"Gadis ini hanya membohongimu, Oliver! Kau tidak benar-benar mencintai istrimu, kan?!" Susan mendekati Oliver dengan tatapan marah dan frustrasi. Dia yang terlalu berharap besar dan selama ini menganggap kalau Oliver sungguh-sungguh mencintainya. Namun Oliver sama sekali tidak mempedulikan Susan, dia melangkah mundur dan merangkul pundak Alesha yang kini memeluk lengannya. "Aku peringatkan sekali lagi padamu Susan... Jangan muncul di hadapanku! Aku anggap semua hutangmu dan hutang orang tuamu sudah lunas!" tegas Oliver. Susan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa! Aku mencintaimu! Kau hanya dibohongi oleh atasanmu untuk menikahi gadis ini, kan?! Kau terpaksa menikahinya karena kau kasihan pada Alesha yang hidupnya sangat menyedihkan ini, iya kan, Oliver?!" Ini semua sangat memalukan, semua orang di sana menatap Alesha dan Oliver. Berita kapan hari yang sudah redam, tapi kini Susan kembali menampakkan wajahnya. Oliver menatap tajam wanita itu, dia menarik lengan Alesha dan
Memasuki kandungan berusia lima bulan, Alesha merasakan hal yang tidak nyaman akhir-akhir ini. Rasa nyeri yang kadang datang dengan luar biasa dan kadang pergi. Seperti siang ini, Alesha duduk sendirian di sofa kamar melipat beberapa selimut tebal yang akan dia simpan. Namun tiba-tiba Alesha merasakan sakit itu datang lagi. "Aakhh... Kenapa lagi ini?" lirihnya mengusap perut besarnya dengan lembut. "Jangan sakit, jangan sakit... Ayahmu belum pulang, Nak." Alesha menyandarkan kepalanya, dia menatap langit sore yang indah. Gadis itu menatap perutnya dan sesekali menekan dengan telunjuknya yang kecil. "Anak Ibu kenapa? Kenapa membuat Ibu sakit?" tanya Alesha kembali merintih pelan. Bersamaan dengan hal itu, pintu kamar Alesha tiba-tiba terketuk dengan cukup keras. Gadis itu langsung menoleh dan berdiri seketika. "Nyonya..." Suara Bibi Ruitz membuka pintu. "Iya Bi, ada apa? Apa Oliver sudah pulang?" tanya Alesha. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Bukan Nyonya, itu... Ada Ayah N
Alesha memejamkan kedua matanya lembut, namun dia menahan napas saat merasakan dekapan erat Oliver terasa kembali. Hati Alesha terasa hampa, tidak seperti yang ia harapkan semula tentang percintaan yang romantis seperti malam-malam lalu. Malam ini, Oliver tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak ada pujian seperti biasanya. "Katakan," bisik Oliver meletakkan bibirnya di punggung Alesha yang polos dan putih. "Katakan tentang pipimu yang memerah..." "Oliver." Alesha menarik tangan laki-laki itu yang melilit di pinggangnya. "Aku lelah..." Perlahan gadis itu menarik selimutnya dan menutupi tubuh polosnya. Alesha hendak bangun, namun Oliver menarik lengan sang Istri hingga membuatnya kembali terbaring. Tatapan mata biru itu menajam dan marah. Kini Alesha tahu, alasan kenapa Oliver tidak mengatakan apapun sejak tadi, melakukan semuanya dengan tergesa-gesa dan mengakhiri dengan cepat seperti mencampakkan. "Kau akan marah nantinya," ucap Alesha mengulurkan tangannya lembut menyentuh pip
Hari terasa berjalan jauh lebih cepat, pagi ini Alesha mengantarkan Oliver ke pelabuhan. Kepergian suaminya kali ini terasa jauh lebih berat dari yang Alesha bayangkan. Jemarinya terus menaut tangan Oliver, kepalanya terus bersandar dan seolah melarang pergi."Jangan lama-lama, aku takut," lirih Alesha mencengkeram pergelangan tangan Oliver. "Tidak Sayang," jawab Oliver mengusap pipi Alesha tanpa menatapnya. Di sana, mereka berdua berdiri menatap perahu besar yang kana memberangkatkan Oliber dengan banyak rekannya. Beberapa orang-orang penting, termasuk Lionil, Lenard, dan Hubert pun juga berangkat bersama. Mereka juga bersama para istrinya, hanya saja Lionil yang sendirian. "Selamat pagi Kapten Vorgath," sapa Lionil mendekatinya. "Pagi, Alesha... Hemm, Alesha kenapa cemberut begini?" Alesha menatap laki-laki itu dan ia mengabaikannya. Oliver hanya tersenyum dan merangkul Alesha sejak tadi. "Padahal dia tidak akan kesepian, aku sudah membelikan Oreo untuk menjadi temannya, ter
"Maaf kalau saya mengganggu waktu Nyonya Vorgath..." Ucapan itu terucap dengan sopan dari bibir Bibi Ruitz. Di hadapan Rena dan Fredrick, wanita setengah baya itu menundukkan kepalanya. "Ada apa Madam Ruitz? Apa yang membawamu ke sini?" tanya Rena menatap Bibi Ruitz. Tatapan mata Bibi Ruitz tertuju pada Fredrick yang tak acuh, dan jelas saja dia juga tak peduli. "Nyonya, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting tentang Nyonya Alesha." "Alesha, apa yang terjadi?" Rena langsung cemas. Bibi Ruitz menunduk sedih. "Dokter meminta saya untuk mendatangi Nyonya dan Tuan, untuk bersama menemani Nyonya Alesha. Kandungan Nyonya Alesha cukup buruk, meskipun berjalan dan berusia hampir enam bulan, namun kondisi anak di dalam perutnya tidak sehat dan selalu membuat Nyonya Alesha sakit, jadi saya ingin Nyonya Alister mau meneman-""Lalu apa tugasmu sebagai pelayan?!" sentak Fredrick dengan tegas. "Kau itu dibayar oleh Oliver, menjaga Alesha saja kau tidak becus?!" "Ayah!" Rena menatap suami
Pagi hari di rumah orang tuanya, Alesha terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Semalaman penuh ia tidur dipeluk oleh Ibunya. Pelukan yang tak kalah hangat dan nyaman dari pelukan Oliver. Dan kini Alesha berdiri di balkon kamarnya menatap pemandangan pagi hari. "Rasanya sudah lama aku tidak berdiri di sini," gumam Alesha tersenyum manis. Ia menundukkan kepalanya menatap perutnya yang besar dan mengusapnya dengan sangat lembut. "Sayang, dulu Ibu selalu memperhatikan Ayahmu dari sini... Saat Ayahmu masih baru, sering berjaga di depan sana, menatap Ibu dari sana dan dia selalu memasang wajah dingin. Tapi Ibu tahu, dia orang yang hangat." Alesha tersenyum manis, ia mulai mengingat betapa dirinya dulu sangat-sangat mengagumi sosok Oliver. Memperhatikan diam-diam, mengirimkan makanan dan minuman dengan memaksa Lionil untuk memberikan pada Oliver, adalah masa di mana Alesha jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sangat indah, penuh harapan dan doa. "Sekarang dia, laki-laki yang aku kagumi
Dua puluh hari kemudian..."Kita tidak perlu membawa banyak pasukan untuk penyerbuan, Kapten Oliver! Aku tidak tahan mereka sulit dihentikan!" Suara Hubert memecah hening, Oliver menggelengkan kepalanya dengan tegas. Dia tidak akan pernah setuju bila ada bawahannya bergerak seperti menyerahkan nyawa. Mereka kini berada di salah satu kawasan zona hijau, di mana tempat itu menyediakan rumah sakit kecil, penginapan, dan tempat yang paling aman di tempati. Oliver memimpin pertemuan dengan beberapa orang-orang pentingnya, karena dalam misi ini, dia harus menangkap seseorang kepala pemberontak yang sudah menyengsarakan banyak orang. "Kita akan bergerak bersama, jangan sampai kalian ada yang terluka karena keputusan yang konyol!" seru Oliver. Kapten Lionel dan Letnan Klein saling tatap, keduanya mengangguk. "Ya, aku setuju dengan Kapten Oliver. Kita sedang tidak pernah besar-besaran, sama saja kita sedang memburu bajak laut," kekeh Letnan Klein. "Maka dari itu, kalian jangan sampai a
Alesha menangis memeluk tubuh Rena, dia meringkuk di atas ranjang berkali-kali menyebut nama Oliver. "Sayang tenang, jangan seperti ini Alesha... Ibu yakin kalau semuanya akan baik-baik saja, nak," bisik Rena menenangkannya. Namun Fredrick menyahut dengan decakan. "Baik-baik saja bagaimana! Semua orang di kota ini sudah tahu kalau anak haram itu bukan anak Oliver! Sialan!" maki Fredrick dengan penuh amarah. Alesha semakin kuat mencengkeram punggung sang Ibu. Tatapannya tertuju pada sang Ayah, Laksamana Fredrick yang kini berdiri di dekat jendela kamar Alesha dan menunjukkan kemurkaannya. "Ayah harus bertanggung jawab atas ini semua, Ayah!" pekik Alesha dengan tegas. "Ini salahmu sendiri! Kau tidak bisa menjaga ucapan dan rahasia! Jadi rasakan saja ulahmu itu!" "Ayah!" Rena berteriak keras. "Kau memang tidak punya hati, mau sampai kapan kau bersembunyi di balik semua ini, hah?!" Alesha beranjak dari atas ranjang, dia berjalan mendekati Fredrick dan menarik lengan Ayahnya. "Aya
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk