:") ternyata yang melamar duluan ....
“Valency!!” Seruan kencang penuh kengerian terdengar bergema di kediaman pasangan muda Lambert. Karena seruan itu, seorang wanita dengan rambut bergelombang dan mata cokelat terang yang baru saja turun dari lantai dua menoleh. Matanya membulat mendapati sang suami berlari ke dalam ruangan dengan wajah frustrasi, putri kecil mereka berada dalam gendongan.“Victoria! Lihat apa yang diperbuat oleh putrimu!” seru pria tersebut sembari menunjuk ke arah sang putri kecil. Wajah mungil yang ceria dan dipenuhi senyuman itu tampak kotor karena noda lumpur, yang bukan hanya menyerang dua pipi bulatnya, tapi juga pakaian yang dikenakan. Penampilannya begitu berantakan! “Astaga anak ini! Lihat wajahmu, rambutmu, dan pakaianmu, kamu habis berenang dalam kolam lumpur?!” omel Victoria, berdiri sambil bertolak pinggang, tatapannya kemudian beralih pada Julian, suaminya. “Apa yang terjadi?!”Pria dengan manik biru gelap itu menjawab dengan helaan napas, “Apa lagi? Seperti biasa, lepas kendali, kabur
Jayden Spencer. Nama itu terdengar seperti mantra untuk Valency. Karena detik dia mendengar nama tersebut, pikirannya hanya bisa dipenuhi oleh satu hal. Menarik! Demikian, tanpa berpikir panjang, Valency langsung berseru, “Kakak Tampan, ayo bermain!” Undangan yang tiba-tiba itu membuat semua orang terbelalak, terkejut dengan betapa antusiasnya gadis itu. “Valey, panggilnya ‘Paman’ …,” tegur Victoria yang merasa putrinya bersikap kurang sopan terhadap Jayden. Walau ini adalah pertemuan pertama mereka dengan Jayden, tapi Julian dan Victoria tahu kalau pemuda itu adalah calon pewaris keluarga Spencer yang ternama. Di usianya yang baru menginjak 22 tahun itu, pemuda tersebut sudah terlibat secara mendalam pada perusahaan keluarga Spencer dan menghasilkan berbagai macam mahakarya luar biasa. Pun Victoria adalah seorang genius, Jayden juga tidak kalah hebat. Demikian, bagaimana bisa putri kecilnya ini dengan sembarang memanggil pemuda itu ‘kakak’?! Hanya saja, mendengar ucapan Victori
“Kakak Tampaann!” Teriakan Valency bisa terdengar bergema di kediaman pasangan muda Lambert. Hal itu membuat beberapa pelayan tertawa.Sementara itu, Victoria hanya bisa tersenyum tak berdaya, sedangkan Julian memasang wajah masam. Cleo dan Alex pun menggelengkan kepala, tak percaya ada yang begitu gigih mendekati cucu mereka yang seperti kulkas berjalan itu.“Andai Valency seumuran Jayden, aku pasti akan menjodohkan mereka berdua,” ucap Cleo bercanda.Victoria tersenyum tipis dan membalas, “Bukankah itu berarti menyiksa Jayden, Bi? Dia harus mengurusi gadis berisik itu setiap hari.”“Hei! Walau dia berisik, putriku tetap menggemaskan, oke?! Siapa pun yang berhasil mendapatkannya harus bersyukur!” sahut Julian t
Kedatangan dua orang asing itu membuat Jayden sontak menatap menautkan alis. “Apa kita saling mengenal?” tanyanya dingin, menyorotkan ketidaksukaan atas cara bicara mereka.“Ternyata rumor bahwa dia adalah pria yang angkuh benar adanya,” ucap salah satu dari mereka sinis, mengabaikan pertanyaan Jayden dan bersikap seolah pria itu tak ada di hadapan mereka. “Tapi, lebih mengejutkan melihat dia masih memiliki keberanian untuk bersikap angkuh, bukan begitu?”Kening Jayden mengernyit. Dia paling tidak suka berinteraksi dengan orang asing, apa lagi orang asing yang tidak tahu tata krama dan sengaja mencari masalah dengannya!“Apa masalah kalian?” tanya Jayden dengan usaha untuk tetap tenang. Kepalanya yang sedari tadi panas karena masalah dengan Valency menjadi
Halo pembaca-pembacaku yang kecee! Hari ini, author mau nyapa kalian dengan penuh maaf nih. Baru-baru ini update-ku agak berantakan, dan aku tau beberapa dari kalian mungkin udah nunggu-nunggu dan bahkan berakhir kecewa karena agak macet updatenya. Maaf banget ya. Dengan pengumuman ini, aku mau ceritain sedikit alasannya kenapa. Sebenarnya kekacauan ini terjadi karena fase persiapan untuk season 2. Karena ada pembahasan a, b, c, dan juga revisi dari editor, jadi agak ngadet. Author sama editor lagi giat-giatnya menyusun ide untuk bikin cerita yang lebih intens, terutama karena di season 2 nanti, kita bakal gali lebih dalam soal latar belakang si Valency, dan semua misteri di sekitarnya bakal kebuka satu persatu. Nggak cuma itu, ada bumbu cinta segitiga yang bikin hati kita bergejolak dan pastinya bakal ada lebih banyak "face slapping" buat para antagonis yang bikin kesel. Aku harap ini bisa nambahin sensasi bacanya! Meski aku bakal coba kasih yang terbaik buat tambahan update, tap
Jayden terus menghujani pria itu dengan pukulan-pukulan hingga bahkan tak memberikannya waktu untuk bernapas sejenak atau membalas pukulan Jayden. Wajah pria itu telah babak belur dan dipenuhi dengan luka, belum lagi sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Jayden akan berhenti meluncurkan serangannya, napasnya terlihat memburu seiring dengan emosinya yang tersalurkan lewat memukul.“T-tolong berhenti! Kalau tidak ... kami akan menuntutmu di pengadilan!” ancam pemuda lainnya yang sedari tadi berusaha melerai keduanya tanpa hasil, bahkan tak jarang dia juga ikut terkena pukulan dari Jayden yang membabi-buta.Namun, Jayden sama sekali tidak menggubrisnya.Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang ramai
Setelah hampir dua minggu menginap di kediaman Julian dan Veronica, akhirnya tiba hari di mana Jayden bersama kakek dan neneknya harus kembali ke ibu kota.Di saat melihat sosok Jayden bersama dengan Cleo dan Alex sedang mengarahkan pelayan untuk mengangkut koper mereka ke dalam mobil, Valency yang baru saja selesai mandi langsung terlihat bingung.“Kakak Tampan mau ke mana?” Valency menatap Jayden yang telah rapi, pandangannya tertuju pada bagasi yang dipenuhi koper. “Kenapa kalian membawa koper? Apa kita akan pergi berlibur?”Mendengar pertanyaan itu, Jayden merasa kesulitan menjawab. Dia tahu gadis itu akan menangis kalau mengetahui dirinya akan pergi.Karena diamnya Jayden, Valency merasa tak puas. Dia pun melempar tatapan pa
“Lency sayang!! Aku sangat merindukanmu.”Teriakan itu membuat Valency yang baru saja ingin menyapa tamunya, langsung oleng karena pelukan hangat yang membuatnya tak siap. Beruntung, dia sigap dan bisa mengendalikan diri dengan cepat!“Jen!” seru Valency lantaran kesal temannya itu hampir membuatnya terjatuh. Akan tetapi, ketika melihat wajah Jennita yang seperti ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengannya, Valency hanya bisa menghela napas dan berkata, “Haah, iya aku juga merindukanmu.”“Tidak! Aku yang merindukanmu paling banyak. Kamu tahu sebanyak apa aku merindukanmu? Bahkan jika dihitung pun tidak akan terdefinisikan jumlahnya,” ucap Jennita, wajahnya dibuat seolah sangat tersiksa menahan rindu selama ini. “Aku sangat merindukanmu, hingga ingin
"Ada apa dengan ekspresimu? Ulah apa lagi yang kamu lakukan?"Kimberly segera menepis tangan Keith. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa!"Mata abu-abu Keith menyipit. "Kim. Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kamu menyentuh Verena lagi, aku akan--""Aku tidak melakukan apa pun! Justru wanita sial itu yang berulah!" Ucapan Kimberly terdengar cukup keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh ke arahnya.Sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu dikatai bodoh. Itulah perumpamaan yang cocok untuk kondisi Kimberly saat ini.Ia tidak bisa menemukan Eric yang kemungkinan sudah meminum minumannya yang sudah Kimberly campur dengan obat perangsang khusus. Suatu larutan asing dan tidak ada penawarnya, yang Kimberly dapatkan dari teman sang ibu. Tadi pria itu menemuinya.Satu-satunya cara untuk mengeluarkan zat asing itu dari tubuh si peminum adalah dengan berhubungan badan. Bahkan jika si peminum dibawa ke rumah sakit sekalipun, belum tentu dokter dan tim medis bisa mengatasinya.Lalu
“Tuan Gray. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.” Dengan kalimat itu, bahkan sebelum dokter keluarganya menjelaskan lebih lanjut, Eric sudah tahu apa yang harus ia lakukan.Ia pernah berada di posisi yang sama dengan Verena dan rasanya sangat menyiksa.Waktu itu, Verenalah yang membantunya. Meskipun Eric memaksakan dirinya pada gadis itu, sekalipun dengan tidak sadar. Hal itulah yang membuat Eric merasakan rasa tanggung jawab yang besar terhadap Verena.Dan itu jugalah yang ia rasakan sekarang.Namun, mengingat karakter Verena, gadis itu pasti akan membunuhnya jika Eric mengambil pilihan yang menempatkan pria itu dalam posisi yang "terlalu menguntungkan" dan terkesan mengambil kesempatan."Eric--" Suara Verena kembali terdengar. Wanita itu mencengkeram tangan Eric lebih erat, lalu menggeser tubuhnya agar tidur berbantalkan pangkuan Eric. Lalu, ia kembali mengerang. Detik itu juga, Eric membuat keputusan."Semuanya keluar," ucapnya dengan suara rendah. Nadanya terdengar rendah,
“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Apa yang terjadi ...."Verena berpegang erat pada tepi wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sebab tubuhnya sekarang mulai limbung."Permisi. Apa kamu baik-baik saja?"Verena mendengar salah satu pengunjung kamar mandi bertanya dan ia mengangguk, semata-mata karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya."Wajahmu pucat." Gadis itu kembali berkomentar. Lalu ia mengeluarkan beberapa jenis pil dari dalam tasnya. "Jika ... kamu sedang datang bulan dan merasa tidak nyaman karenanya, ini aku ada obat."Gadis itu meletakkan obat-obatan itu di tepi wastafel, di hadapan Verena."Tidak apa-apa. Jangan malu." Verena mendengar gadis asing itu kembali berucap. "Perlu kuantar ke petugas? Aku juga bisa memanggil dokter."Verena hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Ia menggeleng, mencoba menyampaikan kalau ia tidak butuh bantuan.Meski sebenarnya, ia merasa bahwa ia akan mati di sini Lalu gadis itu keluar dan Verena sendirian di dalam toilet.Ve
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men