Arsen memarkir mobil di dekat pintu masuk taman. Begitu mesin dimatikan, Ayara melirik ke kursi belakang, memastikan Aciel masih nyaman di car seat-nya. Anak kecil itu tampak menggerakkan kaki kecilnya, tak sabar ingin segera turun."Udah gak sabar banget ya?" tanya Ayara sambil tersenyum lembut."Iya, Bunda!" jawab Aciel dengan semangat. Ia mengulurkan tangannya, meminta digendong.Ayara membuka pintu belakang dan mencoba mengangkat Aciel. Tapi anaknya yang makin berat membuatnya sedikit kesusahan. Ia melirik ke arah Arsen yang sudah berdiri di sisi lain mobil. "Pak Arsen," panggilnya. “Boleh minta tolong gendong El keluar?”Arsen mengintip ke dalam mobil, di mana El sedang tersenyum lebar sambil membuka tangannya agar segera dibawa keluar.Arsen tidak ada alasan untuk menolak permintaan Ayara. Dengan mudahnya laki-laki itu mengangkat tubuh gembul El dari mobil.Setelah semuanya turun, ketiganya mulai melangkah menuju jalan lintasan taman. Sepanjang jalan El tersenyum lebar, anak it
Pagi itu, kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Ayara yang baru beberapa menit lalu tiba dan duduk di mejanya, mendengar beberapa rekan berbicara dengan nada setengah berbisik. Desas-desus tentang masalah keuangan perusahaan menyebar cepat, menggerakkan setiap orang di sudut ruangan untuk membahas tentang ini.“Katanya ada selisih pengeluaran di laporan bulan lalu. Nggak main-main, jumlahnya sampai ratusan juta,” ucap salah seorang staf dengan wajah cemas.Ayara mengerutkan kening, mencoba fokus pada berkas di hadapannya. Tapi pembicaraan itu terus mengusik. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, bangkit, dan melangkah menuju ruangan tim finance.Di ruangan itu, beberapa orang terlihat sibuk, sebagian berkutat dengan tumpukan dokumen, sementara yang lain mengetik cepat di depan layar komputer. Situasi tampak tegang.“Pagi, Pak. Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Ayara, suaranya tegas namun tidak meninggikan nada.Kepala tim finance, Pak Wahyu, mendongak dari tumpukan kertas di depa
Hari ini, sesuai dengan rencana yang telah disepakati, Ayara dan Arsen mulai bergerak. Mereka menyusun strategi untuk menelusuri setiap jejak transaksi mencurigakan dari pihak-pihak finance . Dari tumpukan laporan keuangan hingga komunikasi dengan pihak finance semuanya harus diperiksa dengan teliti. Namun, mereka dapat kabar jika bagian internal sudah ada tim yang dikerahkan sang pimpinan perusahaan.“Ada yang mencurigakan?” tanya Ayara pada salah satu tim.“Ada, salah satu karyawan divisi ini pernah melakukan transaksi pembayaran kepada salah satu vendor,” jelasnya dengan menunjukan layar kepada Ayara dan Arsen.Di sana mereka dapat melihat nomor khusus staff finance, serta nomor rekening tujuan. Yang menandakan bahwasanya benar salah satu dari divisi ini yang melancarkan aksi.“Baiklah, terima kasih banyak.” Ayara pergi dari sana, tak lupa ia meminta data tersebut untuk kelancaran proses selanjutnya. “Kita butuh bantuan it untuk melacak kontak pemilik rekening itu, Mas,” ujar Ayar
“Kenapa aku bisa ada di kamar?” Ayara bangkit dari tidurnya.Ia memandangi sekitarnya, ini benar-benar kamarnya. Pertanyaannya masih sama, kenapa bisa ia di sini? Bukannya tadi malam seingatnya ia ada di ruang meeting bersama Arsen, lalu ia tertidur di sofa, dan lalu …. Ia lupa apa yang terjadi setelahnya.“Nggak! Nggak mungkin kan?” Ayara menutup wajahnya dengan selimut di badan. Ayara buru-buru berlari dari ranjang menuju kamar mandi. Ritual paginya berlangsung lebih lama dari biasanya, karena semalam ia tidak mandi, maka pagi ini ia jamak saja.Begitu selesai, Ayara langsung turun ke bawah. Ia merindukan putra gemasnya. Bahkan karena masalah itu, ia melupakan putranya.“Sayang, maafkan Bunda ya. Maaf Bunda tadi malam tidak menemani El tidur.” Ayara menghampiri dan mencium seluruh wajah putra tampannya yang baru selesai sarapan.“No no cium, Bunda.” El menggeleng geli dengan tingkah ibunya. Ayara tertawa kecil melihat respon anaknya. Ayara mengambil tempat di samping El setelah me
Di dalam kantor polisi yang penuh dengan ketegangan, Janu duduk di ruang pemeriksaan dengan wajah penuh putus asa dan kemarahan yang tertahan. Ayara, Arsen juga berada di sana dan tak lama kemudian Kakek tiba di sana. Mereka duduk di ruangan berbeda, menunggu hasil pemeriksaan Janu dengan ekspresi serius.Suara langkah kaki dengan suara yang nyaring menyita perhatian. Tidak lama kemudian, pintu ruang tunggu terbuka dengan kasar. Laras dan Nirmala masuk dengan wajah yang dipenuhi emosi. Nirmala, dengan sanggul yang tinggi di atas kepala serta gaun mahalnya yang tampak berantakan, langsung menghampiri Ayara dengan sorot mata penuh kebencian.“Semua ini gara-gara kamu!” suaranya meninggi, hampir berteriak. “Kamu pikir kamu siapa sampai berani menyeret Janu ke dalam masalah ini? Apa kamu nggak punya hati?”Ayara tetap duduk tegak, mencoba bersikap tenang meskipun hatinya bergetar hebat. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi tak menyangka Laras dan Nirmala akan seagresif ini.Laras, yang sejak
Malam itu, di bawah langit yang mulai gelap, Ayara duduk di sebuah meja dekat pojokan. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, sementara pikirannya dipenuhi oleh segala tanya ‘apa tujuan Arsen memintanya bertemu?’Memang seharian ini mereka belum ada ketemu, selain karena perkara menyiasati korupsi telah selesai, pria itu ada pertemuan dengan rekan bisnisnya yang lain. Lalu, tiba-tiba suara langkah kaki mendekat. Ayara mendongak untuk melihat pemilik sepatu hitam mengkilap tersebut. Ternyata Arsen yang berdiri di sana dengan senyum tipis di wajahnya.“Maaf membuatmu menunggu lama “ Arsen duduk di depan Ayara.“Nggak lama, kok. Aku baru juga sampe. Ohiya, kenapa Mas Arsen mau kita ketemu?”Arsen menghela napas panjang, perempuan ini sangat tidak sabaran. “Bagaimana kalau kita pesan dulu?”Ayara mengangguk setuju, kemudian keduanya memutuskan memesan makanan terlebih dahulu. Setelah pelayan pergi, tinggallah kedua kembali. Suasana canggung tiba-tiba mendominasi, bukankah akhir-akhir i
Keesokan harinya matahari bersinar dengan terangnya. Suasana panas di luar sana sangat menggambarkan suasana hati seseorang yang sedang menahan murkanya.Saat ini Ayara baru saja kembali dari kantin dan hendak menuju ruangannya, tiba-tiba Laras muncul di depannya dengan wajah marah. Tanpa aba-aba, Laras menarik hijab Ayara dengan kasar, sampai-sampai wajah Ayara mendongak ke atas.Inilah perempuan yang dimaksud sedang sangat menyala, seperti matahari."Apa yang kamu mau lagi, hah?!" bentak Laras penuh kemarahan.Ayara tersentak, berusaha melepaskan cengkraman Laras. "Laras, lepaskan aku!"Namun, Laras semakin keras mencengkeramnya. "Kamu pikir setelah menjebloskan suami aku ke penjara, kamu bisa hidup tenang, hah!?"“La-ras, lepaskan dulu,” pinta Ayara semakin terbata karena sekarang perempuan itu mencekik lehernya.Bukannya melepaskan cekikan atau tarikan pada hijab Ayara, justru Laras semakin menggila sampai-sampai mengayunkan hijab di kepala Ayara yang masih di tangannya.“Suamiku
Kabar tentang Ayara yang ternyata adalah cucu dari pemilik DMW Crops menyebar dengan cepat. Tak hanya di dalam lingkungan perusahaan, tetapi hampir di seluruh penjuru kota orang-orang membicarakannya. Statusnya sebagai pewaris sah perusahaan itu menjadi topik hangat yang sulit dihindari. Berita itu juga telah sampai ke telinga Nirmala. Wanita itu yang baru saja keluar dari kantor polisi setelah menjenguk Janu. Wajahnya pucat, matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Harus menerima kenyataan anaknya mendekam di penjara. Sementara Laras kini duduk di sampingnya di dalam mobil, diam dengan ekspresi penuh amarah dan frustrasi. Tak jauh berbeda dengan Nirmala, Laras juga sama shock mendengar jika Ayara cucu pemilik DMW Crops. Kemarin ia hanya mengira itu pura-pura, ternyata ia salah. “Kita harus bicara sama Ayara!” suara Nirmala terdengar panik. “Ibu nggak percaya dia ternyata cucu pemilik perusahaan. Ibu... aku sudah memperlakukan Ayara dengan buruk selama ini...” Laras mende
Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t
