5 bulan kemudian Carla kira, kembali lagi ke rumah itu akan membuat sakit hatinya hilang. Carla kira, Abi sang suami yang masih dicintainya juga akan berubah seiring waktu berlalu. Ternyata tidak, dia tidak berubah sama sekali. Saat Carla masuk kembali ke kamar itu, suasana penuh kehangatan yang telah dibangunnya selama tujuh tahun berlalu hilang semua. Berganti asing dan tak dikenalnya. Carla datang ke rumah ini hanya untuk mempertahankan apa yang selama ini harus dipertahankan. Ini miliknya, bukan milik mereka. "Kamu, kembali ke sini?" tegur Riandari yang baru saja turun dari lantai dua kamarnya. Carla tak menjawabnya. Malas, pikirnya. "Tidak tahu malu." "Seharusnya, yang numpang di sini yang harus tahu malu," ketus Carla. Ia duduk bersama bibik di ruang makan sambil memakan sarapannya. Mata Riandari memicing heran, giginya bergemeletuk melihat bibik ikut makan di meja makan bersama Carla. Ia pun naik pitam. "Loh, ini babu kamu kenapa ikut makan di sini? Enggak tahu malu! Per
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Makan! Maunya apa sih nih anak?" bentak Risya pada Fariska yang sejak tadi terus membungkam mulutnya dengan tangan sambil menggelengkan kepalanya. "Mama sibuk ini!" "Mau kak Adam!" Fariska berteriak keras memanggil nama Adam. Risya mendelikkan matanya lalu menarik tangan Fariska yang menutup mulutnya dengan paksa. Gadis kecil itu menangis kencang berteriak memanggil nama Adam. Benar saja, begitu Adam turun dari tangga, Fariska berlari menghampirinya. Hampir saja gadis kecil itu terjatuh, beruntung Adam dengan sigap menggendongnya. "Fariska kenapa nangis?" Adam mengusap air mata adik tirinya itu dengan tangan. Fariska menggeleng ketakutan tapi matanya melirik ke arah Risya yang sedang berkacak pinggang. "Kamu memang pengacau ya, di rumah ini! Gara-gara kamu, Fariska jadi enggak nurut lagi sama saya! bentak Risya yang semakin membuat Fariska ketakutan. "Yang pengacau itu tante. Sejak tante masuk rumah ini, tidak ada kedamaian sama sekali," celetuk Adam. "Lepaskan Fariska!" Risya m
"Pa, Adam mau bicara." Abi menghentikan pekerjaannya. Ia membuka kacamata yang sejak tadi bertengger di hidungnya. Anak semata wayangnya dengan Winda itu tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. Pasti ada sesuatu hal serius yang ingin dibicarakan olehnya. "Ada apa?" Abi mempersilakan Adam duduk di salah satu sofa. Adam pun duduk berhadapan dengan ayahnya. "Sepertinya ada pembicaraan serius?" "Kenapa papa enggak pernah bilang kalau Fariska punya sedikit kelainan. Ah, bukan kelainan tapi ada keterlambatan tumbuh kembang. Papa sudah bawa dia ke dokter anak?" tanya Adam panjang lebar. Abi melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Pelipisnya berdenyut tiba-tiba mendengar pertanyaan Adam yang selama ini ia sembunyikan. Fariska memang memiliki keterlambatan pertumbuhan sejak kecil. Fisiknya terlalu lemah dan sering sakit-sakitan. Abi bukannya tak pernah membawanya ke dokter, hanya saja dirinya banyak sekali pekerjaan beberapa tahun belakangan. Karirnya sempat h
