Pemandangan laut terlihat begitu jelas di area bukit. Banyak pohon yang rindang dan suara burung yang berburu untuk mencari ikan. Raka menikmati pemandangan itu sambil membuka buku tebal miliknya. Buku itu diberikan oleh Amor untuknya saat mulai berangkat ke perbatasan. Ahh, tidak. Ia harusnya tak bisa lagi memanggil nama Amor sesuka hati, karena laki-laki itu telah menjadi Raja nya saat ini."Yang Mulia Amor. Hmm terdengar sangat luar biasa."Raka mengagumi laki-laki itu sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang luas dan bijaksana. Bahkan saat Raka membaca buku yang diberikan Amor padanya, ia semakin mengagumi laki-laki itu tentang seleranya dalam sastra. Sebagai seseorang yang lebih gemar membaca daripada berkelahi, Raka merasa bahwa ia merasa lebih mirip dengan Amor dibandingkan Bayan kakaknya sendiri."Oi kutu buku! Aku dengar kakakmu sebentar lagi akan dinobatkan sebagai seorang Patih Muda."Raka pun langsung menoleh dan menutup buku miliknya untuk sementara. Julukan 'kutu b
Kehilangan sosok ayah membuat Jarka harus bergantung pada ibunya, hanya saja sang ibu saat ini masih sibuk menangis meratapi kepergian sang suami. Hingga ia terlupa bahwa ada anak yang perlu ia perhatikan. Jarka memandang ibunya dari kejauhan lalu menatap ke arah kakeknya dengan tatapan heran."Kakek, sampai kapan ibu akan bersedih?"Mendengar pertanyaan cucunya, Kerta tersenyum kecut. Ia melihat cucunya yang terlihat masih kecil dan harus kehilangan sosok ayah dan mungkin sosok ibu yang mulai berubah dari pandangannya. Ia merasa sedih atas kejadian yang menimpa keluarganya, hanya saja sebagai seorang pemimpin ia harus terlihat lebih tegar dan kuat dari anggota keluarga lainnya."Seseorang yang telah kehilangan pasangannya akan terus bersedih untuk waktu yang lama." "Apakah jika aku menjadi pasangan Sina dan gugur di Medan perang, Sina akan sedih seperti ibu saat kehilanganku?"Mendengar hal itu Kerta langsung kaget. Ia jarang bermain dengan cucunya dan hanya sibuk dalam kemiliteran
Ayudisha membelai seragam Bayan yang baru, seragam itu akan dikenakan Bayan ketika dilantik menjadi Patih Muda. Hal tersebut membuat Ayudisha membayangkan betapa gagahnya Bayan saat mengenakan itu."Sepertinya istriku jauh lebih senang melihatku menjadi Patih muda dibandingkan diriku sendiri."Mendengar hal tersebut, Ayudisha pun langsung tersenyum lebih lebar. Ia bangga memiliki suami seperti Bayan."Kamu pantas mendapatkannya, jika saja Badra tak menghalangi mu saat pemilihan, mungkin kamu sudah menjadi Patih muda sejak lama."Mengingat hal tersebut wajah Bayan pun langsung kesal. "Ya, ini semua gara-gara Badra. Kalau saja dia tidak menghalangi jalanku, aku jadi tidak perlu masuk penjara dan kita tidak perlu melakukannya disana. Dengan begitu aku mungkin bisa mengontrol diri dan kita tidak perlu memiliki anak terlalu dini. Jadi kita bisa menikmati waktu berduaan lebih lama."Mendengar fokus pembicaraan Bayan yang berbeda darinya, Ayudisha pun langsung melempar sendal ke arah Bayan.
"aku ikut!!!"Suara teriakan Bayan terdengar hingga ke seluruh ruangan. Disana terdapat lebih dari 200 prajurit pilihan yang ditunjuk oleh Amor untuk berangkat ke perbatasan. Ia juga melihat adiknya Sian ikut dalam barisan tersebut. Akan tetapi Bayan tidak terlihat puas karena merasa Amor sengaja tidak melibatkan dirinya pada tugas kali ini.Amor menatap Bayan dengan wajah datar. Ia memang tidak ingin melibatkan Bayan karena laki-laki itu akan bertugas menjaga Ayudisha."Kamu tidak boleh ikut, beberapa hari lagi akan ada pelantikan Patih Muda dan Ayudisha akan melahirkan. Kamu akan ditugaskan untuk menjaga istana. Lagipula prajurit-prajurit ini adalah prajurit terbaik yang dimiliki Malaka. Jadi tak perlu khawatir, perbatasan pasti akan kita taklukkan."Bayan mencibir di dalam hatinya, ia tau bahwa perbatasan pasti akan ditaklukkan. Tapi siapa yang akan menjamin bahwa Raka akan kembali dalam keadaan hidup. Jadi ia bertekad untuk pergi ke perbatasan apapun yang terjadi."Aku akan tetap
Raka menatap ke arah langit dengan perasaan putus asa. Rasa sakit di sekujur tubuhnya begitu menusuk hingga membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak. Hampir setiap bagian tubuhnya penuh luka dan pahanya telah dikuliti dengan pelan. Ada beberapa besi panas masih menancap di tubuhnya. Apalagi saat ia telah diikat di atas kursi dan dibiarkan merasakan sengatan matahari di siang hari dan dinginnya angin di malam hari.Wajah Raka sudah memutih dan bibirnya telah kering. Tak lupa beberapa tetesan darah mengalir dari sudut bibirnya dan beberapa telah mengering di keningnya.Raka tak akan pernah lupa setiap detik yang ia lewati selama penyiksaan. Ia juga tidak akan lupa bagaimana caranya agar ia bisa sampai disini. Selama sehari semalam ia menangis kesakitan hingga hampir membuatnya berdoa untuk lebih baik dibunuh saja.•••"Sampai kapan kami akan bersembunyi?" Warga desa tak sabar dan merasa marah saat melihat rumah mereka yang terbakar satu persatu. Walaupun para prajurit perbatasan tela
Suara kaki kuda yang terus menembus malam tanpa henti membuat masyarakat Malaka tak berani untuk meninggalkan rumah. Bahkan jika mereka tak melihat seperti apa pasukan yang lewat, mereka dapat merasakan aura kemarahan terasa begitu mencekam.Bayan telah memimpin pasukan dan berada di bagian paling depan barisan. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan Ayudisha untuk meminta restu. Karena baginya saat ini menyelamatkan Raka adalah yang terpenting. Kemarahan yang dimiliki Bayan begitu besar hingga membuatnya tak melepas golok di saku kirinya. Ia telah siap memenggal siapa saja yang berani menghalangi jalannya."Aku akan membunuh semuanya." ucapnya bertekad.Malam itu begitu sunyi di istana. Tak ada yang berani menyinggung tentang ketegangan yang ada di perbatasan. Hanya saja Ayudisha selalu tau hal tersebut mengingat saat ini ia hanya bersama dengan Sian bukan Bayan. Hal tersebut menandakan bahwa keadaan di perbatasan adalah sesuatu yang berbahaya dan darurat.Ayudisha pun melihat Sian yang
Setelah warga desa melapor tentang keberadaan Raka, para prajurit Senggrala pun langsung menyerbu tempat persembunyiannya. Hampir semua prajurit Malaka dibunuh dan Raka diseret untuk mereka siksa hidup-hidup.Hari ini tepat dua hari dua malam Raka disiksa dengan cara yang tak manusiawi. Hanya saja dalam keputusasaan yang begitu dalam, Raka masih berusaha keras untuk hidup walaupun nafasnya sudah menipis. Ia masih yakin bahwa kakaknya akan datang dan menyelamatkannya."Sepertinya dia sudah mati, ayo kita kirim kepalanya ke Malaka."Salah seorang prajurit pun menjambak rambut Raka dan membuatnya mendongak. Dari cahaya obor dapat ia lihat dengan jelas bahwa mata Raka masih terbuka dan terlihat masih jernih seperti sebelumnya."Dia masih hidup."Mendengar hal tersebut, para prajurit disekitarnya pun langsung kaget. Mereka tidak menyangka orang yang mereka siksa habis-habisan masih memiliki nafas yang tersisa."Dia masih hidup?!""Sial! Dia begitu keras kepala. Padahal kita sudah menyiksan
Bayan melepas pelukannya pada sang adik dan menaruhnya diantara rerumputan yang hijau di bawah pohon yang rimbun. Ia tidak ingin adiknya merasa tidak nyaman karena tanah yang keras ataupun sinar matahari yang panas ketika matahari timbul nanti. Setelah itu Bayan kembali mengambil golok miliknya dan berlari sambil menebas para prajurit Senggrala satu persatu.Salah satu pemimpin Senggrala merasa takut atas keganasan Bayan, akan tetapi ia puas setelah membalaskan dendamnya. "Sekarang kamu merasakan apa yang kami rasakan. Kamu telah kehilangan adikmu, bagaimana rasanya? Itulah yang kami rasakan ketika kamu membunuh Patih Muda kami!"Mendengar hal tersebut, Bayan pun langsung mencibir. Ia tidak tau bahwa rivalnya itu memiliki bawahan yang begitu bodoh. Pantas saja dia begitu mudah dibunuh."Berapa lama kamu mengikuti Wira menjadi bawahan?"Nama itu adalah nama kelahiran dari Patih Muda Senggrala. Hanya saja orang-orang jarang menyebut namanya karena tidak enak jika menyebutnya dengan nam
Ayudisha menggendong putrinya sambil melihat Lo Gading yang sedang duduk dan menatap tanah. Hal tersebut membuat Ayudisha merasa heran melihat putranya itu. Apalagi Lo Gading masih tidak bergerak bahkan setelah beberapa jam."Lo Gading, apa yang sedang kamu amati? Hari sudah mulai terik, kemarilah."Akan tetapi Lo Gading masih tetap berjongkok dan terus menatap ke tanah. Setelah beberapa saat ia pun melihat ibunya dan bertanya."Bu, kenapa semut berjalan seperti bebek?""Hah?"Ayudisha pun langsung heran, sejak kapan semut berjalan seperti bebek?Lo Gading selalu bertanya pada sesuatu yang sulit ia mengerti. Akan tetapi rasa ingin tau anak itu begitu besar, sehingga ia selalu menanyakan sesuatu yang bahkan tidak pernah ditanyakan oleh orang lain."Bebek tidak berjalan seperti semut anakku. Mereka berbeda, bebek memiliki dua kali sedangkan semut memiliki lebih.""Tapi aku melihat cara mereka berjalan sama."Untuk beberapa saat Ayudisha terdiam, dan akhirnya mengingat kembali kenangan k
3 tahun kemudianBayan menatap putranya dengan tatapan tak percaya. Ia panik saat ini karena Ayudisha akan melahirkan seorang anak, tapi lihat putra nya yang berbakti itu. Dia bahkan sempat menguap saat mendengar jeritan ibunya yang kesakitan."Apakah kamu tidak khawatir ibumu kenapa-napa?"Mendengar pertanyaan Ayahnya, Lo Gading pun mengangguk."Aku khawatir." ucap Lo Gading dengan suara kecilnya.Akan tetapi raut wajahnya masih terlihat santai dan malas. Hal tersebut membuat Bayan menjadi semakin kesal."Lalu kenapa kamu terlihat seperti itu? Tidak ada raut khawatir di wajah mu, biasanya anak-anak akan menangis jika mendengar jeritan ibunya.""Apakah menangis itu berguna saat ini? Apakah tangisan ku dapat mengurangi rasa sakit yang ibu rasakan? Kalau memang begitu, aku akan menangis sekarang."Bayan pun terdiam, ia merasa putranya tidak normal. Terlalu malas dan tidak ada jejak kekanakan yang tersisa. Padahal jika diingat saat ia masih bayi, Lo Gading cenderung imut bahkan ketika di
Hari begitu cerah dan kehidupan di Malaka menjadi begitu membahagiakan. Tak ada lagi perselisihan dan keributan yang berarti dan kehidupan masyarakat jauh lebih sejahtera dari sebelumnya. Sejak kelahiran Pangeran mahkota keberuntungan selalu menghampiri Malaka tidak ada akhirnya. Seolah bayi lucu itu memang ditakdirkan untuk membawa banyak keberuntungan untuk semua orang.Ayudisha menggendong putranya sambil menatap ke arah pohon mangga tempat ia biasa duduk bersama dengan Bayan. Tempat yang biasa ia gunakan untuk mengelus perutnya yang sekarang nyeri dan tak nyaman. Akan tetapi kali ini ia sudah tak merasakan sakitnya lagi dan menikmati kebahagiaan tanpa beban yang berarti."Kamu adalah anugerah terindah yang diberikan tuhan padaku di kehidupan ini." ucap Ayudisha pada anaknya.Entah anak itu mengerti apa yang diucapkan oleh ibunya, atau dia terlalu senang dalam gendongannya, tapi dapat Ayudisha melihat dengan jelas bahwa anak itu tersenyum. Sangat tampan dan manis. Hal tersebut memb
Suara tangisan seorang bayi yang terdengar nyaring telah berhasil membuat semua orang di istana merasa bersyukur. Mereka pun langsung tersenyum dan mengucapkan selamat pada masing-masing anggota keluarga. Tak lupa mereka mengucapkan syukur yang mendalam pada Tuhan yang telah menitipkan sebuah kehidupan baru untuk keluarga mereka.Setelah itu pintu ruang persalinan pun terbuka dan Bibi Bayan menatap semua anggota keluarganya dengan senyum merekah. "Seorang bayi laki-laki telah lahir dengan selamat.""Bayi laki-laki?!!"Setelah itu ibu Ayudisha pun keluar dan membawa bayi di pelukannya yang telah bersih oleh air hangat. Hal tersebut membuat semua orang langsung bersorak bahagia. Bayi itu berkulit putih dengan hidung yang mancung. Mengingatkan Putri Minah dengan Amor ketika dilahirkan pertama kalinya.Sian, Daka dan Jiru pun tak kalah girang. Mereka melihat keponakan mereka untuk pertama kalinya dan itu membuat mereka bersyukur dengan suara yang keras."Syukurlah dia tidak mirip Kakak B
Semua orang khawatir akan keadaan Ayudisha, mereka takut karena merasa Ayudisha lemah dan tak tahan dengan rasa sakit. Akan tetapi hanya Ayudisha yang tau bagaimana ia menikmati rasa sakitnya dengan perasaan bahagia. Rasa sakit itu membuatnya sadar bahwa bayi di dalam perutnya benar-benar hidup. Bayi itu benar-benar ada dan itu terjadi dalam hidupnya di kehidupan ini.Hampir setiap detik dalam hidup Ayudisha di kehidupan sebelumnya, ia merasa kesepian dan cemburu melihat anak orang lain. Ia mengalami banyak kesedihan dan rasa sakit hanya karena ia tidak bisa memiliki anaknya sendiri. Terkadang wanita menjadi begitu tidak berharga ketika mereka tidak bisa memiliki seorang anak untuk suaminya. Seolah mereka adalah sebuah benda yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seolah ia adalah benda yang cacat dan mereka sangat menyesal setelah membelinya.Akan tetapi sekarang ia memiliki seorang laki-laki yang menerimanya bahkan jika ia tidak akan memiliki anak seumur hidupnya. Ia memiliki lak
Bayan memeluk Ayudisha dan membuat tubuh Ayudisha lebih nyaman saat berbaring. Setiap malam Bayan akan mengatur cara Ayudisha tidur karena Ayudisha sudah tidak nyaman dengan perut besarnya. Terkadang Ayudisha akan memiliki nafas yang sedikit pendek karena kesulitan saat bernafas."Lebih nyaman?" tanya Bayan lembut.Ayudisha pun mengangguk dan tersenyum. Ia benar-benar dilayani oleh suaminya dengan sangat baik. Setiap ketidaknyaman yang ia alami selalu Bayan perhatikan. "Kalau begitu selamat tidur istriku yang cantik." ucap Bayan sambil mencium kening istrinya."Selamat tidur juga suamiku yang tampan."Keduanya saling merayu tanpa ada rasa malu terlihat di wajah mereka. Sangat berbeda ketika mereka masih pengantin baru. Sekarang mereka lebih leluasa dalam mengungkapkan rasa cinta hingga tidak ada kecanggungan.Setelah itu keduanya tertidur sambil berpelukan. Malam ini sangat ramai mengingat hampir setiap anggota keluarga berada di tempat yang sama. Ayudisha sebenarnya tidak terlalu ny
Para anggota keluarga kini telah berkumpul. Walaupun tidak semuanya tapi itu cukup ramai mengingat sebentar lagi mereka akan menyambut kedatangan anggota keluarga yang baru. Apalagi anak Ayudisha dan Bayan akan menjadi cucu pertama di keluarga masing-masing.Umur kandungan Ayudisha sudah sembilan bulan dan tinggal menghitung hari untuk melihat bayi itu dilahirkan ke dunia. Hal tersebut membuat anggota keluarga sangat antusias untuk mempersiapkan banyak hal untuk kelahiran nanti. "Apakah persiapannya sudah cukup?"Mendengar pertanyaan ibunya, Amor pun menggelengkan kepala dengan pasrah."Ibu telah menanyakan itu sebanyak tiga kali dan jawabannya masih tetap sama. Persiapan sudah cukup dan kita hanya tinggal menunggu Ayudisha melahirkan."Putri Minah yang melihat Amor dengan tatapan tidak suka. Ia sering bertanya-tanya terus menerus karena ia sebenarnya sangat gugup. Maklum saja ini pertama kalinya ia akan menjadi nenek, walaupun ia sangat berharap bahwa cucu pertamanya akan berasal da
Di Senggrala hampir semua tabib dikumpulkan untuk menyembuhkan penyakit Raja. Akan tetapi hingga kini masih belum ada solusinya. Menurut keterangan tabib, hal tersebut dikarenakan ada ulat bulu langka yang menyerang burung Yang Mulia. Hal tersebut membuat Sang Raja pun tak terima dengan tuduhan itu. Ia sangat yakin bahwa wanita itu menaruh racun di tubuhnya hingga membuat tubuhnya menjadi seperti ini."Maaf Yang Mulia, tapi hasil dari pemeriksaan saya hampir sama dengan tabib yang lainnya."Mendengar hal tersebut, Raja Senggrala langsung berteriak marah. Ia memarahi semua orang, akan tetapi ia masih terbaring lemah dan tak bisa bangun untuk melampiaskan nya secara fisik.Tak lama Raja merintih lagi, ia kesakitan dan hal tersebut membuat para tabib menjadi panik dan khawatir. Ulat bulu memang dapat membuat gatal-gatal, akan tetapi entah kenapa sangat sulit disembuhkan hingga membuat bengkak dan panas. Jadi para tabib semakin bingung bagaimana cara menyembuhkannya. Mereka pun berusaha u
Matahari telah terbit dibalik bukit perbatasan Malaka. Akan tetapi mereka masih berdiri sambil menunduk dan berdoa pada orang-orang yang telah meninggal di bukit ini.Ratusan prajurit telah gugur di medan pertempuran tanpa ada kemenangan yang mereka bawa. Keduanya meninggal tangis dan luka pada orang-orang yang telah mereka tinggalkan.Keempatnya menangis dalam diam sambil mengingat kakak mereka yang telah meninggal dengan cara yang begitu menyakitkan. Setelah itu, Yuda pun menatap ketiga adik Bayan sambil mengucapkan perpisahan."Senang berkenalan dengan kalian.""Kami juga senang berkenalan denganmu.""Ya, aku harap kita akan bertemu lagi tapi tidak di medan perang."Jiru, Daka, Sian dan Yuda. Mereka adalah calon prajurit tangguh yang akan memimpin pasukan di kerajaan mereka masing-masing. Selama perjalanan mereka telah berkenalan dan sudah saling mengenal. Akan tetapi mereka selalu tau bahwa persahabatan mereka ditakdirkan untuk berlalu dalam waktu yang sangat singkat.Keempatnya a