Alesha meringkuk duduk di atas ranjang dengan selimut menggulung tubuhnya. Wajahnya memerah kedinginan, ia menajamkan tatapannya pada Oliver yang tengah membuka dan memilih pakaian di lemari. "Emm, aku rasa karena Istriku terlihat kedinginan, jadi-""Pergilah! Aku mau dibantu Bibi Ruitz, bukan dibantu Oliver!" teriak Alesha menatapnya marah. Untuk kali pertama, dalam semalam dan pagi ini Oliver dibentak-bentak oleh seorang wanita, siapa lagi yang berani membentak seorang Kapten Vorgath selain istrinya yang dia cintai, Alesha Vorgath. Seringai timbul di salah satu sudut bibir Oliver, dia melirik Alesha yang kini masih keributan dengan selimutnya. "Panggilkan Bibi saja, Oliver pergi sana!" seru Alesha kesal setengah mati. "Aku tidak mau dibantu olehmu!" "Kau menolak bantuan suamimu?" Oliver berdehem pelan. Alesha mengangguk dengan sangat yakin. "Iya. Aku kan sudah bilang, aku tidak bisa mandi air dingin, aku akan menggigil! Tapi kau tidak peduli, kau tidak sungguh-sungguh mencinta
Oliver pulang lebih awal, dia membawakan beberapa makanan manis yang dia beli sendiri untuk Alesha. Menyadari istrinya beberapa hari ini sangat menyukai makanan manis, seperti scone buah, croissant, dan banyak lagi. Namun saat ia turun dari dalam mobil, kening laki-laki itu mengerut. Tidak ada wanita cantik yang menyambutnya, padahal pagi tadi meskipun dengan ekspresi marah, wanitanya itu masih mau mengantarkannya hingga teras. "Di mana dia... Tumben," lirih Oliver berjalan masuk ke dalam rumah. Nampak Bibi Ruitz kini muncul dari dapur, wanita itu terkejut melihat Tuannya pulang lebih awal. "Mana Alesha?" tanya Oliver. "Nyonya ada di kamar Tuan, Nyonya demam." "Alesha demam?!" pekik Oliver kaget. Belum sempat Bibi Ruitz menjawabnya, Oliver sudah lebih dulu berlari naik ke lantai dua. Ia membuka pintu kamar dan menemukan istrinya terbaring meringkuk memeluk boneka beruang coklat miliknya. Oliver berjalan meletakkan topinya dan mengusap wajahnya, menyadari kesalahannya pagi tadi
Pagi ini Alesha bangun lebih dulu, bahkan sejak dua jam yang lalu. Namun gadis itu tidak beranjak sedikitpun, Alesha diam menatapi wajah Oliver. Banyak yang berlalu-lalang di benaknya. Sebentar lagi dia akan ditinggal pergi bertugas, dan Alesha akan menjadi wanita paling menunggu suaminya ini. "Sayang... Sayangku, suamiku," lirih Alesha nyaris tak bersuara. Jemarinya mengusap lembut wajah Oliver.Alesha ingin sedikit lebih nakal, mencuri kecupan saat Oliver masih tertidur. Berulang kali dia mengecupi pipi, rahang, hingga dagu, tapi tidak berani menyentuh bibir tipis suaminya. "Aku mencintaimu, Oliver... Aku akan menyerahkan apapun yang aku miliki untukmu," bisik Alesha, dia menarik tengkuk leher Oliver dan membawanya dalam pelukan Alesha. "Mulai sekarang, aku siap menjadi segala hal yang kau butuhkan. Menjadi rumahmu, tempatmu tinggal, dan wanita seperti yang kau mau," bisik Alesha menyunggar rambut pirang Oliver dengan lembut. Namun detik selanjutnya, kedua mata Alesha melebar d
"Gadis ini hanya membohongimu, Oliver! Kau tidak benar-benar mencintai istrimu, kan?!" Susan mendekati Oliver dengan tatapan marah dan frustrasi. Dia yang terlalu berharap besar dan selama ini menganggap kalau Oliver sungguh-sungguh mencintainya. Namun Oliver sama sekali tidak mempedulikan Susan, dia melangkah mundur dan merangkul pundak Alesha yang kini memeluk lengannya. "Aku peringatkan sekali lagi padamu Susan... Jangan muncul di hadapanku! Aku anggap semua hutangmu dan hutang orang tuamu sudah lunas!" tegas Oliver. Susan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa! Aku mencintaimu! Kau hanya dibohongi oleh atasanmu untuk menikahi gadis ini, kan?! Kau terpaksa menikahinya karena kau kasihan pada Alesha yang hidupnya sangat menyedihkan ini, iya kan, Oliver?!" Ini semua sangat memalukan, semua orang di sana menatap Alesha dan Oliver. Berita kapan hari yang sudah redam, tapi kini Susan kembali menampakkan wajahnya. Oliver menatap tajam wanita itu, dia menarik lengan Alesha dan
Memasuki kandungan berusia lima bulan, Alesha merasakan hal yang tidak nyaman akhir-akhir ini. Rasa nyeri yang kadang datang dengan luar biasa dan kadang pergi. Seperti siang ini, Alesha duduk sendirian di sofa kamar melipat beberapa selimut tebal yang akan dia simpan. Namun tiba-tiba Alesha merasakan sakit itu datang lagi. "Aakhh... Kenapa lagi ini?" lirihnya mengusap perut besarnya dengan lembut. "Jangan sakit, jangan sakit... Ayahmu belum pulang, Nak." Alesha menyandarkan kepalanya, dia menatap langit sore yang indah. Gadis itu menatap perutnya dan sesekali menekan dengan telunjuknya yang kecil. "Anak Ibu kenapa? Kenapa membuat Ibu sakit?" tanya Alesha kembali merintih pelan. Bersamaan dengan hal itu, pintu kamar Alesha tiba-tiba terketuk dengan cukup keras. Gadis itu langsung menoleh dan berdiri seketika. "Nyonya..." Suara Bibi Ruitz membuka pintu. "Iya Bi, ada apa? Apa Oliver sudah pulang?" tanya Alesha. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Bukan Nyonya, itu... Ada Ayah N
Alesha memejamkan kedua matanya lembut, namun dia menahan napas saat merasakan dekapan erat Oliver terasa kembali. Hati Alesha terasa hampa, tidak seperti yang ia harapkan semula tentang percintaan yang romantis seperti malam-malam lalu. Malam ini, Oliver tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak ada pujian seperti biasanya. "Katakan," bisik Oliver meletakkan bibirnya di punggung Alesha yang polos dan putih. "Katakan tentang pipimu yang memerah..." "Oliver." Alesha menarik tangan laki-laki itu yang melilit di pinggangnya. "Aku lelah..." Perlahan gadis itu menarik selimutnya dan menutupi tubuh polosnya. Alesha hendak bangun, namun Oliver menarik lengan sang Istri hingga membuatnya kembali terbaring. Tatapan mata biru itu menajam dan marah. Kini Alesha tahu, alasan kenapa Oliver tidak mengatakan apapun sejak tadi, melakukan semuanya dengan tergesa-gesa dan mengakhiri dengan cepat seperti mencampakkan. "Kau akan marah nantinya," ucap Alesha mengulurkan tangannya lembut menyentuh pip
Hari terasa berjalan jauh lebih cepat, pagi ini Alesha mengantarkan Oliver ke pelabuhan. Kepergian suaminya kali ini terasa jauh lebih berat dari yang Alesha bayangkan. Jemarinya terus menaut tangan Oliver, kepalanya terus bersandar dan seolah melarang pergi."Jangan lama-lama, aku takut," lirih Alesha mencengkeram pergelangan tangan Oliver. "Tidak Sayang," jawab Oliver mengusap pipi Alesha tanpa menatapnya. Di sana, mereka berdua berdiri menatap perahu besar yang kana memberangkatkan Oliber dengan banyak rekannya. Beberapa orang-orang penting, termasuk Lionil, Lenard, dan Hubert pun juga berangkat bersama. Mereka juga bersama para istrinya, hanya saja Lionil yang sendirian. "Selamat pagi Kapten Vorgath," sapa Lionil mendekatinya. "Pagi, Alesha... Hemm, Alesha kenapa cemberut begini?" Alesha menatap laki-laki itu dan ia mengabaikannya. Oliver hanya tersenyum dan merangkul Alesha sejak tadi. "Padahal dia tidak akan kesepian, aku sudah membelikan Oreo untuk menjadi temannya, ter
"Maaf kalau saya mengganggu waktu Nyonya Vorgath..." Ucapan itu terucap dengan sopan dari bibir Bibi Ruitz. Di hadapan Rena dan Fredrick, wanita setengah baya itu menundukkan kepalanya. "Ada apa Madam Ruitz? Apa yang membawamu ke sini?" tanya Rena menatap Bibi Ruitz. Tatapan mata Bibi Ruitz tertuju pada Fredrick yang tak acuh, dan jelas saja dia juga tak peduli. "Nyonya, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting tentang Nyonya Alesha." "Alesha, apa yang terjadi?" Rena langsung cemas. Bibi Ruitz menunduk sedih. "Dokter meminta saya untuk mendatangi Nyonya dan Tuan, untuk bersama menemani Nyonya Alesha. Kandungan Nyonya Alesha cukup buruk, meskipun berjalan dan berusia hampir enam bulan, namun kondisi anak di dalam perutnya tidak sehat dan selalu membuat Nyonya Alesha sakit, jadi saya ingin Nyonya Alister mau meneman-""Lalu apa tugasmu sebagai pelayan?!" sentak Fredrick dengan tegas. "Kau itu dibayar oleh Oliver, menjaga Alesha saja kau tidak becus?!" "Ayah!" Rena menatap suami