Carla itu kuat. Penyakit yang dideritanya hampir satu tahun ke belakang tak ada yang mengetahuinya. Ia memang sering mengeluh nyeri di sekitar perut. Sering sekali datang untuk periksa namun hasilnya selalu saja diagnosa penyakit lambung.Pernah satu kali Carla curiga dengan rambutnya yang sering sekali rontok. Namun selalu diabaikan olehnya. Dirinya yakin, itu semua karena stress yang berlebihan. Mungkin karena pernikahannya penuh dengan tekanan, membuat dirinya memiliki penyakit itu."Mas Abi kemana, Mas?" tanya Carla yang baru saja sadar dari tidur panjangnya. Lebih dari lima jam ia tak sadarkan diri lalu terbangun menjelang malam hari.Ia mencari keberadaan suaminya. Kecewa, tapi ia hanya bisa pasrah."Dia pulang," sahut Vian singkat. Wajah kesal itu tak ingin berkomentar banyak tentang keberadaan Abi yang tengah dicari-cari oleh Carla. Menyebalkan, pikirnya. "Oh, aku pikir dia nungguin aku disini." bibir Carla menekuk. Senyum
Risya mendatangi Abi ke kantor. Niatnya kali ini ingin mengajaknya makan siang di luar. Karena kebetulan teman-temannya sesama selebgram sedang mengadakan acara kumpul bersama di resto dekat kantor Abi. Ini kesempatan dirinya memperkenalkan Abi pada mereka. Supaya mereka tahu, kalau semua yang diceritakannya itu fakta."Mas Abi ada di dalam?" tanya Risya pada sekretaris Abi yang sedang fokus mengetik di komputernya. "Ada, Bu. Mau saya hubungi lebih dulu?" jawab si sekretaris yang dibalas gelengan kepala oleh Risya. Wanita itu langsung masuk ke dalam ruangan milik suaminya yang ternyata tengah sibuk memeriksa berkas."Risya? Kenapa enggak kasih tahu aku kalau mau ke sini?" Abi berdiri merentangkan tangannya menyambut sang istri masuk ke dalam pelukannya. Risya membalasnya. Pelukan hangat dari sang suami membuatnya nyaman."Aku mau ajak mas ke resto dekat sini. Teman-teman aku lagi kumpul. Mereka mau ketemu sama mas Abi juga," rayu Risya
Adam berseru senang mendengar ibunya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Hampir satu minggu ibunya terbaring lemah di ranjang rumah sakit dan selama satu minggu itu juga Adam selalu setia menemaninya. Adam tak suka melihat ibunya sakit terlebih ia bosan berada di ruangan putih dengan bau obat menyebar. Ia sudah tak sabar untuk merawat sang ibu di rumah dibandingkan di ruangan putuh itu. Terlebih, ia tak tega melihat tangan Carla yang ditusuk jarum infus berhari-hari. Setelah mengetahui berita kepulangan Carla, bocah kecil itu berlari menghampiri neneknya yang tengah sibuk membereskan pakaian. Tangan mungilnya ikut menata satu persatu barang milik Carla yang harus dimasukkan ke dalam koper kecil di atas meja. “Adam mau bantuin juga, eyang,” seru Adam. Bocah kecil itu mengira memasukkan barang ke dalam koper sama seperti bermain puzzle. Hani sang nenek menggelengkan kepalanya. Ia menolak dengan halus bantuan Adam yang menggebuu-gebu itu. “Kamu bantuin mama saja. Tuh, mama kesulita
Suasana rumah Abi terasa sunyi. Saat si pemilik rumah itu pulang, semua lampu hampir seluruhnya dipadamkan. Abi melangkah perlahan masuk ke dalam rumah, menapaki anak tangga lantai dua kamarnya. Sebelum memasuki kamar, ia sempat mendengkus kesal. Dilihatnya lagi ponsel di tangan tanpa ada niat membukanya. Sejak kemarin, tak ada satupun pesan yang dikirimkan oleh Carla sebagai balasan atas kekhawatirannya. Semua ini memang salahnya.Setelah mandi dan berganti pakaian, Abi duduk di atas ranjang lalu membuka ponselnya. Hampir empat hari lamanya ia mengabaikan pesan dari Carla karena sibuk mengadakan perjamuan makan di keluarga besar Risya. Istri keduanya itu mengadakan pertemuan untuk mengumumkan perihal kehamilannya.Sambil menunggu kantuknya mata, Abi membayangkan sesuatu di masa lalu. Pikirannya melayang ke masa saat dirinya pertama kali bertemu dengan Carla. Jika bukan karena dirinya tak sengaja tertabrak mobil Carla, mungkin dirinya tak akan pernah bertemu dengan wanita cantik itu