Sesuai janjinya semalam, Adam menjemput Jihan lebih dulu baru berangkat ke kampus. Dua sahabat itu kembali akrab setelah delapan tahun berpisah. Adam masih seperti dulu, selalu memberi perhatian lebih pada Jihan dan itulah yang membuat hati gadis itu selalu berbunga-bunga bahagia. "Adam, nanti pulangnya bareng apa enggak?" tanya Jihan sebelum turun dari mobil. Adam melirik sekilas lalu mengangguk. Sebuah senyuman manis terbit di bibir Jihan. "Jam tiga kan?" "Iya. Soalnya Rayhan hari ini kuliah siang. Oh ya, kamu jadi ikut kumpulan hari ini?" tanya Jihan lagi. "Sepertinya tidak. Aku tadi membatalkannya sebelum jemput kamu." Jihan mengerutkan dahinya. Biasanya, Adam paling senang ikut perkumpulan mahasiswa yang sering membahas tentang isu sosial. "Kenapa?" Jihan terlihat penasaran. "Aku ingin meluangkan waktu sejenak buat adik tiri aku." Adam mengubah cara duduknya hingga kini berhadapan dengan Jihan. Pria tampan itu menggaruk-garuk dagunya memikirkan sesuatu yang sepertinya sanga
Adam berdiri di depan gudang belakang yang masih penuh dengan tumpukan kardus dan barang-barang besar milik Risya. Diamatinya satu persatu barang itu hingga mulutnya berdecak kesal. Ada pakaian, kosmetik, skin care dan barang keperluan wanita yang tercecer di meja panjang dekat peralatan untuk fotosyut. Dahinya mengernyit heran. Entah pekerjaan apa yang dilakukan oleh ibu tirinya itu hingga membuat aura rumah mewah ini jadi tidak ekslusif lagi. Waktu kecil, bahkan dirinya saja enggan mengubah isi perabotan rumah dengan mainannya karena tak mau rumahnya tercemar. "Memangnya tante Risya itu kerja apa, Pak Us?" tanya Adam pada salah satu penjaga rumah yang dikenalnya sejak dirinya masih kecil. Pak Us masih mengenalnya ternyata walau dirinya sudah lama pergi dari rumah ini. "Oh, beliau itu beauty vlogger. Sering banget syuting di sini. Kalau lagi ada barang baru, bisa sampai satu hari," ujar pak Us yang dibalas anggukan oleh Adam. "Terus, pak Us sering awasi mereka?" "Sering. Pak Abi
"Papa kenapa menyerahkan hampir separuh lebih saham papa sama Adam?" Suasana di dalam mobil menjadi sedikit lebih tegang karena kedua ayah anak itu saling diam setelah pertemuan bersama Al tadi. Adam menampakkan wajah seriusnya yang baru kali ini ditunjukkan di depan ayahnya. Abi melirik anaknya yang masih membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang baru saja ia layangkan kepadanya. "Papa, lebih percaya sama kamu daripada tante Risya. Semenjak kamu pergi meninggalkan papa, segalanya lebih sulit dilalui." Abi pun mulai bercerita tentang kesulitan yang ia jalani semenjak perceraiannya dengan Carla hingga terpuruknya kondisi keuangan rumah tangganya. Risya yang hidup mewah selalu saja minta dibelikan barang-barang di luar kebutuhan. Jika tidak memberikan, Abi diancam oleh paman Risya yang seorang anggota dewan. "Lalu sekarang? Papa sudah mulai berani?" tanya Adam mengerutkan dahinya. "Pamannya sudah meninggal, nenekmu sudah tak b
Abi benar-benar melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang ayah untuk Adam. Ia pergi mengantarnya ke kampus untuk melakukan pendaftaran lalu ke pabrik dan setelahnya pergi ke kantor pusat. Rencananya, Adam ingin bertemu dengan Al. Sudah lama dirinya tak berjumpa dengan om kesayangannya itu. "Selamat siang, om Al." Adam berlari menghampiri Al yang sedang menyantap makan siangnya di meja tengah ruangannya. Ada Kesya dan anaknya juga di sana, melongo kaget melihat Adam yang datang tiba-tiba. "Adam? Astaga, apa kabar kamu? Kenapa baru muncul?" Al menepuk-nepuk punggung Adam yang sudah lama tak dilihatnya sejak delapan tahun lalu ia tinggalkan di Sidney. "Om kangen sama kamu. Katanya kamu ke Jakarta lusa tapi kok tidak ada informasinya. Kamu ke sini sama siapa?" Adam menoleh ke belakang. "Sama papa, om," tunjuk Adam pada ayahnya yang datang sambil menenteng makanan yang tadi ia pesan sebelum datang ke kantor. "Oh sama Ab
"Selamat pagi," sapa Adam dengan senyum cerah di bibirnya. Abi membalas sapaan anaknya dengan senyuman lebar. Belum pernah senyumnya selebar ini sejak delapan tahun lalu. "Sarapan sama papa, yuk. Ini semua makanan kesukaan kamu. Papa yang pesan semuanya sama si mbak." "Pa, nanti aku mau daftar kuliah ya. Sama Jihan dan Rayhan," ujar Adam sambil mengunyah makanannya. "Kamu butuh motor enggak? Nanti papa belikan kamu motor atau mungkin mobil buat kuliah nanti," tanya Abi. Adam melirik ke samping kanan ayahnya, ada ibu tirinya tengah memelototinya hingga matanya hampir keluar dari lubangnya. Pemuda tampan itu menyeringai. "Papa punya uang buat beli mobil? Kalau Adam sih, apa saja mau. Yah, walaupun mama Carla sudah kasih semua yang Adam butuhkan." Adam melirik sekali lagi pada wanita yang masih duduk di samping ayahnya. "Papa bisa kok belikan kamu mobil. Nanti papa mampir dealer mobil sepulang kerja. Atau, kamu mau sekalian ikut? Papa jemput kamu di kampus atau—" "Nanti aku ke kan
Setelah berbincang cukup lama, Adam dan Abi naik ke lantai dua. Adam berniat ingin tinggal di rumah ayahnya setelah dibujuk oleh Bimo dan Abi. Kata Bimo, rumah itu adalah rumahnya yang ditinggalkan oleh Carla sebelum bercerai. Adam berhak tinggal di sana, tak boleh ada yang melarang. Abi menunjukkan kamar masa kecil Adam yang masih rapi seperti saat terakhir ia meninggalkannya. Adam meraba bantal dan ranjang yang masih bersih. Meja dan lemari yang berisi pakaian serta mainan masa kecilnya tak satupun berpindah.Adam terdiam sejenak. Memorinya kembali ke masa kecil sebelum ia pindah. Ada bayangan ibu dan ayahnya tengah duduk di tepi ranjang membicarakan rencana mereka yang akan berlibur ke luar kota. Wajah ibunya terlihat jelas menggambarkan rasa bahagianya saat itu. Ayahnya pun sama. Namun semua berganti dengan pertengkaran yang terjadi saat neneknya datang membicarakan pernikahan kedua ayahnya. Adam meremat tangannya lalu berbalik menghadap ayahnya yang masih setia berdiri di bela
"Hari ini kamu mau pergi ke rumah papa kamu, Dam?" tanya Rayya yang kini sibuk menata meja makan. Sahabat Carla itu sangat senang memasak, pagi hari ia sudah siap menyajikan makanan untuk anggota keluarganya yang akan beraktivitas di luar rumah. "Kalau menurut tante sih, besok saja." Adam mengerutkan dahinya. Entah kenapa, larangan Rayya seperti sebuah misteri tersembunyi tentang kehidupan ayahnya. "Memangnya kenapa, tante?" "Papa kamu itu—" "Dia lagi depresi sekarang. Kami takutnya kamu dilabrak habis-habisan sama istrinya," ujar Bimo sedikit frontal. "Depresi kenapa, om? Ada sesuatu yang saya lewatkan selama pergi ke Sidney?" tanya Adam dengan wajah keheranan. Bimo dan Rayya saling berpandangan dan memberi kode satu sama lain. Adam semakin curiga dengan gerak-gerik mereka berdua. "Papa kamu, telah menikah lagi. Kita semua tidak tahu apa alasannya." Bimo menaruh sendok makan lalu mengusap mulutnya menggunakan lap makan. "Dia sekarang sudah tidak berada di kantor mama kamu." "K