Oliver dan Alesha sudah tiba di Sisilia. Seharian ini Alesha tidak melakukan kegiatan apapun selain berdiam diri ditemani Bibi Ruitz. Sementara Oliver, laki-laki itu sudah pergi sejak pagi bahkan sebelum Alesha bangun dari tidurnya. "Apa Oliver pergi ke pangkalan, Bi? Kenapa dia tidak membangunkan aku?" Alesha menatap Bibi Ruitz yang kini menuangkan teh di cangkir yang berada di hadapan Alesha. "Sepertinya iya Nyonya, tapi Tuan bilang pada saya kalau beliau akan segera kembali." "Hemm... Aku jadi kepikiran tentang semalam. Aku jadi takut untuk datang ke pesta lagi, suamiku pasti malu." Bibi Ruitz menyentuh pundak Alesha dengan lembut. "Nyonya tenang saja, saya yakin apapun yang terjadi, Tuan pasti akan berada di pihak Nyonya Alesha!" Wanita itu selalu menyemangati. Senyuman pun terukir di bibir Alesha, dia menganggukkan kepalanya. "Iya Bi," jawabnya lembut. Suara klakson mobil di depan membuat Alesha beranjak dari duduknya. Gadis itu menoleh ke arah pintu depan di mana mobil
Helaian rambut panjang Alesha terasa lembut menyentuh kulit wajah Oliver. Napas hangatnya terasa sangat cepat dan teratur. Kedua mata indah sayu menatap wajah Oliver dengan ekspresi berseri-seri. Kulit tubuh yang saling menyentuh dan polos di bawah selimut tebal. Alesha menangkup kedua pipi Oliver dan gadis itu tersenyum manis."Aku mencintaimu, Oliver," ucap Alesha begitu laki-laki itu mengecup pipinya dan mendusal. "Aku lebih, lebih dari mencintaimu," bisik Oliver menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Alesha dan menarik tubuh istrinya dalam dekapan eratnya. Alesha membelakangi Oliver, kedua matanya menatap ke arah jendela kamar. Hujan turun cukup deras malam ini, dan udara hangat menyelimuti mereka di sisa-sisa percintaan yang mereka lakukan. "Terima kasih untuk malam ini," bisik Oliver lagi. Alesha mengangguk kecil, telapak tangan putihnya memegang lengan kekar Oliver. "Setelah malam ini, dan sebelum kau pergi, berjanjilah untuk kembali dengan selamat." Berat kata itu teru
Alesha meringkuk duduk di atas ranjang dengan selimut menggulung tubuhnya. Wajahnya memerah kedinginan, ia menajamkan tatapannya pada Oliver yang tengah membuka dan memilih pakaian di lemari. "Emm, aku rasa karena Istriku terlihat kedinginan, jadi-""Pergilah! Aku mau dibantu Bibi Ruitz, bukan dibantu Oliver!" teriak Alesha menatapnya marah. Untuk kali pertama, dalam semalam dan pagi ini Oliver dibentak-bentak oleh seorang wanita, siapa lagi yang berani membentak seorang Kapten Vorgath selain istrinya yang dia cintai, Alesha Vorgath. Seringai timbul di salah satu sudut bibir Oliver, dia melirik Alesha yang kini masih keributan dengan selimutnya. "Panggilkan Bibi saja, Oliver pergi sana!" seru Alesha kesal setengah mati. "Aku tidak mau dibantu olehmu!" "Kau menolak bantuan suamimu?" Oliver berdehem pelan. Alesha mengangguk dengan sangat yakin. "Iya. Aku kan sudah bilang, aku tidak bisa mandi air dingin, aku akan menggigil! Tapi kau tidak peduli, kau tidak sungguh-sungguh mencinta
Oliver pulang lebih awal, dia membawakan beberapa makanan manis yang dia beli sendiri untuk Alesha. Menyadari istrinya beberapa hari ini sangat menyukai makanan manis, seperti scone buah, croissant, dan banyak lagi. Namun saat ia turun dari dalam mobil, kening laki-laki itu mengerut. Tidak ada wanita cantik yang menyambutnya, padahal pagi tadi meskipun dengan ekspresi marah, wanitanya itu masih mau mengantarkannya hingga teras. "Di mana dia... Tumben," lirih Oliver berjalan masuk ke dalam rumah. Nampak Bibi Ruitz kini muncul dari dapur, wanita itu terkejut melihat Tuannya pulang lebih awal. "Mana Alesha?" tanya Oliver. "Nyonya ada di kamar Tuan, Nyonya demam." "Alesha demam?!" pekik Oliver kaget. Belum sempat Bibi Ruitz menjawabnya, Oliver sudah lebih dulu berlari naik ke lantai dua. Ia membuka pintu kamar dan menemukan istrinya terbaring meringkuk memeluk boneka beruang coklat miliknya. Oliver berjalan meletakkan topinya dan mengusap wajahnya, menyadari kesalahannya pagi tadi
Pagi ini Alesha bangun lebih dulu, bahkan sejak dua jam yang lalu. Namun gadis itu tidak beranjak sedikitpun, Alesha diam menatapi wajah Oliver. Banyak yang berlalu-lalang di benaknya. Sebentar lagi dia akan ditinggal pergi bertugas, dan Alesha akan menjadi wanita paling menunggu suaminya ini. "Sayang... Sayangku, suamiku," lirih Alesha nyaris tak bersuara. Jemarinya mengusap lembut wajah Oliver.Alesha ingin sedikit lebih nakal, mencuri kecupan saat Oliver masih tertidur. Berulang kali dia mengecupi pipi, rahang, hingga dagu, tapi tidak berani menyentuh bibir tipis suaminya. "Aku mencintaimu, Oliver... Aku akan menyerahkan apapun yang aku miliki untukmu," bisik Alesha, dia menarik tengkuk leher Oliver dan membawanya dalam pelukan Alesha. "Mulai sekarang, aku siap menjadi segala hal yang kau butuhkan. Menjadi rumahmu, tempatmu tinggal, dan wanita seperti yang kau mau," bisik Alesha menyunggar rambut pirang Oliver dengan lembut. Namun detik selanjutnya, kedua mata Alesha melebar d
"Gadis ini hanya membohongimu, Oliver! Kau tidak benar-benar mencintai istrimu, kan?!" Susan mendekati Oliver dengan tatapan marah dan frustrasi. Dia yang terlalu berharap besar dan selama ini menganggap kalau Oliver sungguh-sungguh mencintainya. Namun Oliver sama sekali tidak mempedulikan Susan, dia melangkah mundur dan merangkul pundak Alesha yang kini memeluk lengannya. "Aku peringatkan sekali lagi padamu Susan... Jangan muncul di hadapanku! Aku anggap semua hutangmu dan hutang orang tuamu sudah lunas!" tegas Oliver. Susan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa! Aku mencintaimu! Kau hanya dibohongi oleh atasanmu untuk menikahi gadis ini, kan?! Kau terpaksa menikahinya karena kau kasihan pada Alesha yang hidupnya sangat menyedihkan ini, iya kan, Oliver?!" Ini semua sangat memalukan, semua orang di sana menatap Alesha dan Oliver. Berita kapan hari yang sudah redam, tapi kini Susan kembali menampakkan wajahnya. Oliver menatap tajam wanita itu, dia menarik lengan Alesha dan
Memasuki kandungan berusia lima bulan, Alesha merasakan hal yang tidak nyaman akhir-akhir ini. Rasa nyeri yang kadang datang dengan luar biasa dan kadang pergi. Seperti siang ini, Alesha duduk sendirian di sofa kamar melipat beberapa selimut tebal yang akan dia simpan. Namun tiba-tiba Alesha merasakan sakit itu datang lagi. "Aakhh... Kenapa lagi ini?" lirihnya mengusap perut besarnya dengan lembut. "Jangan sakit, jangan sakit... Ayahmu belum pulang, Nak." Alesha menyandarkan kepalanya, dia menatap langit sore yang indah. Gadis itu menatap perutnya dan sesekali menekan dengan telunjuknya yang kecil. "Anak Ibu kenapa? Kenapa membuat Ibu sakit?" tanya Alesha kembali merintih pelan. Bersamaan dengan hal itu, pintu kamar Alesha tiba-tiba terketuk dengan cukup keras. Gadis itu langsung menoleh dan berdiri seketika. "Nyonya..." Suara Bibi Ruitz membuka pintu. "Iya Bi, ada apa? Apa Oliver sudah pulang?" tanya Alesha. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Bukan Nyonya, itu... Ada Ayah N
Alesha memejamkan kedua matanya lembut, namun dia menahan napas saat merasakan dekapan erat Oliver terasa kembali. Hati Alesha terasa hampa, tidak seperti yang ia harapkan semula tentang percintaan yang romantis seperti malam-malam lalu. Malam ini, Oliver tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak ada pujian seperti biasanya. "Katakan," bisik Oliver meletakkan bibirnya di punggung Alesha yang polos dan putih. "Katakan tentang pipimu yang memerah..." "Oliver." Alesha menarik tangan laki-laki itu yang melilit di pinggangnya. "Aku lelah..." Perlahan gadis itu menarik selimutnya dan menutupi tubuh polosnya. Alesha hendak bangun, namun Oliver menarik lengan sang Istri hingga membuatnya kembali terbaring. Tatapan mata biru itu menajam dan marah. Kini Alesha tahu, alasan kenapa Oliver tidak mengatakan apapun sejak tadi, melakukan semuanya dengan tergesa-gesa dan mengakhiri dengan cepat seperti mencampakkan. "Kau akan marah nantinya," ucap Alesha mengulurkan tangannya lembut menyentuh pip