pelan saja berdirinya, Pras. Tidak usah buru-buru. Nanti kamu pusing lagi." Pak Siswoyo membimbing lengan Pras saat berdiri dari kursi roda. Hari ini Pras sudah boleh pulang dari rumah sakit setelah hampir satu minggu ia dirawat.Setelah dokter mengatakan bahwa Pras bisa berobat jalan, Pak Siswoyo beserta istri memutuskan untuk membawa Pras pulang rumah lamanya. Yaitu rumah yang dulu Pras tinggali bersama Suri. Setelah putus dengan Murni, Pras memang kembali tinggal di rumahnya sendiri.Rencananya beserta istri untuk membawa Pras ke kampung halaman sementara ditunda. Karena Pras akan mengikuti serangkaian test serta terapi mata. Menurut analisa dokter, saat ini memang mata kanan Pras sudah rusak total terkena serpihan kaca. Mata kanan Pras sudah dipastikan buta.Namun mata kirinya masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Dokter akan melakukan serangkaian test untuk memeriksa apakah retina, kornea dan syaraf mata Pras masih bisa diselamatkan atau sudah rusak juga. Untuk itula
"Karena kalau saya menjadi kamu, saya akan bersorak-sorai karena musuh saya celaka. Saya membencimu. Begitu juga kamu pada saya bukan?Kamu tidak usah munafik, Ri," cibir Murni. "Membenci itu 'kan tidak harus dua arah, Bu. Ibu boleh saja membenci saya, tapi saya tidak," imbuh Suri kalem."Ke--kenapa?" Murni kebingungan melihat sikap Suri yang tenang."Saya sering kali menyakitimu. Mustahil kalau kamu tidak membenci saya," ucap Murni lesu. Dirinya sudah capek berakting galak dan marah-marah. Karena semua itu ternyata tidak ada gunanya. Tidak ada yang ia dapatkan selain rasa kesal dan cemburu yang tidak berkesudahan. Ia sekarang sudah menyerah. Ia mengaku kalah dari Suri.Melihat mimik wajah Murni yang pasrah, Suri merasa sudah waktunya mereka berbicara sebagai dua orang perempuan dewasa.Inilah saatnya menyadarkan Murni."Bu, saya memang pernah sangat marah pada Ibu. Namun seiring waktu saya sadar. Bahwa sebenarnya saya tidak bermasalah dengan Ibu. Mas Pras juga tidak. Begitu juga deng
"Sudah selesai, Ri. Duh, saya seperti melihat sang dewi dalam dunia nyata." Mbak Husna, make up artist yang sebelumnya sudah pernah mendandani Suri memberi sapuan terakhir di tulang pipi Suri. Setelah meletakkan kuas pada beauty case, Mbak Husna memutar kursi Suri, agar menghadap ke kaca besar. "Kamu cantik sekali, Ri. Kamu mendefenisikan perempuan yang anggun, cerdas dan berkelas. Jikalau dalam pemilihan miss universe, istilahnya adalah brain, beauty and behavior. Kamu begini." Mbak Husna mengacungkan jempol. Ia terpesona dengan hasil riasan tangannya sendiri. Sebagai seorang make up artist, dirinya sudah sering mendandani perempuan dengan berbagai type wajah dan karakter. Termasuk para artis dan sosialita-sosialita kenamaan tanah air. Mereka memang cantik-cantik dan keren-keren. Namun sedikit sekali ia temukan perempuan yang memiliki kecantikan jiwa raga sekaligus kekuatan dalam hasil akhir riasan mereka. Sementara Suri, yang pertama kali ia kenal sebagai sosok yang sangat seder
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna