"Dia milikku! Kami sudah dijodohkan sejak awal!"Verena cukup terkejut dan heran dengan informasi terbaru ini. Namun, ia tidak terlalu menunjukkannya. Verena juga tidak menampilkan rasa penasarannya akan Kimberly dan Eric begitu saja. Wanita itu cukup mahir menyembunyikannya, sekalipun ia harus menahan diri sepenuh hati."Jadi dia alasanmu memamerkan tubuhmu malam ini?" ucap Verena dengan nada ringan. "Eric Gray, huh?""Jangan pura-pura tidak tahu!" sentak Kimberly. Wajahnya masih merah dan bibirnya bergetar karena emosi. "Kamu pasti sengaja menggodanya, iya, kan?!"Verena memutar bola matanya.Menggoda Eric? Wanita ini bahkan berusaha menjauh dari pria itu demi kewarasan dan kesehatan pikirannya!Lagi pula, Verena tidak pernah sekalipun menampilkan sisi menggoda atau sejenisnya di hadapan Eric. Kecuali malam itu--Tidak. Pada malam itu pun Verena tidak menggoda Eric. Bahkan tentang adegan ranjang yang melibatkan tubuh polosnya sekalipun. Tidak dihitung.Sial. Tidak bisakah Tuhan meng
"Tuan Gray, apakah Anda mengenal Verena?"Tepat setelah mengatakan itu, Kimberly merasakan Olivia, sang ibu, menyenggolnya. Diiringi dengan tatapan yang seakan berbunyi, 'Apa kamu gila? Kenapa membawa-bawa anak haram itu di sini!?'Tapi Kimberly tetap menatap Eric. Menunggu jawaban."Ah. Keluarga Miller." Eric berucap setelahnya. "Tentu saja. Kalian mengenal gadis itu, bukan?"Satu nama. Hanya perlu satu nama untuk membuat Eric bereaksi. Padahal sejak tadi ibunya dan Bibi Bea sudah berbusa menggiring obrolan agar Eric dan Kimberly bisa berkenalan. Sialan.Beberapa minggu yang lalu, Olivia datang padanya dengan semangat menggebu, mengusulkan sebuah rencana perjodohan antara Kimberly dan keponakan Beatrice, teman sosialitanya yang dekat dengan sang ibu. Rencana tersebut disusun oleh Olivia sendiri, dan diamini oleh Beatrice.Awalnya, Kimberly hendak menolak. Tapi ia langsung goyah saat mendengar status si pria. Lalu menyanggupi di tempat begitu saja ketika melihat foto Eric Gray.Pria
Pria itu tampak seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.Tidak, tidak bisa dikatakan seperti itu juga.Namun, memang cara Eric memandangnya ... Bukan. Bukan seperti malam itu, saat ia memohon bantuannya. Bukan juga seperti saat Verena menolak lamarannya mentah-mentah. Lebih ke--Ah. Seperti saat mereka pertama bertatap muka malam ini.Seakan-akan pria itu sedang melihat mangsa dalam pengawasannya.Penuh peringatan.Verena balas menatap pria itu. Tanpa memutus kontak mata, senyum di bibirnya perlahan menghilang seiring sebuah senyum lain terbit di bibir Eric. Selaras dengan detak jantung Verena yang berdebar makin cepat."Sial. Dia tidak boleh memengaruhi aku hingga seperti ini," batin Verena, menolak kontrol Eric akan reaksi tubuhnya."Hubungan kalian memang sedekat itu? Apakah dia mantan pacarmu?"Verena menoleh saat Keith bertanya demikian. Rupanya, adik tirinya tersebut mengikuti arah pandang Verena."Bukan." Verena menjawab singkat, tidak berniat menjelaskan. Tangannya kemudian me
"Aku akan segera kembali." Usai mengatakan itu, Verena berjalan menuju ke arah balkon. Langkahnya tetap tegap, sekalipun ia merasa sedikit terusik dengan sakit kepala tiba-tiba tersebut. Namun, ia sadar bahwa ia harus tetap mengangkat kepalanya tinggi. Banyak mata yang sedang memperhatikannya dan dari sekian banyak pasang mata itu, tidak sedikit yang ingin menjatuhkan Verena. Lucu. Padahal ia yang hanya merupakan anak haram ini baru kembali ke Utopia beberapa hari yang lalu. Namun, namanya berhasil menimbulkan geger di kalangan atas, sekaligus membuat banyak pihak merasa terancam atas posisinya saat ini. Verena menyandarkan tubuhnya di tepi balkon, lalu menghirup napas dalam-dalam. Udara dingin Utopia saat malam hari benar-benar menyegarkan otaknya. Ia harus kembali menurut rencana besarnya, tidak peduli bahwa sebenarnya wanita itu sedang merasa aneh di bagian kepala dan kesulitan berpikir. Ia tetap harus-- "Terlalu banyak minum, hm, Nona?" Kalimat itu tertangkap indera p
