"Jadi, kamu tuduh aku selingkuh? Sejak aku keluar dari rumah sakit, hanya itu saja yang bisa kamu tuduhkan?" Carla yang sudah jengah terpaksa keluar dari dalam mobil. Walau dalam keadaan terengah-engah karena masih merasakan tubuh yang kurang sehat, ia memilih untuk menemui Abi yang tengah berdebat dengan Al. Ini tidak benar, ia tak pernah sekalipun berselingkuh dengan siapapun. "Memang itu kan kenyataannya. Lihat, selingkuhan kamu datang ke sini untuk membawa kamu kabur. Bukankah itu sudah jadi bukti?" Abi, dengan mulut kejamnya menuduh istrinya telah bermain gila di belakangnya. Dulu, semarah apapun Abi tak pernah sama sekali ia mengucapkan kalimat tajam menusuk seperti tadi. Ini sudah di luar kebiasaannya. "Atas dasar menjemput? Kamu sudah gila, Mas? Buat apa aku berselingkuh?" Carla berteriak. Satu tangannya menahan sakit di dekat ulu hatinya. Asam lambungnya kembali naik setelah kemarin telah hampir sembuh total. "Tanyakan sama hatimu. Apa yang sebenarnya kamu inginkan." Ri
5 bulan kemudian Carla kira, kembali lagi ke rumah itu akan membuat sakit hatinya hilang. Carla kira, Abi sang suami yang masih dicintainya juga akan berubah seiring waktu berlalu. Ternyata tidak, dia tidak berubah sama sekali. Saat Carla masuk kembali ke kamar itu, suasana penuh kehangatan yang telah dibangunnya selama tujuh tahun berlalu hilang semua. Berganti asing dan tak dikenalnya. Carla datang ke rumah ini hanya untuk mempertahankan apa yang selama ini harus dipertahankan. Ini miliknya, bukan milik mereka. "Kamu, kembali ke sini?" tegur Riandari yang baru saja turun dari lantai dua kamarnya. Carla tak menjawabnya. Malas, pikirnya. "Tidak tahu malu." "Seharusnya, yang numpang di sini yang harus tahu malu," ketus Carla. Ia duduk bersama bibik di ruang makan sambil memakan sarapannya. Mata Riandari memicing heran, giginya bergemeletuk melihat bibik ikut makan di meja makan bersama Carla. Ia pun naik pitam. "Loh, ini babu kamu kenapa ikut makan di sini? Enggak tahu malu! Per
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri