Keheningan menyelimuti ruang tengah kediaman keluarga besar Spencer.
Melihat bagaimana Valency begitu mencintai dan mengagungkan suaminya membuat semua orang terkejut, terutama Angela dan Felix yang selama ini mengira pernikahan keduanya hanya permainan semata.
Ketika mendengar ucapan Valency bahwa dirinya merupakan mantan kekasih Felix sebelum menikah dengan Jayden, Cleo dan Alex sendiri sempat berpikir pernikahan keduanya hanyalah sebuah perjanjian semata.
Akan tetapi, sekarang … sepertinya gadis itu sungguh mencintai suaminya ….
Selagi semua orang menatap Valency, Albert beralih menatap Felix yang masih mematung. “Apa semua yang dikatakan Valency adalah benar?” tanyanya tajam.
Fe
Author's Note:saran author untuk bab kali ini adalah, tunggu bab 91 aja yang akan hadir hari Sabtu pagi jam 7 ya~--Gadis itu mengepalkan tangan. ‘Pun demikian, aku tidak akan semudah itu mundur.’“Minta maaf pada Valency!” seru Alex, membuat semua orang, termasuk Valency, terperangah. Dia kemudian menoleh pada Felix. “Kakek berbicara padamu.”Mata Felix membola. Dia tidak percaya sang kakek buyut akan memintanya melakukan hal memalukan seperti itu! Meminta maaf kepada Valency? Gadis yang menurutnya rendah!?“Kakek Buyut, aku–”“Kamu tahu Kakek tidak suka mengulang ucapan, Felix,” tegas Alex, menunjukkan bahwa dia tak ingin dibantah. Ketegasan Alex membuat tubuh Felix bergetar. Dia tahu kalau dia menolak, entah apa yang akan dilakukan oleh kakek buyutnya itu.Reaksi lama dari Felix membuat tatapan Alex semakin menajam dan dingin. “Seorang pria Spencer harus mau bertanggung jawab dan mengakui kesalahannya!”Ucapan Alex barusan berhasil menohok, bukan hanya pada Felix tetapi juga pad
Selama ini, Angela percaya dengan omongan Felix dan Cecilia yang begitu dekat dengannya. Keduanya mengatakan Valency merupakan sosok licik yang ingin menaikkan reputasi dan derajatnya dengan menggoda Felix.Akan tetapi, kenyataannya sungguh berkebalikan.Valency adalah putri dari Victoria Lambert, seorang desainer legendaris di Eden, ibu kota Evermore, idola Angela. Walau memang latar belakangnya misterius, dan tampaknya tidak berasal dari kalangan atas, tapi Valency membuktikan diri sebagai seseorang yang berkemampuan dan pekerja keras dengan hasil desainnya. Semua jelas dari hasil pengadilan.Sedangkan Felix dan Cecilia … mereka berdua malah berusaha memperalat gadis malang itu.Pengkhianatan Felix membuat Angela sakit hati. “Sampai akhir, kamu
Selamat Natal, pembaca setia! 🎄🌟Author ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan luar biasa yang telah kalian berikan sepanjang tahun ini. Semoga kalian yang merayakan maupun tidak menikmati momen indah Natal bersama keluarga dan orang terdekat.Untuk merayakan hari Natal, author jadi ambil cuti sejenak pada hari Minggu, Senin, dan Selasa. Oleh karena itu, update cerita akan kembali pada hari Rabu besok ini ya.Author berterima kasih atas pengertian dan kesabaran kalian. Jangan lupa kembali ke halaman cerita pada Rabu mendatang untuk melanjutkan perjalanan cerita Jayden dan Valency bersama!Selamat Natal, semoga kehangatan Natal senantiasa menyertai kalian semua! 🎅📖 Love, author!