"Atau ... itu hanya caramu saja untuk memancing perhatianku?"Verena sempat menahan napas, tapi kemudian mengembuskannya pelan lalu mendengus. "Tuan Gray, Anda tidak semenarik itu." Wanita itu berucap, terdengar santai. Meskipun memang jantungnya masih berdebar keras."Hm?" Eric memiringkan kepalanya. Mata birunya yang tajam menghunjam milik Verena.Wanita itu sedikit menegakkan punggungnya, otomatis membuat jarak antara ia dan Eric makin terpangkas.Dengan nada suara lebih tegas, Verena kemudian berkata, "Saya tidak sedang mencari perhatian Anda. Mohon jangan terlalu percaya diri."Eric tidak mundur. Pria itu tetap pada posisinya dan menjaga agar jarak mereka hanya berselisih beberapa inci, lalu tersenyum tipis."Kenapa Utopia? Karena pria dari keluarga Miller itu?" Tiba-tiba, Eric bertanya.Verena mengernyit. "Apa?""Karena itu kamu menolak lamaranku?"Bibir Verena terbuka, tidak habis pikir dengan maksud dari sesosok Eric Gray di hadapannya ini.Pria itu tiba-tiba datang, menyapan
"Siapa–""Astaga ternyata ada di sini!"Baik Verena maupun Eric menoleh ke sumber suara. Verena tidak mengenali wanita paruh baya yang sedang bersama ibu tirinya, tapi dari ekspresi Eric, tampaknya pria itu mengenal beliau dengan baik.Apalagi dari ucapan wanita paruh baya itu."Eric, kenapa kamu meninggalkan Kimberly begitu saja?" ucap Beatrice. Sepasang mata wanita paruh baya itu menatap Verena sepintas sebelum kembali melihat Eric, seakan Verena tidak dianggap kehadirannya di sini. Namun, Verena tetap mengamati dalam diam. Perhatiannya kemudian beralih pada ibu dan adik tirinya.Olivia tampak datar, seperti enggan menunjukkan penolakkannya akan Verena sekaligus menolak memperhitungkan keberadaan Verena di sana. Pandangan putri pertama Aster Miller tersebut kemudian berhenti pada si adik tiri perempuannya.Ia mencatat dalam hati bagaimana ekspresi Kimberly yang berdiri di belakang wanita paruh baya itu. Tampak seperti sedang merutuki Verena dalam hati. Namun, ada satu emosi lain ya
Melainkan pria yang tidak tahu kapan dirinya harus mundur ini.“Eric Gray … nyaris saja aku lupa bahwa pria ini memang sulit ditangani,” batin Verena. Ia pikir, Eric akan mundur setelah penolakannya pagi itu. Terbukti setelahnya, Eric benar-benar tidak menghubungi Verena sampai ia merasa Eric menerima semua keputusannya.Akan tetapi, lihat saja tingkah pria itu sekarang. Kembali penuh tuntutan dan pertanyaan tidak jelas.Namun, bukan Verena Miller namanya jika tidak keras kepala. “Kimberly sudah menawarkan untuk mengantarmu ke ruang tamu. Lebih baik kamu pergi bersamanya,” ucap Verena. Senyumnya tampak santai dan terlatih saat ia melirik ke arah si adik tiri, sekalipun hal itu tidak mengubah wajah Kimberly yang tampak tersinggung ketika bersinggungan tatap dengan Verena. “Jika Kimberly mengizinkan, kamu bisa mendapatkan nomorku darinya.”Yang mana, artinya mustahil mendapatkan nomor Verena dari adik iparnya yang tadi melabraknya perkara kedekatannya dengan Eric itu. Verena tahu betul
"Iya, Tuan Gray. Ashton Miller."Nama itu membuat Eric menggumam pelan. Pria itu, kemungkinan besar, adalah yang menjadi alasan keberadaan Verena di Utopia. Lihat saja, dari bahasa tubuh keduanya, mereka tampak akrab.Jauh berbeda dengan saat Verena bersama Eric, pria bermata biru itu berpikir. Saat wanita itu bersamanya, yang ada hanyalah perasaan waspada. Lalu teka-teki. Senyum formal nan profesional. Eric ingin Verena lebih dari ini. Seperti--Ah, ya. Seperti malam itu."Tuan Gray, apakah Anda mendengarkan?" Sepertinya Kimberly sejak tadi bicara, tapi Eric mengabaikan gadis itu sepenuhnya. Sebenarnya, Kimberly merasa kesan. Ia sudah merutuk lima puluh kali tiga dalam hati, terhitung saat ia melihat bagaimana Eric menatap Verena pertama kali. Namun, ia harus bersabar. Ibunya bilang, ini adalah jackpot untuknya. Sebuah kesempatan langka.Eric Gray merupakan pewaris LuxGray Corp. yang baru saja kembali ke Utopia, setelah menjalankan tugas dari ibunya. Bibi Beatrice, teman satu geng
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg