Bab 7 Benci
"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak.
"Layani? Maksudnya apa?"
Deg,
Ya Rabb, cobaan apalagi ini. Yang benar saja aku akan hidup seatap dengan manusia berperangai monster ini? Kelakuannya sepertinya lebih menyeramkan dari Revan.
"Jangan menakutinya, Ar!" larang Revan pada Ardi seketika meledakkan tawanya.
Bisa tertawa juga ternyata, batin Gita.
"Mel, pacarmu sudah ada tanda-tanda mencurigakan. Awasi dia!"
"Ckk, lama-lama bisa penat aku di sini. Ayo Sayang kita bersenang-senang saja! Baik-baik kamu di sini, Ras. Tolong jinakkan singa ini!"
Kini gantian Revan yang meledek Ardi membuat pemilik rumah bergaya modern itu melongo.
"Tunggu, Van! Terima kasih banyak, ya sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Melia yang mendengar ucapan tulus Gita justru menatapnya sinis.
"Kedepan tidak usah merepotkannya lagi!" cegah Melia.
"Tidak masalah, cukup doakan saja aku awet bersama Melia!" ucap Revan seraya mengecup pipi mulus pacarnya hingga bersemu merah. Gita yang melihatnya hanya tersenyum kaku, ternyata mereka sudah biasa melakukannya di depan umum.
"Mudah-mudahan kalian segera bertaubat dan menikah!" ucap Gita dalam doanya.
Sepeninggal dua sejoli itu menyisakan Ardi dan Gita yang masih setia duduk di ruang tamu. Anak buah Ardi pun sudah melesat entah kemana.
Detak jantung Gita semakin bertalu-talu. Ditatap intens dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat duduknya menjadi tak nyaman.
Melirik sekilas ke arah lawan, Gita segera menundukkan wajahnya saat matanya beradu dengan pemilik mata setajam elang yang duduk dihadapannya.
"Jadi, apa kamu sudah tidur dengan sahabatku?"
Gita tersentak mendengar pertanyaan gila yang dilontarkan majikannya. Memberanikan diri menatap wajah Ardi, Gita ingin berteriak tidak tetapi nyalinya sungguh menciut.
Aura dingin ditunjukkan majikannya dengan wajah penuh selidik masih menatap Gita.
"Apa kamu juga mau memberi pelayanan itu untukku, huh?" tegasnya membuat tubuh Gita meremang.
Benar saja dia lebih menyeramkan dari Revan.
"Ma...maaf, sesungguhnya saya takut."
Dengan tubuh masih gemetaran dan tenggorokan sedikit tercekat, air mata pun mengiringi ucapannya.
"Kamu sungguh takut?"
Tangan kanan Ardi sudah mencengkeram dagu runcing Gita. Wajah tanpa polesan itu aslinya memancarkan kecantikan alami jika dipandang dengan seksama. Bak berlian yang terlihat indah saat digosok.
"Saya takut sama Allah, saya belum pernah melakukannya dan tidak pernah mau melakukannya kecuali dengan suami saya."
Ardi tercengang dibuatnya. Sungguh ini tamparan pertama baginya. Gadis yang baru saja menjadi pelayannya justru dengan berani mengguruinya.
Sejatinya sudah lama dia melupakan Tuhannya. Lupa melaksanakan kewajiban seorang muslim.
Hampir sepertiga dari hidupnya dilewati dengan kesenangan dunia. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan, tetapi dianggapnya sebagai angin lalu. Kini dengan beraninya ada sosok asing yang menyentilnya.
Menatap nyalang wajah ayu di depannya, begitulah perasaan dalam hati yang tidak bisa dipungkiri Ardi.
"Kita buktikan, apakah kamu bisa bertahan tinggal di rumah ini!" ucap sinis Ardi sambil melepaskan cengkeramannya.
"Saya berencana menjadi ART di rumah Tuan. Saya bisa bersih-bersih, mencuci dan juga memasak." Sedikit terbata Gita berusaha menjawab dengan mantap.
"Aku tidak butuh itu, semua sudah dikerjakan Bi Irah."
Ardi kembali mendekati Gita dan menguncinya dengan kedua tangan menopang di sofa.
Gita menyadari posisinya tak nyaman sedikit mundur hingga punggungnya membentur sofa.
"Tuan mau apa?"
Tubuh Gita masih gemetaran melihat wajah Ardi semakin mendekat hingga napas mereka beradu di udara. Parfum menyejukkan menyeruak menusuk hidung Gita.
Sungguh ini pasti parfum mahal. Aromanya begitu menggoda.
Astaghfirullah, kenapa aku justru mengagumi parfumnya. Jelas-jelas aku di depan singa yang siap menerkam, bisa-bisanya berpikiran konyol begitu, guman Gita dalam hati.
"Ternyata kamu masih polos, huh. Melihat penampilanmu saja tidak menarik sedikitpun. Jauh dibandingkan dengan Melia," ledek Ardi seraya beralu meninggalkan Gita yang masih terpaku.
"Alhamdulillah."
Sedikit lega, Gita menarik napas dalam dan mengelus dadanya.
Tersadar dari pikirannya yang berkelana, Gita segera menyusul Ardi.
"Tuan, apa yang bisa saya kerjakan sekarang?"
Ardi mendadak berhenti dan berbalik membuat Gita menabraknya.
"Aww. Ma...maaf Tuan."
Posisi Gita tak menguntungkan, kedua tangannya yang menyandar di dada bidang Ardi segera ditariknya.
"Kamu mau menggodaku?" seringai ditunjukkan Ardi membuat Gita beringsut.
"Tidak, Tuan."
"Bi Irah."
"Ya, Tuan."
"Tolong, siapkan kamar untuk dia di sebelah kamar Bibi!" titah sang majikan seraya menunjuk Gita.
"Baik, Tuan. Ayo Non, saya antar ke kamar!"
Wanita paruh baya itu menggandeng Gita. Seketika ingatannya terlempar pada wajah ibunya di kampung.
"Maafkan Gita, Bu! Nanti kalau sudah mapan, Gita hubungi."
Tak terasa cairan bening mengalir membasahi pipinya yang sedikit tirus.
Berada di kamar yang telah disiapkan Bi Irah, Gita merenungi nasibnya.
Terlempar ke masa lalu.
Esok hari, sepulang sholat Idul Fitri, Bu Hastuti segera menutup rapat pintu rumahnya.
Rasa kaget dan heran seketika menghinggapi kedua anaknya.
“Bu, kenapa pintunya ditutup?” tanya Desi dengan muka heran tak paham.
“Biar saja, Nak. Tidak akan ada yang datang ke sini. Kita sekarang jadi orang susah.”
Gita dan Desi memahami kegundahaan keluarganya. Hari lebaran yang biasa tertata kue kering di meja ruang tamu, opor ayam dan ketupat di meja makan, kini hanya menjadi bayangan semu. Tidak ada makanan khas lebaran yang bertengger di kedua meja itu membuat hati ibunya menjerit. Seketika Bu Hastuti mengusap air mata yang menetes di pipinya. Hal ini tak lepas dari pandangan Gita yang sedari tadi mencerna suasana.
Melihat Pak Amran ayahnya sedang beristirahat di kamar, entah benar-benar beristirahat atau sedang memutar otak memikirkan keluarganya. Menatap ibunya yang sedang menangis sungguh membuat hati Gita tersayat. Di saat tetangga sekitar berlomba-lomba menerima tamu, justru keluarga mereka bersembunyi dibalik pintu.
Sejak kondisi ekonomi terpuruk, keluarganya pun tersisih dari lingkungan. Bak bangkai yang ada disekitaran mereka yang dapat menimbulkan bau. Tak ada rasa simpati dari tetangga, mereka menganggap keluarga Pak Amran seakan tak ada. Rasa hati Gita ingin jauh membawa pergi keluarganya dari kampung.
Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Gita.
Tersentak itulah yang dirasakannya, majikannya mendapati dirinya yang sedang tafakur dengan hidup keluarganya. Isakan kecil tadi apakah dia mendengarnya. Malu dirasakan Gita seketika.
Memilih pura-pura mengusap wajahnya dengan jilbab kaos instan yang dipakainya.
"Kenapa? Meratapi nasib? Kalau ingin merubah nasib menjadi baik bukan di sini tempatnya," cibir Ardi.
"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Gita mencoba abai dengan apa yang dilontarkan sang majikan.
Tidak usah sakit hati dengan apa yang diucapkan, demi air mata ibu yang menetes setiap malam, aku akan bertahan.
Setidaknya itulah janji Gita yang tertanam dihatinya saat ini.
"Sebentar lagi wanitaku datang, kamu cukup di kamar. Kalau aku tidak memanggilmu, jangan pernah keluar. Jangan mencampuri urusan pribadiku, mengerti!"
"Apa istri Tuan yang datang?" tanya Gita dengan perasaan hati-hati.
"Diam! Jangan sebut kata yang aku benci."
Bentakan Ardi membuat Gita tersentak. Satu kesalahan telah dia buat hingga tuannya murka, mendekat dan mencengkeram bahunya.
Ya Rabb, jangan sampai Tuan Ardi mengusirku.
Bab 8 Ancaman"Jangan sekali-kali menyebut kata itu di depanku! Mengerti!"Tatapan Ardi menusuk tajam membuat Gita gemetaran."Ba...baik, Tuan."Ardi berlalu meninggalkan Gita yang bergeming di tempatnya.Gebrakan pintu kamar membuatnya tersadar lalu dia mengelus dada seraya beristighfar."Non, jangan membuat Tuan Ardi marah! Sabar ya kalau tinggal di sini!"Wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART menelusup ke kamar dan menghibur Gita."Iya, Bi. Apa tuan memang tempramennya begitu? Kalau marah seperti monster?""Tidak juga, Non. Malahan Tuan Ardi yang bibi kenal orangnya ramah. Sejak pulang dari rumah orang tuanya jadi sering emosi begitu.""Tuan sudah menikah kan, Bi? Kenapa dia marah saat aku menanyakan istri karena ada wanita yang akan datang sebentar lagi.""Bibi nggak tahu, Non. Istrinya belum pernah diajak ke sini. Kalau tentang wanita, Tuan Ardi memang beberapa kali mengajak wanita cantik dan seksi kemari. Kadang diajak minum-minum bersama Tuan Revan.""Hah, Tuan Revan juga?
Bab 9A Khilaf "Oh, di sini tak nyaman ya?"Ardi menyeret Gita yang sudah meronta, lalu menghempaskannya ke ranjang king size.Gita sudah menangis dan sekuat tenaga melawan tuannya."Ya Rabb, tolonglah hamba!"Rintihan Gita tak menyurutkan kelakuan Ardi hingga membuat gadis itu pasrah dan perasaan bersalah pada suaminya melintas di benaknya.Saat manik mata Ardi mengunci lawannya yang pasrah, terbesit rasa bersalah dalam dirinya. Ada perasaan aneh yang tidak bisa digambarkannya. Debaran jantung yang kian meningkat memaksanya menyudahi ulahnya."Berapa umurmu?" tanya Ardi dengan tegas sembari membetulkan posisinya dan menarik tangan Gita supaya bangun.Memilih menjaga jarak dari singa yang baru saja jinak entah oleh apa, Gita mengusap air matanya. Sesekali masih ada isakan kecil yang tersisa."18 Tuan.""Pantas saja, nggak pernah disentuh laki-laki? Baru juga digertak sudah ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau yang di posisiku suamimu, huh? Pasti menyedihkan," ledek Ardi setengah m
Bab 9B Khilaf "Yang benar saja Tuan Ardi tidak jijik memakan bekas saya," guman Gita seraya keningnya mengerut. "Baru kali ini aku makan masakan lezat. Siapa yang masak, Ras?" "Maaf, Tuan. Capcay ini saya yang masak." "Bagus, besok dan seterusnya aku perintahkan kamu yang masak. Bi Irah biar mengerjakan yang lain." "Baik, Tuan." "Saya beri gaji yang pantas untukmu." Wajah Gita berbinar, dia berharap bisa mendapat gaji untuk bertahan hidup di kota Yogya tanpa sanak saudara. Dia harus segera mendaftar kuliah jika tidak mau terlambat tahun ini. "Tuan, besok saya ingin menemui teman. Apa saya boleh keluar?" "Teman? Memangnya kamu punya teman di sini?" "Iya, teman saya mau mendaftar kuliah, saya ingin bareng teman saya." "Jadi kamu mau kuliah? Baguslah, segera hengkang dari rumah ini biar tidak mengganggu moodku bersama Jessy." Deg, "Tuan Ardi sudah punya istri masih suka main perempuan, apa tidak kasihan dengan istrinya," batin Gita. "Kenapa Tuan Ardi tidak menikah saja biar
Bab 10A Nama Lengkapnya Siapa"Ta, kamu tinggal sama suamimu?""Hah, kamu ngacau deh, Ton. Aku kan kabur dari suamiku masak iya tinggal sama dia."Toni masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Apa mungkin pandangannya sudah kabur. Dia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Kayaknya aku perlu memeriksakan mataku, deh," ungkap Toni yang diangguki kedua sahabatnya."Kamu baik-baik saja kan, Ta?"Ela memeluk dengan eratnya membuat Gita sesak nafas."Sabar, El. Ayo kita cari tempat duduk!" ajak Gita yang sudah tak sabar mendongeng."Jadi, siapa yang mengantarmu tadi, Ta?" Toni sudah tak sabar menantikan cerita sahabatnya.Ela memukul lengan Toni hingga terdengar suara mengaduh."Kenapa nggak sabaran,sih? Nanyain dulu kabar Gita, bukannya malah tanya laki-laki....yang keren tadi."Kalimat Ela mantap di awal, tetapi lirih di akhir membuat Toni pura-
Bab 10B"Apa kamu sudah tahu wajah suamimu? Atau setidaknya namanya?Deg,Hati Gita mencelos, teringat kembali suami yang belum ada 24 jam dia tinggalkan. Wajahnya saja Gita belum tahu apalagi namanya. Apa aku harus menyerah dan kembali padanya sekarang, lalu bagaimana dengan keluargaku."Aku belum pernah melihat langsung wajahnya, bahkan namanya hanya nama belakang yang aku tahu."Sudah kuduga, Gita tidak tahu menahu soal suaminya. Bagaimana kalau dia benar-benar tinggal bersama suaminya sekarang. Apa dia akan selamat. Ah, setidaknya Gita diperlakukan baik saat ini. Aku harus membantu menyelidiki siapa Tuan Ardi."Ada apa, Ton?" Gita mengernyitkan keningnya melihat Toni yang terdiam melamun."Eh, nggak apa-apa. Ayo kita jalan-jalan mumpung aku di sini. Sore nanti aku balik ke Karanganyar."Mereka bertiga makan siang di mall tidak jauh dari kampus. Kali ini Toni yang mentraktir mereka makan.Sampai se
Bab 11A Pelukan hangatGita menyampirkan celana dan kemeja di sofa mini. Tak sengaja dompet yang ada di saku celana terjatuh di lantai. Gita memegangnya dengan tangan gemetar. Teringat pesan Toni untuk mencari tahu nama lengkap Tuan Ardi."Jess, mau kemana kamu?"Tubuh Gita tersentak saat dua tangan kekar merengkuhnya dari belakang. Dia terpaku dan merinding karena sentuhan yang tak terduga. Segera berbalik dan mendorong kuat tubuh Ardi hingga terbaring di ranjang, Gita tidak mau menjadi korban amukan. Dompet diselipkan kembali ke kantong, lalu Gita berlari dan menutup pintu kamar Ardi.Bersandar di balik pintu, Gita mengusap berkali-kali dadanya. Baru saja jantungnya berdetak normal tiba-tiba dikagetkan oleh suara yang memanggilnya."Non Laras!""Bi Irah.""Tuan Ardi sudah pulang?" tanya Bi Irah dengan wajah tertegun mengamati ekspresi Gita yang tidak wajar.Gita hanya mengangguk lemah."Bibi sudah bila
Bab 11B Pelukan hangat"Ada apa dengan Tuan Ardi, Non?""Nggak tahu, Bi. Tiba-tiba pingsan. Bantu aku mengangkatnya, Bi.""Kemana, Non?""Ke kamar saya aja yang dekat! Sepertinya badannya panas, Bi.""Bibi ambilkan kompres, Non."Gita mengangguk, dibetulkannya posisi tidur sang majikan di ranjangnya yang berukuran setengah kali ranjang Ardi.Bibi datang membawa baskom air hangat, lalu Gita meletakkan serbet yang sudah dibasahi ke kening Ardi."Bibi, bisa minta tolong bikinkan sup untuk Tuan Ardi! Saya akan menjaganya sambil sholat malam mumpung Subuh belum tiba.""Baik, Non.""Pintunya dibuka saja, Bi!"Bibi mengangguk patuh dan segera bergegas ke dapur.Di sepertiga malam, saat sebagian insan terlelap dalam lautan mimpi, Gita bersujud pada Rabbnya. Lantunan dzikir tak berhenti dari mulut mungilnya, untuk menyapa kekasih sejatinya Allah SWT.Mengadu pada Ya