Dengan cepat, Valency menoleh ke arah sumber suara yang semakin lama semakin mendekat padanya. Dari kejauhan, terlihat seorang pria berpakaian serba hitam dengan topi dan masker menutup wajahnya sedang berlari ke arah Valency. Di belakang pria tersebut, seorang pria lain berjas abu-abu sedang berlari sekuat tenaga mengejar pria tersebut. “Berhenti! Pencuri! Kembalikan tas itu!” teriak si pria berjas abu-abu dengan wajah pucat, sepertinya staminanya tidak cukup kuat untuk mengejar targetnya. Dari sudut pandang Valency, kentara jelas bahwa pemandangan di depan mata adalah adegan seorang korban yang sedang mengejar pencuri tasnya. Melihat Valency berdiri di jalannya, pencuri itu menautkan alis dan memasang wajah menyeramkan untuk mengintimidasi gadis itu. “Minggir!” teriaknya lantang. Dengan wajah kaget, Valency berusaha mengambil langkah mundur, membiarkan sang pencuri lewat. Namun, tak disangka-sangka, pencuri itu malah kehilangan keseimbangan tepat di depannya dan jatuh menabrak
Memang benar, kalau bukan karena Valency, tidak mungkin pencuri itu bisa terjatuh. Lagi pula, Valencylah yang menjegal kaki pencuri tersebut! Namun, bagaimana bisa Eric mengetahui hal itu? Dengan kecepatan kaki Valency tadi, seharusnya orang normal pasti tak akan menyadarinya. ‘Terkecuali … dia adalah seorang ahli beladiri.’ Raut wajah Valency berubah terkejut. Matanya memicing, tanda waspada. ‘Aku harus segera menjauhinya,’ batin Valency seiring dia menyunggingkan senyum. “Hanya hal kecil, Tuan Eric. Tidak perlu sungkan. Saya permisi.” Dia gegas ingin berbalik dan masuk ke dalam mobil, tapi Eric bersikeras. “Nona, Nona mungkin tidak tahu, tapi barang yang hampir dicuri tadi berisi dokumen yang sangat penting. Jika saja dokumen itu hilang … perusahaanku pasti akan mengalami kerugian yang sangat besar. Jadi aku sangat berhutang budi padamu,” ucap Eric lagi. Valency menautkan alisnya. Sesuai dugaan, pria itu bukan orang biasa. Selagi Valency terdiam, Eric menambahkan, “Orang Ut
Suara deringan ponsel terdengar, getaran di atas nakas membuat Valency bergerak gelisah dan akhirnya membuka mata. Dengan raut wajah kesulitan dan bibir menggumamkan gerutuan, Valency mendudukkan diri dan meraih ponsel tersebut. Matanya masih terpejam, tapi Valency tetap mengangkat panggilan tersebut dalam keadaan setengah sadar. “Halo, dengan siapa–” “LENCYY!” Teriakan yang memekakkan telinga itu sontak membuat Valency menjauhkan ponselnya dari telinga. Kesadarannya seolah dipaksa pulih dalam hitungan detik. Saat Valency sadar dan melihat nama yang tertera di layar, ia menyadari jika yang menelepon adalah Jennita. “Apa kamu tidak bisa berbicara dengan suara yang lebih pelan, Jen?” tegur Valency dengan suara parau, khas orang yang baru saja bangun tidur. “Akhirnya kamu mengangkat teleponku juga!” sergah Jennita di seberang sana, tak mengindahkan teguran yang Valency layangkan. Sejenak pandangan Valency tertuju pada suaminya yang masih tertidur pulas. Dia pun bangkit dari ra
Valency ingin menangis. Bagaimana bisa dia lupa bahwa Jennita dan Christian juga ada di sana!?Jennita kembali berseru, “Sahabatku telah menikah dengan idolaku, dan aku adalah orang terakhir yang mengetahui hal ini! Apa menurutmu itu bukanlah hal yang penting?! Kegilaan macam apa ini!”Tanpa henti Jennita menegur Valency, membuat gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak.Valency mengusap telinganya yang terasa panas, lalu berusaha menyelipkan sebuah kalimat di sela omelan Jennita. “Jen … dengar dulu. Bukan seperti itu. Sebenarnya–““STOP!” teriak Jennita dari seberang sana. “Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu melalui telepon! Kamu harus menjelaskannya secara langsung padaku, hari ini juga!”
