"Louis tidak mau sekolah, Mami... Louis mau bobo lagi!" Suara teriakan menggema di lantai dua, Louis kembali drama di pagi hari hingga membuat Alesha lelah sendiri. Selain menjerit, dan marah, tentu saja putra Oliver itu menangis keras-keras menolak untuk sekolah. Padahal hari ini pertama kalinya dia harus berangkat ke sekolah. "Huwaa... Papi tolongin Louis! Louis tidak mau sekolah, Pi!" teriak anak itu menangis."Bakar saja semua legonya kalau tidak mau sekolah!" amuk Alesha melemparkan tas koper berisi mainan milik Louis. Anak itu semakin marah dan menangis. Dia tidak mau mandi, tidak mau beranjak dari atas ranjang juga. "Terserah Louis mau pintar atau tidak, Mami capek..." Alesha mengabaikan tangisan Louis, anak itu masih bersembunyi di balik selimut sambil menangis berteriak-teriak. Barulah Oliver kini muncul, laki-laki itu mendekati Putranya yang masih menangis keras-keras di atas ranjang. "Sudah Sayang, jangan dimarahi terus," ujar Oliver pada Alesha. "Bagaimana aku tid
Usai selesai jam kegiatan sekolahnya, Alesha dan Louis menunggu Oliver di depan gerbang sekolah. Oliver meminta Alesha untuk tidak meninggalkan putranya di sekolah. Karena putra Oliver itu memiliki karakteristik anak nakal yang luar biasa. "Papi mana sih Mam? Kok lama banget, Louis sudah lapar!" Anak laki-laki itu mendongak menatap wajah Maminya. "Sabar Sayang, pasti Papi sedang perjalanan menuju ke sini." Alesha mengusap kedua pipi gembil putranya. "Louis lapar, ya?" "Heem, mau makan sama seafood," jawabnya. "Halah, ada-ada saja..." Sampai akhirnya beberapa menit kemudian muncullah sebuah mobil berwarna putih yang kini berhenti di depan Alesha dan Louis. Namun bukan Oliver melainkan laki-laki muda tampan dengan balutan pakaian perwiranya. "Om Diego!" pekik Louis mengenalinya. "Louis!" Mereka berdua berpelukan, pemuda itu adalah pengasuh Louis saat masih tinggal di kediaman Fredrick. Louis menjadi nakal mereka-mereka ini gurunya. Hingga kini Diego memeluk Louis dengan erat
Oliver dan Alesha kembali ke rumahnya, mereka berdua merasa sedikit hawa aneh dan amarah dari Oliver saat melihat adanya Elina dan Livia yang kini duduk di dalam ruang tamu di kediaman Oliver. Ibu dan Kakak perempuannya itu menatap kedatangan Oliver dengan anak dan istrinya. "Oliver..." Elina beranjak dari duduknya seketika. Oliver masih diam menatap mereka, laki-laki itu menoleh pada Alesha yang kini memegang lengannya dan bersembunyi di baliknya. Sedangkan Louis diam di dalam gendongan Oliver. "Papi, mereka siapa?" tanya Louis dengan polosnya anak itu berbisik. Oliver menatap putranya sebelum kembali menatap Ibu dan Kakak perempuannya. "Mau apa kalian ke sini?" tanya Oliver pada mereka berdua. "Oliver, kita... Kita berdua ingin menyampaikan sesuatu padamu," ujar Livia. Sampai akhirnya Elina menyentuh punggung tangan Oliver. "Ada yang ingin Ibu bicarakan, nak..." "Silakan duduk, Bu," ucap Alesha tiba-tiba meminta mereka duduk. Dua wanita itu langsung duduk, sementara Ales
Malam ini Oliver duduk diam di balkon lantai dua seorang diri. Baru saja orang suruhannya berhasil mengembalikan rumah milik keluarga Vorgath yang disita, dan dikembalikan pada Ibu juga Kakaknya. Rasanya enggan ia menolong mereka, tapi bagaimanapun juga Elina adalah Ibunya. Meskipun dari wanita itu Oliver mengetahui apa arti kebencian yang sesungguhnya. "Sayang, kenapa diam di sini?" Suara Alesha membuat Oliver menoleh. Ia tersenyum tipis saat Alesha mendekat, wanita itu duduk di sampingnya dan melingkarkan satu lengan putihnya pada tubuh Oliver. "Memikirkan Ibu, ya?" tanya Alesha lirih. "Heem. Aku tidak menyangka kalau mereka masih berani ke sini setelah semua yang mereka lakukan padamu," jawab Oliver. Teringat siang tadi saat Oliver masih membawa-bawa mendiang anak mereka. Mungkin benar kata Livia kalau anak itu bukanlah anak kandung Oliver, tapi tak ada alasan bagi Oliver untuk membencinya dan tetap menganggapnya anak sekalipun anak itu telah tiada."Aku pun juga tidak akan s
Louis menunggu Maminya kembali dari berbelanja di supermarket sebentar. Ia duduk di bangku taman di depan gerbang sekolahnya.Perhatian Louis tertuju pada Aiko, temannya yang tengah bersama adik-adiknya. Teman perempuan sekelas Louis itu mempunyai tiga adik yang berusia sama, mereka kembar tiga. "Lily, jangan ke sana... Ya ampun! Kalian jangan nakal dong, tunggu Mama kembali sebentar! Duduk sini sama Kakak!" Aiko menahan adik-adiknya. "Lily, Lowy... Duduk diam seperti Liecy!" seru Aiko berkacak pinggang di depan tiga adiknya yang duduk di bangku taman. Louis menatap mereka, lucu sekali temannya itu memiliki tiga adik, nampaknya asik. Kini Louis melihat Aiko yang dipeluk oleh adiknya, hingga mereka tertawa-tawa senang. "Aiko," panggil Louis membuat Aiko menoleh ke arahnya. "Hem, ada apa Louis?" Louis mengerjapkan kedua matanya dan meletakkan tas sekolahnya sebelum dia mendekati teman sekelasnya tersebut. Tatapan mata Louis tertuju pada tiga adik Aiko yang sangat lucu-lucu. "Mer
"Kau jangan asal janji-janji saja dengan Louis. Kau tidak mengenal dia, kalau janjinya tidak ditepati nanti dia bisa marah-marah!" Alesha mengomeli suaminya, namun seperti biasa kalau Oliver hanya santai saja. Laki-laki itu tetap dengan wajah tenangnya menatap beberapa berkas yang dia buka dan duduk nyaman di sofa. "Namanya juga anak kecil, lalu bagaimana lagi kalau tidak dituruti, Sayang? Apa aku harus melarangnya?" tanya laki-laki itu. "Bukan begitu juga Sayang, tapi kau tidak tahu kenakalan anakmu yang luar biasa itu!" Oliver menghela napasnya panjang, ia menatap Alesha dan menyangga dagu. "Sayang dengar, Louis itu hanya ingin seperti temannya saja. Keturutan atau tidaknya asal kita sanggupi saja, daripada dua tantrum!" seru Oliver. Dengan berkacak pinggang di depan suaminya, Alesha mendengkus kesal. Laki-laki memang tidak akan pernah tahu perasaan istrinya. Belum lagi Louis pasti akan menagihnya setiap hari. "Mana yang diminta langsung lima, memangnya ada?!" seru Alesha m
Pagi ini Louis sudah ada di sekolahnya. Seperti biasa kalau ia ditemani oleh Alesha yang memang selalu ada untuk mengawasi tiap gerak-geriknya. Louis tengah bermain ayunan sendirian dan anak itu melambaikan tangannya pada Alesha yang berada di luar. "Byee Mami...!" teriak Louis tersenyum lebar. Alesha membalas lambaian tangan putranya. Anak itu sangat manis, Alesha begitu senang melihat ekspresi Louis yang gemas seperti saat ini. Sampai tiba-tiba ayunan di samping Louis ditempati oleh Aiko, teman Louis. "Hai Louis," sapa gadis kecil itu sambil membawa permen lolipop di tangannya. "Heem..." Louis menjawabnya dengan gumaman angkuh. "Bagaimana? Kau siap saingan denganku buat punya adik yang nakal?" tanya Aiko melirik Louis dengan tatapan berbinar. Louis menoleh dan berdecih. "Siapa takut! Dengar ya, Aiko! Aku nanti akan punya lima adik! Dengar... Lima! Nakal semua, pintar semua, adikmu cuma tiga, kalah dengan adik-adikku nanti!" seru Louis percaya diri. "Memangnya adikmu sudah a
Beberapa Minggu Kemudian..Hari ini Louis bangun tidur seorang diri, bahkan anak itu menyiapkan semua kegiatan sekolah sendiri. Dia tidak dibantu Maminya, karena Maminya sakit. Entah apa yang terjadi dengan Alesha hingga hal ini membuat Louis sedih. Maminya sejak kemarin berada di kamar, sesekali Maminya mual-mual, pusing, dan jarang keluar kamar. Louis sangat-sangat sedih dengan hal itu. "Sayang, sudah sarapan? Kenapa tidak keluar-keluar dari kamar?" Suara Oliver membuka pintu kamar Louis. Anak itu mengangkat wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Oliver tertegun dengan ekspresi sedih Louis saat ini. "Loh, kok malah nangis? Kenapa Sayang?" "Mami tidak sayang Louis lagi!" pekik anak itu menangis. Oliver mendekat dan duduk di bawahnya. Ia mengusap air mata di pipi Louis dan putranya itu masih menangis. "Mami tidak mau temenin Louis, kalau pagi Mami masih bobo, Louis pulang Mami katanya istirahat, kalau malam Mami juga istirahat. Kesal... Kesal!" pekik anak itu menangis. Oliver ter