Bab 12 ACuriga"Ardi, kamu semalam tidur dengan gadis kampung ini?" Raut wajah Jessy mendadak merah padam."Ya, kenapa? Siapa suruh kamu pergi ninggalin aku."Mata Gita sudah terbelalak, bisa-bisanya Tuan Ardi menyulut emosi.Bak menyiramkan bensin pada api yang menyala, Ardi sudah membuat Jessy semakin geram.Gelak tawa keluar dari mulut Ardi membuat kedua wanita terpaut jauh usianya memandang heran. Gita merasa berada dalam kecanggungan mengingat kejadian beberapa jam yang lalu."Jess, kamu serius amat. Yang benar saja, dia jelas tidak sebanding denganmu."Hati Gita mencelos, entah kenapa rasanya tak rela dibandingkan dengan Jessy.Beranjak dari duduknya, Jessy yang mulai tersenyum mendekati lawan bicaranya. Beradu kasih di depan mata Gita yang tiba-tiba memanas.Jessy sudah memberikan sarapan pagi untuk Ardi dengan kecupan mesra. Melihat Ardi mengusap bibirnya yang suda
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu
Bab 131 TipuanHari berganti hari hingga menjadi minggu, Cantika berperan dengan tipuannya sebagai wanita penggoda Sakha. Dia bersikap manja saat bersama laki-laki itu. Sesekali meluncurkan rayuan saat di depan Robert. Toni sampai harus menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat aksi mesra keduanya. Akting Sakha dan Cantika layak diberi apresiasi seperti bintang sinetron"Gimana, Sayang. Kita ambil saja proyek dengan Pak Robert. Track recordnya sudah tidak diragukan lagi. Bagi hasil keuntungannya juga besar. Ayolah, nanti setelah proyek selesai, kita bisa liburan ke pulau yang indah berdua," ungkap Cantika dengan gaya centilnya.Robert yang melihat dari balik meja kerjanya tersenyum menyeringai. Dia memang memerintahkan Cantika untuk merayu Sakha supaya bisa diajak kerja sama. Dengan nama perusahan Sakha, kerja ilegal Robert bisa disamarkan."Baiklah, saya perlu membaca surat kerjasamanya terlebih dulu Pak Robert. Paling lama tiga hari, saya akan memberi kabar hasilnya.""Jangan lam
Bab 130 SepakatSetengah jam, Sakha dan Toni duduk di luar kamar yang dimasuki Cantika dan wanita yang sudah renta tadi. "Pak, gimana? Kenapa gadis itu belum keluar juga?"Sakha hanya mengedikkan bahu. Ia lalu beranjak dari duduk dan mendekati kamar. Berhenti sejenak di depan pintu yang sedikit terbuka. Tampak di sana Cantika sedang membenarkan posisi yang nyaman untuk wanita tua tadi."Nek, istirahat saja. Ika baik-baik saja, kok.""Jadi gadis itu biasa dipanggil Ika. Pantas tidak ada yang kenal Cantika."Sakha mengembuskan napasnya kasar. Ia baru sadar kalau Cantika bekerja untuk menghidupi wanita tua yang pantas jadi neneknya itu.Beberapa menit kemudian, Cantika sudah turun dari ranjang dan berniat keluar. Sakha segera kembali ke kursi duduk bersama Toni."Gimana, Pak?" tanya Toni penasaran.Sakha hanya memajukan dagu ke arah pintu kamar di mana Cantika keluar dari sana."Kenapa kalian masih ada di sini? Sana pergi, jangan ganggu aku!"Cantika melenggang masuk ke sebuah ruangan ke
Bab 129B Ancaman"Berhenti! Atau kalian babak belur keluar dari sini.""Ups, sial. Gadis ini kuat juga, Bos.""Awas!" pekik Sakha saat bogeman Cantika mengenai Rahang kiri Toni.Tidak keras tetapi mampu membuat nyeri di pipi Toni."Astaga, perempuan ini ganas sekali."Sakha jengkel sekaligus menahan tawa. Bisa-bisanya ia dan Toni dikalahkan perempuan."Oke,oke. Kami mundur. Sekarang katakan. Apa tujuanmu berbuat licik padaku, hah?"Sakha mencoba bernegosiasi. Ia tidak ingin salah melangkah dan akhirnya usahanya membela hak warga gagal."Aku jelas butuh uang. Jadi kalian pergi saja. Karena kedatangan kalian ke sini hanya akan membuat masalah bagiku.""Oke, berapa uang yang kamu butuhkan? Aku bisa mencukupi lebih banyak dari yang diberikan Robert. Kamu tahu dia bukan siapa-siapa. Dia mantan napi karena sudah menipu ayahku. Sekarang katakan butuh uang berapa kamu? 100juta, 200juta, setengah milyar?"Cantika terkesiap mendengar uang yang besarnya menggoda."Pak. Jangan gila! Pak Ardi tidak