“Bukankah pria ini ... orang yang kemarin ketemui?” ujar Valency. Dia masih ingat rahang tegas dan mata tajam itu. “Siapa namanya ... ? Eric?” gumam Valency mengingat-ingat.Karena mengenali sosok yang sedang disorot, Valency pun menekan bagian berita tersebut. Begitu headline berita muncul, kening gadis tersebut langsung berkerut dalam, menampakkan jelas ekspresi terkejutnya.[Kedatangan Presiden Direktur LuxGray ke Evermore, Bisnis atau Bukan?]“Presiden Direktur LuxGray!?” Tampak jelas jika Valency sangat terkejut mengetahui fakta tersebut. “Bukankah itu adalah perusahaan tambang terbesar di Utopia?” tanyanya. “Dan Eric … adalah presiden direkturnya?!”Mendadak kepala Valency pening s
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men
"Apakah kamu punya koneksi khusus pada Nona Jones, Verena?" Pertanyaan Mia itu membuat Verena tersenyum.Sama seperti semua sosialita di pesta amal keluarga Miller beberapa waktu yang lalu, tidak semuanya mengetahui mengenai identitas Verena sebagai Vera Jones.Mungkin memang ada pembicaraan dari mulut ke mulut setelah pesta, tapi informasi tersebut tidak mungkin sampai ke semua orang. Apalagi ini soal pencapaian Verena, si anak haram. Orang akan lebih senang bergosip soal dia yang tiba-tiba mendapatkan rezeki nomplok dan warisan dari sang ayah karena cara kotor.Bukan dengan pertimbangan bahwa Verena punya kemampuan.Di samping itu, tampaknya memang Mia tidak terlihat seperti wanita yang hobi bergosip. Karenanya, sebelum Eric sempat menyelesaikan kalimat tadi, Verena sudah bertanya, "Bagaimana menurut Anda soal desain-desain Vera Jones, Nyonya Gray?"Verena tahu sedikit banyak soal Mia Gray, ibunda Eric, dari informasi yang diselipkan oleh Ashton sebelum ia sepakat untuk datang ke
Verena dengan segera membetulkan posisinya dan berdiri untuk menyapa orang tua Eric Gray tersebut.Dalam hati, ia merasa seolah diselamatkan oleh kehadiran Mia dan Beatrice, terlepas dari posisinya yang agak memalukan dan bagaimana Beatrice tampak ingin sekali langsung menghakiminya detik itu juga.Akan tetapi, Verena langsung mengalihkan fokusnya pada Mia. Sepasang mata ibu Eric tersebut kini menatapnya dengan penuh perhatian."Ibu," Eric menyapa dengan nada yang masih tenang, seakan pertemuan itu adalah hal biasa. "Perkenalkan, ini Verena."Sikap pria itu seolah mereka tidak berada dalam posisi yang patut dipertanyakan sebelumnya. "Ya. Itulah wanita yang dipilih oleh putramu," ucap Beatrice pada Mia, iparnya. Kemudian, wanita paruh baya itu mendengus. "Sudah bagus aku kenalkan pada putri bungsu keluarga Miller untuk dijodohkan. Dia malah memilih wanita ini."Beatrice mengalihkan pandangannya pada Verena dan melihat wanita itu dari atas sampai bawah, sebelum kemudian melirik Eric ya
"Ada apa? Katakan."Akan tetapi, alih-alih menjawab pertanyaan Eric Gray, respons pertama Verena selain menahan napas adalah memundurkan badannya. Sekalipun sudah tidak ada ruang yang cukup di balik punggungnya.Setelah itu, baru Verena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meskipun, tampaknya sia-sia. Entah kenapa otak Verena terasa macet karena posisi mereka saat ini.Apakah ini berarti Verena sedang terintimidasi? Wanita itu berpikir.Karena makin dekat Eric berada, semakin sulit baginya untuk berpikir jernih.Apalagi ketika Eric kembali memangkas jarak di antara mereka."Hm?" Pria itu tersenyum miring, menikmati situasi saat ini.Sementara itu, pandangan Verena terpaku pada wajah pria itu yang kini hanya terpisah beberapa inci darinya. Bau parfum Eric yang khas semakin menambah kerumunan dalam pikirannya tanpa bisa dicegah. Diam-diam, Verena merutuk dalam hati."Mundur," ucap wanita itu pada akhirnya. Ia enggan mengakui bahwa posisi ini mengusiknya. "Sofa di be
"Aku hanya sedikit mengingatkan saja, Sayang. Semua yang dilakukan, akan ada dampaknya."Hening sejenak. Verena dalam diam mengamati ekspresi kedua saudara tirinya. Wajah Keith tetap datar senantiasa. Pria itu tidak tampak tersinggung atau marah pada sindiran Eric. Berbeda dengan Kimberly yang saat ini tengah menatapnya.Iya. Menatap Verena."Saya setuju dengan Anda, Tuan Gray. Memang semua perbuatan itu ada dampaknya. Setiap akibat, pasti ada sebabnya," ucap Kimberly. Gadis itu mengalihkan pandangan pada Eric dan tersenyum manis. "Ah ya. Selamat ulang tahun, Tuan Eric Gray. Semoga Anda menikmati malam yang indah ini."Senyum Kimberly menjadi lebih lebar setelah mengucapkan kalimat terakhir tersebut.Sejujurnya, Eric tengah menahan diri agar tidak berekspresi terkejut atau heran dengan reaksi Kimberly tersebut. Ini adalah pertama kalinya Kimberly menunjukkan sisinya yang berbeda.Sebelumnya, gadis yang merupakan putri bungsu Aster Miller tersebut selalu menampilkan sikap malu-malu d