Satu minggu sudah Carla tinggal di rumah ibunya, selama itu pula kesehatannya mulai berangsur pulih. Ibunya sangat memperhatikan asupan makanan yang dimakan oleh Carla setiap hari. Begitu pula dengan Adam, sejak ia berada di rumah neneknya jadwal makan tak pernah terlewat sedetik pun karena Hani selalu menanyakan pukul berapa Adam akan makan siang dan apa saja makanannya.Carla tak diizinkan ke luar dari rumah. Hani tak mengizinkannya. Oleh karena itu, sejak dirinya ke luar dari rumah sakit sejak itu pula pekerjaannya selalu dikerjakan dari rumah. Sisanya, Al yang akan turun tangan.Al adalah salah satu pemilik saham terbesar di perusahaan minuman yang Carla dan Abi dirikan lima tahun silam. Ia berhak mengontrol kebijakan yang diterapkan perusahaan itu dan langkah yang akan ditangani jika terjadi masalah. Untuk saat ini, ia akan menggantikan posisi Carla hingga sembuh total.Al yang bertanggung jawab menggantikan Carla selalu pergi mengecek keadaan kantor setiap harinya. Ia datang men
Carla ada pertemuan hari ini. Kemarin siang, ada salah satu klien yang sering memesan bahan mentah ke pabrik miliknya menghubungi Carla lewat telpon. Mereka meminta Carla datang untuk memantau produksi pesanan milik mereka agar berjalan sesuai perjanjian yang disepakati. Karena mereka mendapat informasi bahwa ada pengurangan kualitas bahan yang akan dipakai saat produksi.Belum sempat Carla selesai berpakaian, suara dering ponselnya menginterupsi. Carla sempat menyipitkan matanya. Nomor yang menghubunginya sangatlah asing.“Halo, selamat pagi?” sapa Carla.[Halo bu Carla, ini saya Fatur yang kemarin menghubungi bu Carla. Saya dan tim sudah ada di pabrik menunggu bu Carla. Kira-kira bu Carla sampai di pabrik jam berapa?]Carla melirik arlojinya.“Kurang lebih satu jam lagi. Saya baru selesai mencari file kerjasama tadi pagi. Pak Fatur tunggu di ruangan saya atau di ruang tamu. Saya sudah beritahu sama staf yang kerja di sana.”[Oh, baiklah bu. Saya akan tunggu di ruangan anda saja. Hat
Carla masuk ke ruangan Abi setelah pria itu kembali ke kantor setengah jam yang lalu. Tak ada sapaan dan kata-kata manis keluar dari bibirnya. Dokumen yang dibawa olehnya pun dibanting kasar di atas meja hingga membuat suaminya terlonjak kaget."Sayang, ada apa?" Abi sama sekali merasa tak bersalah dengan apa yang telah diperbuatnya. Carla kecewa."Kenapa kamu mengubah perjanjiannya? Hampir saja perusahaan ini digugat oleh klien. Kan kamu sudah tahu jika harga bahan baku naik, tidak akan mengubah harga jika perjanjian itu dilakukan sebelumnya." Carla menghempaskan tubuhnya duduk di atas sofa. Abi ikut duduk di hadapannya sambil membuka dokumen yang tadi dibanting oleh Carla."Aku minta maaf. Aku salah ambil keputusan karena ada yang tidak beres dengan keuangan perusahaan saat itu." Abi menghela napas lega. Tadi, saat salah satu staf di pabrik bercerita ada Carla di sana, Abi segera pergi. Apalagi ada info dari mereka jika Carla sedang dalam kondisi marah."Kamu tahu, kamu hampir membu
Al baru saja tiba di ruangannya setelah melakukan pertemuan dengan para direktur untuk membahas hal penting di perusahaan. Carla seorang yang perfeksionis. Tak menginginkan satu masalah mengendap dan terus berulang dalam pekerjaannya, ia memilih untuk menelusuri hingga akhir semua kejanggalan itu.Ini semua berkaitan dengan isu perubahan bahan baku yang telah disepakati sebelumnya. Hal yang sebenarnya mudah tapi menjadi melebar urusannya jika diketahui oleh publik. Saat Al baru saja mendudukkan pantatnya di atas kursi kebesarannya, sekretarisnya datang memberi sebuah dokumen."Apa ini?" tanyanya sambil membolak-balok kertas di dalam sebuah map."Itu dikasih sama HRD, Pak. Katanya ada pelamar yang bilang atas rekomendasi pak Abi," jawab si sekretaris."Owh. Apa katanya?""Orang itu mau melamar posisi manajer keuangan. Lihat saja pak CV nya." Al mengangguk dan mulai membaca satu persatu isi surat lamaran itu. Satu senyuman tipis di ujung bibirnya seperti sedang meremehkan surat lamaran
Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera
Abi benar-benar telah matang dalam mengambil keputusan untuk bercerai dengan Risya, istrinya. Di dalam kepalanya, tak ada lagi kesempatan kedua untuk mempertahankan rumah tangga. Abi sudah muak dengan segala macam drama yang telah Risya buat. Walaupun dengan penolakan tak rela dari Risya, tetap saja Abi bersikeras untuk menceraikannya. Baginya, perselingkuhan adalah kehinaan dalam sebuah hubungan. "Turun!" perintah Abi yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Risya. "Jangan sampai aku bertindak kasar padamu!" tegas Abi. Pria itu membuka pintu samping lalu menarik Risya ke luar. Risya terus memberontak bahkan tak segan memukul lengan Abi dengan keras. Abi tak peduli, ia tetap menarik Risya setelah berhasil menurunkan dua koper besar milik wanita itu. "Mas, aku enggak mau pulang ke sini!" rengek Risya. Tak peduli dengan rengekan Risya, Abi tetap menyeret koper milik Risya. Mendengar kegaduhan yang ada di depan rumah, ibu mertua Abi segera berlari menemui asal suara. Karena sayup-say
Risya tak terima dengan keputusan yang diambil oleh Abi. Ia terus meraung-raung tak jelas di depan kamar suaminya. Suaranya baru berhenti menjelang pagi. Rupanya, ia tertidur di depan pintu kamar dengan tubuh tengkurap mencium lantai. Abi sama sekali tak terenyuh dengan pemandangan di depannya. Tanpa menoleh sama sekali, ia pergi sambil melangkahi seonggok tubuh yang tengah tertidur itu. Mendengar suara tawa yang cukup keras dari lantai bawah, Risya terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap lalu perlahan terbuka. Tubuhnya sakit, ia melenguh. Rasanya seperti tertimpa ribuan ton besi. "Pa, hari ini aku mau ajak Ika ke rumah Jihan. Boleh kan?" ujar Adam meminta izin pada ayahnya. Abi mengangguk. Kedua anaknya cukup sering menghabiskan waktu di rumah sahabatnya, tak ada alasan untuk menolaknya. "Soalnya, Fariska mau main sama dedek Ragil. Iya kan?" "Ih, kakak. Kenapa dikasih tahu ke papa?" bibir Fariska mengerucut lucu, pipinya menggembung tanda ia marah pada kakaknya. Adam
Adam meremat tangannya, hatinya gusar dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sejak kejadian di dalam mobil itu. Tidur malam Adam pun tak pernah tenang. Wajah biadab itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya tiap detik. Adam terus menimbang-nimbang apakah dirinya akan mengungkapkan semuanya pada sang ayah atau tidak. Setiap kali melihat wajah lelah ayahnya, Adam jadi tak tega mengungkapkan. Namun jika mengingat perlakuan buruk ibu tirinya, hatinya memanas. Ia tak rela jika ayahnya dikhianati dengan cara kejam di belakangnya. "Pa," panggil Adam dengan suara pelan. Abi menoleh dengan senyuman manisnya. Menepuk pinggiran sofa lalu melambaikan tangan mengajak Adam untuk duduk di sebelahnya. "Pa, Adam—" Abi melihat raut wajah keseriusan di mata Adam. Sudut hatinya yang peka mengatakan jika anaknya itu membutuhkan bantuan. "Ada apa, nak? Ada yang ingin kamu sampaikan?" Suara lembut ani menggoyahkan keinginan Adam untuk mengungkapkan sebuah rahasia. Pria muda itu menarik napas p