Hari terasa berjalan jauh lebih cepat, pagi ini Alesha mengantarkan Oliver ke pelabuhan. Kepergian suaminya kali ini terasa jauh lebih berat dari yang Alesha bayangkan. Jemarinya terus menaut tangan Oliver, kepalanya terus bersandar dan seolah melarang pergi."Jangan lama-lama, aku takut," lirih Alesha mencengkeram pergelangan tangan Oliver. "Tidak Sayang," jawab Oliver mengusap pipi Alesha tanpa menatapnya. Di sana, mereka berdua berdiri menatap perahu besar yang kana memberangkatkan Oliber dengan banyak rekannya. Beberapa orang-orang penting, termasuk Lionil, Lenard, dan Hubert pun juga berangkat bersama. Mereka juga bersama para istrinya, hanya saja Lionil yang sendirian. "Selamat pagi Kapten Vorgath," sapa Lionil mendekatinya. "Pagi, Alesha... Hemm, Alesha kenapa cemberut begini?" Alesha menatap laki-laki itu dan ia mengabaikannya. Oliver hanya tersenyum dan merangkul Alesha sejak tadi. "Padahal dia tidak akan kesepian, aku sudah membelikan Oreo untuk menjadi temannya, ter
"Maaf kalau saya mengganggu waktu Nyonya Vorgath..." Ucapan itu terucap dengan sopan dari bibir Bibi Ruitz. Di hadapan Rena dan Fredrick, wanita setengah baya itu menundukkan kepalanya. "Ada apa Madam Ruitz? Apa yang membawamu ke sini?" tanya Rena menatap Bibi Ruitz. Tatapan mata Bibi Ruitz tertuju pada Fredrick yang tak acuh, dan jelas saja dia juga tak peduli. "Nyonya, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting tentang Nyonya Alesha." "Alesha, apa yang terjadi?" Rena langsung cemas. Bibi Ruitz menunduk sedih. "Dokter meminta saya untuk mendatangi Nyonya dan Tuan, untuk bersama menemani Nyonya Alesha. Kandungan Nyonya Alesha cukup buruk, meskipun berjalan dan berusia hampir enam bulan, namun kondisi anak di dalam perutnya tidak sehat dan selalu membuat Nyonya Alesha sakit, jadi saya ingin Nyonya Alister mau meneman-""Lalu apa tugasmu sebagai pelayan?!" sentak Fredrick dengan tegas. "Kau itu dibayar oleh Oliver, menjaga Alesha saja kau tidak becus?!" "Ayah!" Rena menatap suami
Pagi hari di rumah orang tuanya, Alesha terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Semalaman penuh ia tidur dipeluk oleh Ibunya. Pelukan yang tak kalah hangat dan nyaman dari pelukan Oliver. Dan kini Alesha berdiri di balkon kamarnya menatap pemandangan pagi hari. "Rasanya sudah lama aku tidak berdiri di sini," gumam Alesha tersenyum manis. Ia menundukkan kepalanya menatap perutnya yang besar dan mengusapnya dengan sangat lembut. "Sayang, dulu Ibu selalu memperhatikan Ayahmu dari sini... Saat Ayahmu masih baru, sering berjaga di depan sana, menatap Ibu dari sana dan dia selalu memasang wajah dingin. Tapi Ibu tahu, dia orang yang hangat." Alesha tersenyum manis, ia mulai mengingat betapa dirinya dulu sangat-sangat mengagumi sosok Oliver. Memperhatikan diam-diam, mengirimkan makanan dan minuman dengan memaksa Lionil untuk memberikan pada Oliver, adalah masa di mana Alesha jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sangat indah, penuh harapan dan doa. "Sekarang dia, laki-laki yang aku kagumi
Dua puluh hari kemudian..."Kita tidak perlu membawa banyak pasukan untuk penyerbuan, Kapten Oliver! Aku tidak tahan mereka sulit dihentikan!" Suara Hubert memecah hening, Oliver menggelengkan kepalanya dengan tegas. Dia tidak akan pernah setuju bila ada bawahannya bergerak seperti menyerahkan nyawa. Mereka kini berada di salah satu kawasan zona hijau, di mana tempat itu menyediakan rumah sakit kecil, penginapan, dan tempat yang paling aman di tempati. Oliver memimpin pertemuan dengan beberapa orang-orang pentingnya, karena dalam misi ini, dia harus menangkap seseorang kepala pemberontak yang sudah menyengsarakan banyak orang. "Kita akan bergerak bersama, jangan sampai kalian ada yang terluka karena keputusan yang konyol!" seru Oliver. Kapten Lionel dan Letnan Klein saling tatap, keduanya mengangguk. "Ya, aku setuju dengan Kapten Oliver. Kita sedang tidak pernah besar-besaran, sama saja kita sedang memburu bajak laut," kekeh Letnan Klein. "Maka dari itu, kalian jangan sampai a
Alesha menangis memeluk tubuh Rena, dia meringkuk di atas ranjang berkali-kali menyebut nama Oliver. "Sayang tenang, jangan seperti ini Alesha... Ibu yakin kalau semuanya akan baik-baik saja, nak," bisik Rena menenangkannya. Namun Fredrick menyahut dengan decakan. "Baik-baik saja bagaimana! Semua orang di kota ini sudah tahu kalau anak haram itu bukan anak Oliver! Sialan!" maki Fredrick dengan penuh amarah. Alesha semakin kuat mencengkeram punggung sang Ibu. Tatapannya tertuju pada sang Ayah, Laksamana Fredrick yang kini berdiri di dekat jendela kamar Alesha dan menunjukkan kemurkaannya. "Ayah harus bertanggung jawab atas ini semua, Ayah!" pekik Alesha dengan tegas. "Ini salahmu sendiri! Kau tidak bisa menjaga ucapan dan rahasia! Jadi rasakan saja ulahmu itu!" "Ayah!" Rena berteriak keras. "Kau memang tidak punya hati, mau sampai kapan kau bersembunyi di balik semua ini, hah?!" Alesha beranjak dari atas ranjang, dia berjalan mendekati Fredrick dan menarik lengan Ayahnya. "Aya
Malam ini lautan akan menjadi saksi kematian para pemberontak yang menjijikkan. Oliver berada di barisan depan, dia tidak sabar ingin mencabut nyawa seorang Mikael Sorta. "Kapten Vorgath, di arah jam sembilan, sekitar sepuluh kilometer dari lokasi Kapten, ada sebuah kapal kecil, kami mengamati pergerakan mencurigakan, dia adalah salah satu anggota pemberontak!" suara itu berasal dari radio yang terhubung dengan Oliver. "Jack! Jangan biarkan mereka lepas! Sandera siapapun yang kau temui di sekitar pesisir, hubungkan dengan Kapten Kareem!" seru Oliver memerintah. "Siap Kapt!" Oliver mendekati Sagra, laki-laki berambut perak itu meneropong jauh dan dia terhenyak. "Kapal hantu ada tepat di depan kita! Sekitar lima belas kilometer dari sini! Kapal itu milik Mikael Sorta, dijaga ketat oleh beberapa awak kapal, mereka bersembunyi di sana, dan sangat gelap!" seru Sagra. Kapten Lionil langsung meneriaki beberapa beberapa orang prajurit yang bergerak sebagai pasukan pengepung. Begitu pul
Pagi di bulan Juni, musim panas datang dengan membawa kesejukan yang luar biasa. Secangkir teh hangat tersedia di atas meja bersama dengan scone buah di atas piring kecil. Alesha duduk di sebuah kursi kayu melamun menatap ke arah lautan luas. Sudah berhari-hari lamanya dia tidak tahu kabar tentang apapun. "Nyonya, ada salah satu rekan Tuan Oliver ingin bertemu dengan Nyonya," ujar Bibi Ruitz mendekati Alesha. Lamunan gadis itu pun buyar, dia langsung beranjak dari duduknya. Alesha belum berjalan ke depan, seorang laki-laki dengan stelan seragam perwira berwarna putih berjalan ke arahnya. Laki-laki berambut hitam itu menundukkan kepalanya memberi hormat. "Selamat pagi, Nyonya Vorgath," sapanya. "Pagi... Ada keperluan apa? A-apa kau datang membawa kabar tentang suamiku?" tanya Alesha menatap laki-laki di depannya ini. Aghis tersenyum dan mengangguk. "Benar Nyonya. Semalam Kapten Vorgath memenangkan pertempurannya, beliau mengirimkan pesan pada kami di pangkalan, bahwa beliau aka
Sesampainya di pelabuhan, Oliver kembali ke pangkalan bersama beberapa rekannya. Masih ada beberapa hal yang harus dia urus, dan mengenai beberapa laporan penting yang akan dia bahas. Oliver sangat tidak sabar ingin segera pulang dan bertemu dengan Alesha. "Kapten Vorgath, kau langsung pulang?" tanya Kapten Lionil yang kini muncul membawa ransel di punggungnya. "Tidak. Aku masih ada urusan di luar, kalau kau mau ke rumahku, datang saja nanti." Oliver menepuk pundak sang rekan. "Oh baiklah," jawab Lionil mengangguk. "Kau sudah bertemu Laksamana Fredrick?" "Dia tidak ada di sini, mungkin nanti aku akan ke kediamannya." Lionil mengangguk, dia menepuk pundak Oliver pelan. "Baik Kapt, sampai nanti!" Oliver melangkah keluar dari dalam tempat itu. Dia mengemudikan sebuah mobil berwarna hitam miliknya yang berada di sana sejak kapan hari. Sepanjang perjalanan, Oliver memikirkan apa saja yang ingin ia belikan untuk Alesha. "Apa saja yang harus aku belikan untuk mereka?" gumam Oliver m