"Bapak dan Ibu benar-benar minta maaf karena telah menyusahkan kalian berdua, Suri, Nak Damar." Pak Siswoyo sungguh-sungguh merasa tidak enak hati karena telah merepotkan Suri dan Damar. Saat ini dirinya dan istri menumpang mobil Damar menuju rumah sakit. Dirinya duduk di depan, di samping Damar yang tengah menyetir. Sementara istrinya duduk di baris kedua bersama Suri. Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit dirinya dan istri tidak henti-hentinya memanjatkan doa. Memohon kepada yang Maha Kuasa agar Prasetyo, putra mereka dalam keadaan baik-baik saja.Setiba di Jakarta, memang Damar telah menunggu di rumah Suri. Dari gerak-gerik keduanya, Pak Siswoyo sudah bisa menyimpulkan bahwa keduanya memang mempunyai hubungan. Nama Damar sendiri sudah tidak asing di telinga Pak Siswoyo. Pras pernah menyebutkan nama itu tatkala dirinya menyidang kelakuan tidak pantas Pras yang berselingkuh.Dan hari ini, setelah Pak Siswoyo mengawasi gerak-gerik keduanya, Pak Siswoyo telah menyimpulkan satu hal. B
"Belum, Bu. Ayahnya baru saja tiba dari luar negeri. Kami harus menunggu keluarga yang akan menandatangani informed consent terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan operasi. Oleh karenanya operasi baru saja dilakukan kurang lebih lima belas menit lalu."Rumah sakit menunggu tanda tangan Pak Bondan rupanya."Ruang operasinya ada di lantai berapa, suster?""Lantai tiga kamar operasi satu, Bu."Setelah mendapat keterangan dari suster jaga, Suri pamit pada Bapak dan Ibu Siswoyo untuk melihat keadaan Murni. Bapak dan Ibu Siswoyo mengiyakan linglung. Keduanya masih shock melihat keadaan Pras yang belum sadar-sadar juga.Suri menumpang lift untuk naik ke lantai tiga rumah sakit. Ketika lift terbuka di lantai tiga, Suri langsung melihat Pak Bondan yang tengah duduk tafakur di depan ruang operasi. Lampu indikator ruang operasi nomor urut satu masih menyala. Pertanda tindakan bedah sudah dimulai.Perlahan Suri mendekati Pak Bondan. Ia ikut prihatin melihat kecemasan dan kesedihan di wajah Pa
"Saat bertemu ayah nanti, Wira mau bilang apa?" Sembari menelusuri lorong rumah sakit Suri bertanya sambil lalu pada putranya. Hari ini adalah hari kedua Pras masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas bersama Murni.Tadi pagi Suri baru mengetahui keadaan Pras yang sesungguhnya. Bahwa besar kemungkinan kalau Pras akan mengalami kebutaan. Serpihan kaca mobil yang pecah, ternyata bukan hanya melukai wajah Pras. Tetapi juga menusuk kedua bola mata Pras. Kornea mata Pras memang masih lumayan bagus. Namun jaringan selnya rusak dan tidak bisa berfungsi lagi. Suri mengetahuinya setelah Bu Siswoyo meneleponnya dari rumah sakit dengan suara terbata-bata. Sesampai di rumah sakit kemarin, bapak dan ibu Siswoyo memang menginap di rumah sakit. Masih menurut Bu Siswoyo, sebenarnya ia tidak ingin menyusahkan perihal Pras. Hanya saja karena emosi Pras yang tidak stabil, Bu Siswoyo khawatir. Bu Siswoyo takut kalau Pras putus asa dan melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk itulah Bu Siswoyo menghub
"Tolong jangan memaksaku makan atau minum obat, Bu. Aku ingin sendirian!" amuk Pras lagi."Ayah, ini Wira dan Bunda yang datang. Bukan nenek." Takut-takut Wira mendekati bed ayahnya. Setelah melihat anggukan sang ibu, Wira mendekati ayahnya. Wajah sang ayah yang dibalut seperti mummy, sebenarnya membuatnya takut. Namun telah melihat dukungan sang ibu, Wira menjadi lebih berani."Wira? Kamu datang, Nak? Kamu di mana?" Pras menegakkan punggung. Tangannya menggapai-gapai udara. Suara Wira membuat kerinduannya pada anak semata wayangnya itu kian besar. Ia rindu tetapi juga malu. Ia takut putranya akan kecewa melihat keadaannya yang menyedihkan saat ini."Dekati ayahmu, Wira. Pegang tangannya. Saat ini ayah tidak bisa melihat. Jadi Wira harus memegang tangan ayah, agar ayah tahu kalau Wira ada." Suri berbisik pelan di sisi telinga Wira. Wira mengangguk perlahan. Walau wajah ayahnya tidak ia kenali, tetapi suara ayahnya sama."Ini Wira, Yah." Wira mengenggam tangan sang ayah yang menggapai-
"Pelan-pelan saja berdirinya, Pras. Tidak usah buru-buru. Nanti kamu pusing lagi." Pak Siswoyo membimbing lengan Pras saat berdiri dari kursi roda. Hari ini Pras sudah boleh pulang dari rumah sakit setelah hampir satu minggu ia dirawat.Setelah dokter mengatakan bahwa Pras bisa berobat jalan, Pak Siswoyo beserta istri memutuskan untuk membawa Pras pulang rumah lamanya. Yaitu rumah yang dulu Pras tinggali bersama Suri. Setelah putus dengan Murni, Pras memang kembali tinggal di rumahnya sendiri.Rencananya beserta istri untuk membawa Pras ke kampung halaman sementara ditunda. Karena Pras akan mengikuti serangkaian test serta terapi mata. Menurut analisa dokter, saat ini memang mata kanan Pras sudah rusak total terkena serpihan kaca. Mata kanan Pras sudah dipastikan buta.Namun mata kirinya masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Dokter akan melakukan serangkaian test untuk memeriksa apakah retina, kornea dan syaraf mata Pras masih bisa diselamatkan atau sudah rusak juga. Untuk itula
"Karena kalau saya menjadi kamu, saya akan bersorak-sorai karena musuh saya celaka. Saya membencimu. Begitu juga kamu pada saya bukan?Kamu tidak usah munafik, Ri," cibir Murni. "Membenci itu 'kan tidak harus dua arah, Bu. Ibu boleh saja membenci saya, tapi saya tidak," imbuh Suri kalem."Ke--kenapa?" Murni kebingungan melihat sikap Suri yang tenang."Saya sering kali menyakitimu. Mustahil kalau kamu tidak membenci saya," ucap Murni lesu. Dirinya sudah capek berakting galak dan marah-marah. Karena semua itu ternyata tidak ada gunanya. Tidak ada yang ia dapatkan selain rasa kesal dan cemburu yang tidak berkesudahan. Ia sekarang sudah menyerah. Ia mengaku kalah dari Suri.Melihat mimik wajah Murni yang pasrah, Suri merasa sudah waktunya mereka berbicara sebagai dua orang perempuan dewasa.Inilah saatnya menyadarkan Murni."Bu, saya memang pernah sangat marah pada Ibu. Namun seiring waktu saya sadar. Bahwa sebenarnya saya tidak bermasalah dengan Ibu. Mas Pras juga tidak. Begitu juga deng
"Sudah selesai, Ri. Duh, saya seperti melihat sang dewi dalam dunia nyata." Mbak Husna, make up artist yang sebelumnya sudah pernah mendandani Suri memberi sapuan terakhir di tulang pipi Suri. Setelah meletakkan kuas pada beauty case, Mbak Husna memutar kursi Suri, agar menghadap ke kaca besar. "Kamu cantik sekali, Ri. Kamu mendefenisikan perempuan yang anggun, cerdas dan berkelas. Jikalau dalam pemilihan miss universe, istilahnya adalah brain, beauty and behavior. Kamu begini." Mbak Husna mengacungkan jempol. Ia terpesona dengan hasil riasan tangannya sendiri. Sebagai seorang make up artist, dirinya sudah sering mendandani perempuan dengan berbagai type wajah dan karakter. Termasuk para artis dan sosialita-sosialita kenamaan tanah air. Mereka memang cantik-cantik dan keren-keren. Namun sedikit sekali ia temukan perempuan yang memiliki kecantikan jiwa raga sekaligus kekuatan dalam hasil akhir riasan mereka. Sementara Suri, yang pertama kali ia kenal sebagai sosok yang sangat seder
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna