Malam ini Oliver duduk diam di balkon lantai dua seorang diri. Baru saja orang suruhannya berhasil mengembalikan rumah milik keluarga Vorgath yang disita, dan dikembalikan pada Ibu juga Kakaknya. Rasanya enggan ia menolong mereka, tapi bagaimanapun juga Elina adalah Ibunya. Meskipun dari wanita itu Oliver mengetahui apa arti kebencian yang sesungguhnya. "Sayang, kenapa diam di sini?" Suara Alesha membuat Oliver menoleh. Ia tersenyum tipis saat Alesha mendekat, wanita itu duduk di sampingnya dan melingkarkan satu lengan putihnya pada tubuh Oliver. "Memikirkan Ibu, ya?" tanya Alesha lirih. "Heem. Aku tidak menyangka kalau mereka masih berani ke sini setelah semua yang mereka lakukan padamu," jawab Oliver. Teringat siang tadi saat Oliver masih membawa-bawa mendiang anak mereka. Mungkin benar kata Livia kalau anak itu bukanlah anak kandung Oliver, tapi tak ada alasan bagi Oliver untuk membencinya dan tetap menganggapnya anak sekalipun anak itu telah tiada."Aku pun juga tidak akan s
Louis menunggu Maminya kembali dari berbelanja di supermarket sebentar. Ia duduk di bangku taman di depan gerbang sekolahnya.Perhatian Louis tertuju pada Aiko, temannya yang tengah bersama adik-adiknya. Teman perempuan sekelas Louis itu mempunyai tiga adik yang berusia sama, mereka kembar tiga. "Lily, jangan ke sana... Ya ampun! Kalian jangan nakal dong, tunggu Mama kembali sebentar! Duduk sini sama Kakak!" Aiko menahan adik-adiknya. "Lily, Lowy... Duduk diam seperti Liecy!" seru Aiko berkacak pinggang di depan tiga adiknya yang duduk di bangku taman. Louis menatap mereka, lucu sekali temannya itu memiliki tiga adik, nampaknya asik. Kini Louis melihat Aiko yang dipeluk oleh adiknya, hingga mereka tertawa-tawa senang. "Aiko," panggil Louis membuat Aiko menoleh ke arahnya. "Hem, ada apa Louis?" Louis mengerjapkan kedua matanya dan meletakkan tas sekolahnya sebelum dia mendekati teman sekelasnya tersebut. Tatapan mata Louis tertuju pada tiga adik Aiko yang sangat lucu-lucu. "Mer
"Kau jangan asal janji-janji saja dengan Louis. Kau tidak mengenal dia, kalau janjinya tidak ditepati nanti dia bisa marah-marah!" Alesha mengomeli suaminya, namun seperti biasa kalau Oliver hanya santai saja. Laki-laki itu tetap dengan wajah tenangnya menatap beberapa berkas yang dia buka dan duduk nyaman di sofa. "Namanya juga anak kecil, lalu bagaimana lagi kalau tidak dituruti, Sayang? Apa aku harus melarangnya?" tanya laki-laki itu. "Bukan begitu juga Sayang, tapi kau tidak tahu kenakalan anakmu yang luar biasa itu!" Oliver menghela napasnya panjang, ia menatap Alesha dan menyangga dagu. "Sayang dengar, Louis itu hanya ingin seperti temannya saja. Keturutan atau tidaknya asal kita sanggupi saja, daripada dua tantrum!" seru Oliver. Dengan berkacak pinggang di depan suaminya, Alesha mendengkus kesal. Laki-laki memang tidak akan pernah tahu perasaan istrinya. Belum lagi Louis pasti akan menagihnya setiap hari. "Mana yang diminta langsung lima, memangnya ada?!" seru Alesha m
Pagi ini Louis sudah ada di sekolahnya. Seperti biasa kalau ia ditemani oleh Alesha yang memang selalu ada untuk mengawasi tiap gerak-geriknya. Louis tengah bermain ayunan sendirian dan anak itu melambaikan tangannya pada Alesha yang berada di luar. "Byee Mami...!" teriak Louis tersenyum lebar. Alesha membalas lambaian tangan putranya. Anak itu sangat manis, Alesha begitu senang melihat ekspresi Louis yang gemas seperti saat ini. Sampai tiba-tiba ayunan di samping Louis ditempati oleh Aiko, teman Louis. "Hai Louis," sapa gadis kecil itu sambil membawa permen lolipop di tangannya. "Heem..." Louis menjawabnya dengan gumaman angkuh. "Bagaimana? Kau siap saingan denganku buat punya adik yang nakal?" tanya Aiko melirik Louis dengan tatapan berbinar. Louis menoleh dan berdecih. "Siapa takut! Dengar ya, Aiko! Aku nanti akan punya lima adik! Dengar... Lima! Nakal semua, pintar semua, adikmu cuma tiga, kalah dengan adik-adikku nanti!" seru Louis percaya diri. "Memangnya adikmu sudah a
Beberapa Minggu Kemudian..Hari ini Louis bangun tidur seorang diri, bahkan anak itu menyiapkan semua kegiatan sekolah sendiri. Dia tidak dibantu Maminya, karena Maminya sakit. Entah apa yang terjadi dengan Alesha hingga hal ini membuat Louis sedih. Maminya sejak kemarin berada di kamar, sesekali Maminya mual-mual, pusing, dan jarang keluar kamar. Louis sangat-sangat sedih dengan hal itu. "Sayang, sudah sarapan? Kenapa tidak keluar-keluar dari kamar?" Suara Oliver membuka pintu kamar Louis. Anak itu mengangkat wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Oliver tertegun dengan ekspresi sedih Louis saat ini. "Loh, kok malah nangis? Kenapa Sayang?" "Mami tidak sayang Louis lagi!" pekik anak itu menangis. Oliver mendekat dan duduk di bawahnya. Ia mengusap air mata di pipi Louis dan putranya itu masih menangis. "Mami tidak mau temenin Louis, kalau pagi Mami masih bobo, Louis pulang Mami katanya istirahat, kalau malam Mami juga istirahat. Kesal... Kesal!" pekik anak itu menangis. Oliver ter
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil