"Tuan Brian, saya mohon! Kalau saya dipecat, bagaimana saya akan menghidupi keluarga saya?" Seorang pria paruh baya tampak menyedihkan, berlutut di hadapan Brian dengan kedua tangan yang disatukan, memohon-mohon."Pak, silahkan berdiri." Adrian membantu pria paruh baya itu untuk berdiri dan tidak lagi berlutut.Bukan Brian yang merasa kasihan, justru Adrian yang merasa tak tega. Apalagi saat ia melihat Brian yang sedikit pun tidak bergeming.Brian hanya membaca berkas-berkas pekerjaannya dengan jauh lebih teliti, Brian tidak akan gegabah lagi. Brian akan memastikan, bahwa tidak ada lagi orang-orangnya yang berusaha menyaingi tikus got dalam hal mencuri."Kau pikir kau siapa! Hanya karena kau memiliki jabatan yang tinggi kau jadi seenaknya, tidak punya rasa kasihan pada orang lain, masalah ini bahkan sudah bertahun-tahun dan kau mengungkitnya lagi!" Karena kesal melihat Brian, pria paruh baya itu akhirnya berteriak menyuarakan kekesalannya."Pak!" tegur Adrian, 'apakah dia belum pernah
"Aku sudah katakan padamu berulang kali, jangan pernah menyebut nama Luna di hadapan Brian," tegur Adrian pada Sely.Pada akhirnya, mereka tetap pulang bersama. Meski Brian dengan wajah datarnya serta mulut yang tertutup rapat, setelah apa yang dikatakan Sely."Aku kelepasan, sungguh! Aku benar-benar tidak sengaja," ujar Sely, diam-diam ia menatap Brian yang duduk memejamkan matanya menghadap mereka, kedua tangannya ia lipat di depan dada."Tidak usah berisik, dia sedang tidur," bisik Adrian lagi.Saat ini, mereka masih dalam pesawat untuk perjalanan pulang. Tak lama, hingga mereka bisa kembali menghirup udara segar tanah air. "Anda mau kemana? Pengawal akan mengantarkan kita," tegur Adrian saat melihat Brian yang berjalan berlawanan arah."Kalian, pulanglah. Aku harus pergi ke suatu tempat," ujar Brian.Brian pergi dengan menggunakan taksi, meninggalkan Adrian dan Sely, serta seorang pengawal yang datang menjemput mereka. "Apa kita harus mengikutinya?" gumam Sely setelah mereka hany
"Adrian!" seru Sely dari balik telpon."Sely! Sungguh, kau mengganggu tidurku. Kau tahu, aku baru sampai di rumah satu jam yang lalu dan aku baru tidur selama tiga puluh menit!" omel Adrian, lelah diiringi rasa kantuk membuatnya tidak bisa bersabar."Brian! Para pengawal sedang membawanya ke rumah sakit, sekarang aku ada di depan apartemen kamu, kita harus ke rumah sakit, sekarang!" seru Sely yang tidak menghiraukan omelan Adrian.Adrian dengan sisa kantuk yang masih bersemayam, membuatnya sulit menangkap apa yang sebenarnya dikatakan oleh Sely. Adrian hanya diam selama beberapa saat, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Hingga ia mulai tersadar sepenuhnya."Brian?" tanya Adrian dengan suara yang nyaris memekik, ia segera melompat dari tempat tidurnya."Apa yang dia lakukan hingga harus masuk ke rumah sakit!" gerutu Adrian, segera menyambar jaketnya untuk menutupi baju kaos polos yang ia kenakan.Saat membuka pintu apartemennya, Adrian langsung menatap Sely yang berjongkok. Ia
"Bukankah lebih baik jika kita juga ikut mencari tahu, tidak hanya mengandalkan para pengawal saja," ucap Sely, memberi saran.Sudah beberapa hari berlalu, namun para pengawal yang diberi tugas mencari tahu posisi Luna saat ini, masih belum membuahkan hasil. Selain itu, mereka berusaha melakukannya secara diam-diam. Mereka tidak ingin jika Brian sampai tahu, karena Brian pasti akan menghentikan semuanya.Saat ini, Brian jga masih harus dirawat di rumah sakit. Setelah melakukan pemeriksaan lengkap, ternyata Brian tidak benar-benar sehat seperti yang selama ini ia tunjukkan. Pola hidup yang benar-benar buruk perlahan melemahkan tubuhnya, jam tidur yang tidak teratur begitupula dengan jam makannya, menjadi faktor utama. Selain itu, Brian juga mengalami gangguan cemas meski tidak parah. Trauma karena sering ditinggalkan dengan orang-orang terdekatnya, menjadi faktor penyebabnya."Benar, itu akan jauh lebih baik. Selain itu, Brian tidak akan mudah curiga jika para pengawalnya berkurang atas
"Hei, kau!"Seorang perempuan menoleh, menatap takjub pada seorang pria yang berjalan menghampirinya. "Dia benar-benar pangeran," gumamnya."Bisa kita bicara!"Bella, perempuan itu masih diam. Ia cukup terkejut, tidak menyangka bahwa Adrian akan datang menghampirinya sekarang. Bella sampai menatap Adrian dari atas sampai bawah, memastikan kalau orang yang sekarang berdiri di hadapannya benar-benar Adrian yang manusia, bukan hanya halusinasinya."Apa kau memang punya kebiasaan diam seperti itu, aku bertanya. Apa kau tidak mendengarnya?" Adrian menjentikkan jarinya di depan wajah Bella, berharap Bella tidak lagi diam seperti orang bo*oh."Ah, iya, maaf. Ada apa?" tanya Bella, ragu."Ck, sepertinya kau benar-benar harus memeriksa kondisimu, kau punya kelainan!" decak Adrian.Padahal Bella hanya diam selama beberapa saat untuk mengagumi Adrian, setelah itu ia hanya mencoba memastikan kalau Adrian benar-benar manusi
Adrian berjalan dengan langkah kakinya yang begitu lebar, hingga Bella tertinggal jauh di belakang. Rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam yang menghunus, kedua tangannya terkepal kuat.Adrian membuka pintu ruangan Brian dengan keras, hingga menimbulkan suara benturan yang juga terdengar keras. Semua orang yang berada dalam ruangan Brian sontak menoleh ke arahnya. Namun, tatapan mata Adrian hanya menyorot pada satu orang yang membuatnya kembali melangkah cepat, menghampirinya.Bugh!"Adrian!""Adrian, apa yang kau lakukan!"Brian dan Sely sontak berteriak, terkejut melihat Adrian yang baru saja membuat Dokter Rio tersungkur di lantai. Belum berhenti sampai di situ, Adrian masih menghajar Dokter Rio dengan membabi buta, hingga para pengawal datang melerai saat Brian dan Sely berteriak heboh."Ada apa denganmu!" teriak Dokter Rio yang ikut tersulut emosi. Ia mengusap bibirnya yang berlumuran darah, Dokter Rio bahkan dapat merasakan darah dalam indra pengecapnya."Adrian, ada apa?" ta
"Apa Anda benar-benar ingin menemuinya sekarang? Anda masih dalam keadaan belum sehat sepenuhnya, bagaimana jika nanti saja," saran Adrian.Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Besar Brian. Rumah sang kakek yang menjadi tempat tinggal Bibi Megan, juga beberapa keluarga besarnya yang masih berada di sana. Ini kali pertama Brian menginjakkan kakinya kembali di rumah ini, setelah sang Ayah meninggal."Lihat, siapa yang datang!" "Aku tidak salah lihat 'kan? Sepertinya aku harus memeriksa kesehatan mataku.""Hei, Bro. Kau tidak sedang bermimpi 'kan? Keajaiban apa yang telah terjadi hingga membawamu sampai di sini?""Lihatlah, Apakah ini adalah CEO kita? Aku pikir dia sudah tidak ingat dengan keluarganya, dia bahkan memasukkan pamannya sendiri ke dalam jeruji besi hanya karena kesalahan sepele."Brian tidak mempedulikan ocehan dari para sepupu serta bibinya yang ternyata sedang bersantai di taman depan rumah. Brian melaluinya begitu saja, karena tujuan Brian buka
"Maaf, karena Bibi kau harus merasakan semua ini," ujar Bibi MeganBrian berjalan menuruni tangga sendirian, kata-kata Bibi Megan seakan masih terputar di kepalanya. Brian merasa itu sudah cukup. Brian sudah menemukan jawabannya, tapi entah mengapa ia jadi merasa tak enak hati. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya."Apa kau kemari untuk membuat Bibi Megan berhenti bekerja? Kau benar-benar ingin melihat kami mati kelaparan?"Salah satu sepupunya menghalangi langkah kaki Brian. Mendengar apa yang dikatakan Brian sebelum menemui Bibi Megan, membuat ia berpikir kalau Brian akan membuat Bibi Megan berhenti bekerja."Ck, mengganggu saja!" decak Brian yang kini merasa kesal. Rasa mengganjal yang tadi dirasakannya menguap begitu saja setelah melihat wajah tengik sepupunya itu. Belum lagi sepupu serta bibinya yang lain memandangi mereka dari jarak cukup jauh, mereka seolah menunggu apa yang akan dikatakan Brian."Berapa usiamu sekarang?"