Di dalam kamar, Damaira menangis, meratapi kebodohannya, yang telah memberi sedikit celah pada Negan untuk bisa masuk ke dalam kehidupannya.
"Harusnya memang sejak awal aku menyekolahkan Ezra di tempat lain," gumam Damaira."Sok kuat kamu, Ra. Nyatanya kamu hanya sangat lemah," Damaira memaki dirinya sendiri.qSetelah puas menumpahkan segala rasa yang ada, Damaira menghubungi Dinda."Apa kamu sedang sibuk?""Tidak, Ra. Ada apa?""Aku ingin memindahkan sekolah Ezra, apa kamu memiliki rekomendasi sekolah lain?""Memangnya ada apa? Kenapa mendadak ingin memindahkan Ezra?""Nanti akan ku jelaskan, ini rumit, Din. Harusnya aku mendengarkanmu sejak awal.""Apa karena ayah dan anak itu?"Damaira terdiam, itu cukup menjadi jawaban bagi Dinda.Terdengar Dinda menghela nafas. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Dinda justru memberi masukan yang di luar dugaan."Ra, coba kamu tanya pada Pak Mahesa. Aku yakin dia mempunyai banyak informasi tentDamaira berpikir sejenak, nampak sekali keraguan dalam wajahnya."Keysha pasti senang jika kita makan malam bersama, kalau kamu malas keluar, aku akan menjemputmu. Bukankah rumah kita jaraknya tak terlalu jauh?"Damaira tersenyum, "Aku akan bicarakan dulu pada Ezra, nanti ku kabari lagi."Mahesa tak ingin memaksakan kehendak, akhirnya hanya mengangguk walau dalam hati kecilnya dia sedikit kecewa."Jika dilihat-lihat, Mas Mahesa masih di kantor, sepertinya aku terlalu menyita waktumu. Lebih baik tunaikan kewajibanmu lebih dulu, Mas. Aku akan bicarakan tentang makan malam pada Ezra setelah ini.""Baiklah. Aku tunggu kabar baik dari kalian."Damaira menghela nafas pelan, membayangkan keramaian yang akan ditimbulkan saat dua bocah itu bertemu membuat kebahagiaan tersendiri untuknya.Baru saja Damaira ingin beranjak dari tempat duduknya, panggilan kembali masuk ke dalam nomornya, kali ini panggilan dari Isa. "Halo, Sa?""Apa terjadi sesuatu?" tanya Is
Setelah mendapat balasan dari Damaira, jika wanita itu setuju untuk makan malam bersamanya, Mahesa segera pulang.Dia harus memberi kabar ini pada Keysha, anak itu pasti akan sangat senang."Tumben sudah pulang, Sa?" Mahesa mendekati sang ibu lalu mencium punggung tangannya."Iya, Bu. Keysha mana?""Sepertinya di dekat kolam renang, tadi membawa biolanya. Tumben pulang-pulang langsung tanya di mana Keysha?" Mahesa meringis. Duda anak satu itu menceritakan rencananya nanti malam bersama Damaira dan Ezra.Ajeng menepuk lengan anaknya, lalu tersenyum. Tanda dia mendukung rencana anaknya.Semenjak Keysha lahir hingga sekarang, Mahesa tak pernah sekalipun membicarakan perempuan, apalagi mengajak makan malam. Sempat ada kekhawatiran di hati Ajeng anaknya akan menjadi duda lapuk. Kini Ajeng bisa bernafas lega.Mahesa segera mencari Keysha di kolam, rupanya anak itu sedang memainkan biola kesayangannya.Keysha berseru saat melihat ayahnya pulang."Tu
Setelah Mahesa keluar dari ruangan itu, barulah Damaira bisa bernafas. Dia menghirup dalam-dalam udara yang ada, mengisi rongga dadanya dengan udara serta memasok oksigen ke otak agar bekerja dengan baik."Fiiuuuhhh!!!"Damaira mengeluarkan nafas dengan satu dorongan. Memegang jantungnya yang berdebar. "Jantung, kamu sehat, 'kan?" monolog Damaira.Kemudian Damaira mencubit lengannya."Aduh! Sakit!" Ternyata yang baru saja terjadi bukanlah sebuah mimpi atau sekedar halusinasi.Sayangnya, otak pintar tak bisa diajak kompromi karena telah memutar kembali kejadian-kejadian lima tahun yang lalu, sebuah pengkhianatan yang tak bisa dia lupakan. Membuat Damaira penuh keraguan untuk melangkah, waktu lima tahun yang dia kira cukup untuk melupakan masa lalunya ternyata salah.Damaira tak ingin hal itu terulang kembali, jadi dia harus memikirkan semuanya dengan baik dan tidak terburu-buru mengambil keputusan.Mahesa dan anak-anak kembali ke ruangan. Ke
Damaira melihat layar ponselnya, terlihat nama orang yang baru saja melamarnya di layar pipih tersebut–Mahesa.Entah mengapa jantungnya mendadak berdebar-debar tak karuan. Damaira mengehela nafas untuk mengurai kegugupan, lalu menggeser icon telepon berwarna hijau itu. "Halo, Mas.""Apa kamu sudah tidur? Apa aku mengganggumu?" tanya Mahesa dari seberang sana.Mahesa memutuskan untuk menelpon Damaira karena sempat melihat wanita itu mengetik di room chat mereka, namun tak jua pesan itu terkirim."Tidak, Mas. Belum mau tidur dan tidak mengganggu. Pukul berapa sampai di rumah?""Beberapa menit yang lalu. Apa aku boleh mengganti panggilan menjadi video?" tanya Mahesa.Damaira diam sejenak, lalu merapikan diri di depan cermin meja riasnya. Memastikan bahwa penampilannya rapi dan cantik."Boleh, Mas."Panggil pun berganti menjadi video setelah Damaira menyetujui perhatian itu."Apa Ezra sudah tidur?""Sudah, Mas.""Isa marah tidak?" Damaira
"Ezra!" sebuah seruan dari suara yang sangat familiar di telinga keduanya.Celine!Kenapa Celine harus memanggil Ezra, padahal cukup diam dan pura-pura tidak tahu. Bocah cilik itu seakan lupa dengan pesan sang ayah. Celine hanya senang bisa melihat Ezra. Bagaimana pun Ezra memiliki tempat tersendiri di hati gadis cilik itu, meski mereka berbeda ibu, bukankah satu ayah, darah yang sama mengalir di tubuh keduanya.Dengan tersenyum Celine berjalan mendekat ke arah Damaira dan Ezra.Damaira hanya memandang Celine tanpa ekspresi, jika boleh jujur, dia tak ingin melihat anak kecil berwajah mirip Sita itu."Kenapa kamu tidak masuk sekolah?" tanya Celine.'Memangnya apa urusannya denganmu?' Ingin rasanya Ezra berkata seperti itu. Namun, dia tak sampai hati.Ezra menepuk pundak Celine."Maafkan aku dan Mamaku, mungkin kami telah berbuat salah dan menyakitimu. Kalau begitu kami pergi dulu, jaga dirimu baik-baik, Celine." Ezra mengajak ibunya untuk seg
Damaira mengangguk mengiyakan permintaan Naya. "Aku akan panggilkan dia atau kamu yang akan ikut ke ruanganku?" Damaira memberi pilihan pada Naya.Untuk menjaga privasi semuanya, Naya memilih untuk ikut masuk ke ruang kerja Damaira.Damaira masuk setelah mengetuk pintu."Sayang, ada yang mau kenalan."Ezra yang tadinya sibuk dengan rubiknya menghentikan kegiatannya dan berjalan mendekati sang ibu. Pandangannya tidak lepas dari Naya."Kenalkan, nama Tante ini, Tante Naya–Finnaya. Adik pertama dari Papamu."Ezra yang mulai terbiasa dengan budaya di Indonesia mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Naya."Prince Ezra, Tante.""Anak pintar, anak tampan," ucap Naya seraya menepuk bahu Ezra.'Mirip sekali dengan Mas Negan,' batin Naya.Damaira meminta Naya untuk duduk lebih dulu."Tante, sedang hamil ya?""Iya.""Boleh aku pegang?" Naya mengangguk."Dia laki-laki atau perempuan, Tante?""Rahasia," jawab Naya seraya mengerlingkan sebelah matanya.Membuat bocah cilik itu berdec
Naya memandang wajah Celine yang begitu ingin tahu tentang mantan istri ayahnya, membuatnya serba salah.Naya membelai lembut kepala Celine."Iya, Tante mengenal Tante Ira, Celine.""Memangnya ayah dan Tante Ira ada hubungan apa, Tante? Kenapa Tante Ira sepertinya sangat membenci ayah?" Celine melanjutkan pertanyaannya.Naya menghela nafas panjang, untung saja dia sudah belajar tentang dunia anak kecil yang penuh dengan keingintahuan, selesai satu pertanyaan, akan timbul pertanyaan baru.Alih-alih menjawab, Naya yang penasaran mengapa Celine bertanya seperti itu memilih untuk bertanya lebih dulu."Memangnya ada apa? Coba Celine ceritakan pada Tante, kenapa Celine bertanya seperti itu?"Tanpa ada paksaan, bocah cilik itu bercerita dengan sendirinya, setiap kejadian yang terjadi antara dia, Ezra, ayahnya, dan Damaira selama beberapa hari ini.Naya sudah bisa menyimpulkan semuanya dari cerita Celine. Rupanya mereka sudah cukup lama bertemu. Dia harus mem
Keheningan yang terjadi di dalam mobil sedan Mercedes Benz itu. Mahesa melirik Ezra melalui spion tengah, hal yang sama pun dilakukan oleh bocah cilik itu.Mahesa membelokkan Mobil masuk ke dalam pom bensin."Ezra, bagaimana kalau kita ke minimarket sebentar?""Ok, Dad." Anak itu langsung setuju seakan tahu tujuan Mahesa menghentikan mobil tersebut di pom bensin.Mahesa menepuk bahu Damaira sebelum keluar dari mobilnya."Aku dan Ezra akan menunggumu diluar."Damaira memandang wajah tampan Mahesa, mata indahnya telah berkaca.Mahesa tersenyum lalu mengacak sedikit puncak kepala Damaira, hal yang baru pertama kali dia lakukan.Melihat ibunya seakan menginginkan sebuah bahu untuk sandaran, Ezra berinisiatif untuk membiarkan Mahesa tetap berada di mobil."Dad, Daddy temani saja Mama. Aku akan ke minimarket sendiri, Daddy cukup beri aku uang."Mahesa menoleh pada Ezra, "Jangan Ezra terlalu berbahaya." "Aku sudah besar, Dad." Tanpa menungg