Malam itu, Ayara masih duduk di samping Kakeknya. Angin malam yang sejuk menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi.Kakek menghela napas panjang, mengusap janggut putihnya sebelum akhirnya menatap cucunya dengan pandangan yang lebih lembut."Ayara..." suaranya terdengar lebih tenang, tidak lagi sekeras sebelumnya. "Kakek hanya takut kamu terluka lagi."Ayara menggenggam tangan Kakeknya, jemarinya hangat meski hatinya masih terasa berat. "Aku tahu, Kek. Tapi kali ini aku yang memilih. Aku gak mau perempuan lain mengalami apa yang pernah aku alami."Kakek diam sejenak, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Kamu benar-benar keras kepala, ya?"Ayara tertawa pelan. "Bukan keras kepala, Kek. Cuma... aku gak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja.” Kini Ayara melirih."Kamu benar-benar seperti almarhum ayahmu."Ayara menoleh, terkejut dengan ucapan tiba-tiba sang kakek. "Apa maksud Kakek?"Kakek mengubah raut wajahnya yang tegas dengan ters
Langit mendung menggantung rendah ketika Ayara tiba di kafe kecil tempat ia berjanji bertemu dengan Laras. Matanya langsung mencari sosok perempuan itu di antara meja-meja yang hampir penuh. Saat menemukan Laras duduk di sudut ruangan, Ayara langsung terdiam.Perempuan itu mengenakan sweater oversized, tetapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Ada lebam ungu di pelipisnya, bibirnya pecah, dan di sudut matanya masih tampak sembab seolah habis menangis semalaman."Laras..." Ayara menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya.Laras menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayara. "Maaf, aku bikin kamu repot."Ayara menggeleng cepat. "Apa yang terjadi?"Laras menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar serak. "Sejak malam aku pulang dari rumahmu itu... hidupku berubah jadi neraka, Ra." Ia menelan ludah, matanya menatap kosong meja di depannya. "Ibu Nirmala selalu pukul aku, hampir tiap hari dia datang ke rumaku. Aku mau ngelawan, tapi aku gak … aku gak bisa
Angin berembus lembut melewati jendela besar yang terbuka, membawa aroma hujan semalam yang masih tersisa di udara. Arsen duduk di sofa ruang tamu, menyesap kopi yang sudah mulai dingin. Di depannya, Ayara sibuk mengelus kepala El yang tertidur di pangkuannya.Hari itu, suasana di rumah terasa tenang. Selain karena berlibur dari kegiatan kantor, juga karena dapat bersantai dengan orang tersayang. Arsen sengaja datang ke rumah Ayara, karena mendapat kabar jika El terus rewel dari semalam. Padahal sekarang sudah jam sepuluh pagi, tetapi anak itu masih tertidur, mungkin karena suara geledek dan petir tadi malam membuat tidur El tak nyenyak seperti biasanya.“Apa kita bawa aja ke dokter, Ay?” Arsen menatap cemas El, bahkan kedatangannya hanya disambut dengan pelukan saja oleh anak itu, setelahnya El kembali tertidur.“Nggak usah, Mas. Ini dia cuma kurang tidur aja, palingan bentar lagi juga bangun.” Arsen tak lagi membalas, ia cukup menunggu dan menemani anak itu sampai bangun. Hari ini
Hari di mana Ayara mendatangi rumah Arsen untuk makan malam, itu menjadi hari terakhir keduanya berjumpa karena esok harinya Arsen langsung melakukan penerbangan.Sejak Arsen pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota, Ayara menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja, lalu mengurus El, dan menikmati waktu luangnya dengan menemani sang anak bermain.Namun, ada satu hal yang berbeda—keheningan yang muncul setiap kali ia menyadari bahwa tidak ada Arsen di sekitarnya. Mungkin itu terjadi karena Ayara terbiasa dengan adanya Arsen di sisinya.Satu minggu bukan waktu yang lama, tetapi cukup untuk membuatnya merasa ada yang kurang. Arsen juga tidak bosan-bosan menghubunginya, menanyakan kegiatannya, dan tentu saja, meminta foto—entah itu foto Ayara atau El."Ay, pap dong.""Mas lagi sibuk kerja di luar kota, bukannya fokus kerja malah minta pap terus." "Biar semangat kerja, dong. Sekali aja."Ayara hanya tertawa membaca pesan-pesan Arsen yang selalu mengganggunya di sela waktu kerja. Ka
Arsen duduk di dalam mobilnya, menatap lurus ke arah rumah besar yang berdiri megah di depannya. Jari-jarinya menggenggam kemudi erat, sementara dadanya terasa sesak oleh ketegangan yang semakin menumpuk. Kakek adalah sosok yang bijaksana, tetapi Arsen tahu bahwa pria tua itu juga tidak mudah memaafkan. Apalagi jika menyangkut Ayara—cucu kesayangannya. Arsen sadar bahwa kesalahannya bukan hanya melukai hati Ayara, tetapi juga mengecewakan orang yang telah mempercayainya.Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya, ada rasa takut yang menyelinap di dadanya. Bagaimana jika Kakek benar-benar marah? Bagaimana jika ia tidak bisa memperbaiki semuanya?Namun, di sisi lain, Arsen tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menghindar. Jika ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Ayara, maka ia harus bertanggung jawab."Aku harus menghadapinya," gumamnya pada diri sendiri.Dengan tekad yang sudah bulat, Arsen keluar dari mobil
Hari jampi petang dan Arsen baru saja pulang dari kantor dengan langkah lelah. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan tak menentu, dan pikirannya terus-menerus memikirkan Ayara.Bagaimana mungkin ia bisa melupakan perempuan itu dengan mudahnya. Ia benar-benar tulus dengan cintanya kepada Ayara. Namun, ini semua terjadi dengan sangat tiba-tiba.Saat ia tiba di rumah, ia tidak mendapati keberadaan ibunya, mungkin wanita itu di dapur pikirnya. Arsen melangkah masuk, berpapasan dengan Bagas yang datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tidak ada Aurel yang membuatkan. Lantas ke man perempuan itu?"Aurel ke mana?" tanya Arsen akhirnya, suaranya terdengar datar.Bagas menyeruput kopinya sebentar sebelum menjawab, "Lagi jumpa Ayara."Seketika, Arsen menegang. Alisnya berkerut dalam keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan."Apa?" Arsen menatap Bagas tak percaya. “Ngapain dia?”Bagaimana bisa? Aurel yang dengan terang-terangan menentang hubungannya dengan Ayara, yang bahkan menyebabkan per
“Siapa yang datang?”Ayara tersentak pelan ketika suara kakek menembus telinganya. Ia menoleh sedikit, tanpa memindahkan badannya dari sela pintu.Kakek berhenti di belakang pintu yang sengaja dibuka sedikit. Pria tua itu memutuskan menyusul Ayara karena perempuan muda itu tak kunjung kembali. Hening sejenak mengisi suasana, Kakek tergerak menarik pintu besar itu. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita yang tidaklah asing baginya, selain dia salah satu karyawan di kantor, juga perempuan itu adalah orang yang pernah mencelakai Ayara.“Ada keperluan apa kamu datang ke sini?” Kakek membuat Laras tak berani menengadah tatapannya.Ayara mengusap lengan atas kakeknya, seolah mengatakan biar dirinya saja yang bicara dengan Laras. “Kakek tunggu di dalam aja, aku bicaranya gak lama, kok,” pinta Ayara dengan suara pelan. Kakek menyetujui, lalu pergi.Kalau ni atensi Ayara kembali pada Laras seorang. Tadi ia baru bertanya dengan siapa perempuan itu kemari, tiba-tiba kakek menyusul.Awalnya Ay
“Kenapa teleponnya terputus ya?” Arsen mengotak-atik layar ponsel. Ia memilih memasukkan benda pipih itu ke dalam saku jas. “Siapa yang datang?”Suasana di sekitar Arsen berubah drastis begitu ia menerima telepon dari mamanya. Ada desahan ringan yang keluar dari mulutnya, matanya yang tadinya fokus pada pekerjaan di mejanya kini terlihat gelisah.Ia segera merapikan barang-barangnya, laptop dimatikan, dokumen-dokumen disusun rapi, dan jaketnya diambil dari gantungan. Langkahnya cepat, hampir terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendesak atau penting (?) di rumah. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit tegang, alisnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat. Pikirannya melayang, bertanya-tanya siapa yang menunggunya di rumah. Mungkinkah Ayara? Akankah Ayara berubah pikiran dan kembali padanya?Sesampainya di rumah, Arsen membuka pintu dengan hati berdebar. Matanya langsung mencari sosok yang ia harapkan. Namun, yang ia temukan justru membuatnya terkejut. Bukan Ayara, melai