Carla masuk ke ruangan Abi setelah pria itu kembali ke kantor setengah jam yang lalu. Tak ada sapaan dan kata-kata manis keluar dari bibirnya. Dokumen yang dibawa olehnya pun dibanting kasar di atas meja hingga membuat suaminya terlonjak kaget."Sayang, ada apa?" Abi sama sekali merasa tak bersalah dengan apa yang telah diperbuatnya. Carla kecewa."Kenapa kamu mengubah perjanjiannya? Hampir saja perusahaan ini digugat oleh klien. Kan kamu sudah tahu jika harga bahan baku naik, tidak akan mengubah harga jika perjanjian itu dilakukan sebelumnya." Carla menghempaskan tubuhnya duduk di atas sofa. Abi ikut duduk di hadapannya sambil membuka dokumen yang tadi dibanting oleh Carla."Aku minta maaf. Aku salah ambil keputusan karena ada yang tidak beres dengan keuangan perusahaan saat itu." Abi menghela napas lega. Tadi, saat salah satu staf di pabrik bercerita ada Carla di sana, Abi segera pergi. Apalagi ada info dari mereka jika Carla sedang dalam kondisi marah."Kamu tahu, kamu hampir membu
Al baru saja tiba di ruangannya setelah melakukan pertemuan dengan para direktur untuk membahas hal penting di perusahaan. Carla seorang yang perfeksionis. Tak menginginkan satu masalah mengendap dan terus berulang dalam pekerjaannya, ia memilih untuk menelusuri hingga akhir semua kejanggalan itu.Ini semua berkaitan dengan isu perubahan bahan baku yang telah disepakati sebelumnya. Hal yang sebenarnya mudah tapi menjadi melebar urusannya jika diketahui oleh publik. Saat Al baru saja mendudukkan pantatnya di atas kursi kebesarannya, sekretarisnya datang memberi sebuah dokumen."Apa ini?" tanyanya sambil membolak-balok kertas di dalam sebuah map."Itu dikasih sama HRD, Pak. Katanya ada pelamar yang bilang atas rekomendasi pak Abi," jawab si sekretaris."Owh. Apa katanya?""Orang itu mau melamar posisi manajer keuangan. Lihat saja pak CV nya." Al mengangguk dan mulai membaca satu persatu isi surat lamaran itu. Satu senyuman tipis di ujung bibirnya seperti sedang meremehkan surat lamaran
Selesai melakukan pertemuan dengan Prasetyo, salah satu klien yang akan bekerjasama dengan perusahaan, Carla mengajak Abi dan Al berbincang serius di ruang meeting. Carla sebagai penasehat Abi, maju sebagai pembicara utama.Al hanya menyimak sekilas karena ini memang bukan tugas utamanya. Ia mencatat banyak hal penting yang Carla sampaikan. Wanita itu begitu serius memaparkan semua hal yang berkaitan dengan bisnis perusahaan mereka di masa datang.Abi menguap. Matanya mulai memberat. Semalam ia memang kurang tidur karena ulah Risya yang tak bisa tidur tenang di kamarnya."Mas Abi sudah mengerti, kan?" Abi menganggukkan kepalanya. "Carla enggak mau ada kejadian seperti kemarin dan tadi pagi. Kalau mas Abi butuh dana talangan atau apapun, mohon konsultasi ke aku. Mengubah perjanjian malah membuat perusahaan kita menjadi buruk di mata publik."Setelah rapat selesai, Abi kembali lagi ke ruangannya. Ia ke luar paling belakang mengikuti Carla yang berjalan lebih dulu. Saat Carla berbelok ke
Setelah makan malam, Abi bergegas mengantarkan Carla pulang ke rumah ibunya. Sesuai dengan janjinya tadi sore, Abi harus bertemu dengan mertuanya untuk meluruskan kejadian yang telah terjadi dua minggu yang lalu. Dengan senyuman manis yang melebar di bibirnya, Abi sangatlah percaya diri bertemu dan bicara empat mata dengan Hani, ibu Carla. Seumur mereka menikah, Hani tak pernah bicara kasar padanya.Abi duduk sopan di depan ibu mertuanya. Kepalanya setengah menunduk dan tangannya berada mengepal di atas paha.“Apa kabar, Ma?”Abi menggeser duduknya. “Maaf kalau Abi telah berbuat salah selama ini. Terhadap mama dan juga Carla,” ujarnya lirih.“Adam juga. Jangan kamu lupakan dia,” potong Hani.“Ah, iya. Termasuk juga Adam.” Abi menunduk lebih dalam. Hani dengan anggun menaruh cangkir tehnya lalu kakinya bertumpu menyilang. “Saya ke sini ingin mengajak Carla dan Adam pulang ke rumah kami.”“Mas! Aku kan tadi sudah bilang. Aku mau menenangkan diri dulu di rumah mama,” protes Carla.“Tapi a
Risya terpaksa datang ke kantor suaminya dengan perasaan kesal. Tadi pagi sebelum berangkat, suaminya berpesan padanya untuk datang sebelum jam makan siang. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan olehnya bersama dengan Carla.Risya teringat perkataan Abi malam itu yang ingin membicarakan perjanjian baru antara mereka bertiga agar tak terjadi perselisihan ke depannya. Risya tak ingin disingkirkan. Ia harus memperjuangkan haknya sebagai istri Abi, apalagi dirinya juga tengah mengandung anaknya. Jika dibandingkan Carla, dirinya tentu saja lebih unggul.Pemikiran angkuh itu terus bergelayut di dalam kepala Risya. Tak boleh, Carla tak boleh mendapatkan perhatian lebih dari suaminya. Keinginan itu terus berputar di dalam kepalanya."Ah, aku harus bisa meyakinkan mas Abi untuk tetap memberikanku perhatian lebih. Kan, memang harusnya seperti itu," gumamnya sebelum turun dari mobil. Saat akan masuk ke dalam ruangan Abi, Risya sempat melihat Carla berjalan bersama seseorang yang tak pernah ia liha
Perjanjian pun disepakati. Carla meminta haknya untuk dihargai sebagai istri saat pengambilan segala keputusan. Sedangkan Risya meminta agar Abi selalu ada untuknya ketika dibutuhkan. Sebenarnya, bisa saja Carla mengajukan protes pada Risya. Namun mengingat wanita itu tengah mengandung anak dari sang suami, ia membiarkannya. Untuk Adam, Abi berjanji akan terus memperhatikan pertumbuhannya hingga dewasa. Abi juga berjanji tidak akan pilih kasih saat ia memiliki anak lain bersama Risya. "Ingat Mas, jangan abaikan Adam. Dia anak kamu," pesan Carla yang diangguki Abi. Sebelum Carla kembali ke ruangannya, ia kembali memperingatkan Risya tentang keadilan yang tadi sempat disinggungnya. Ia tersenyum memandang wanita itu lalu berkata, "Tidak ada yang namanya keadilan ketika memutuskan untuk menjadi bagian dari pernikahan poligami. Semua menginginkan porsi yang sama. Aku paham apa keinginanku tapi aku juga menuntut hak yang sama sesuai porsiku." Carla berdiri dari duduknya. Matanya menata
Abi menepati janjinya untuk mulai mendekati Adam, anak semata wayangnya dengan Winda. Setelah makan siang, ia langsung bergegas menjemputnya di sekolah. Tepat saat mobilnya berhenti di gerbang sekolah, Adam berlari ke arahnya. Sepertinya, Adam tahu jika hari ini akan dijemput oleh ayahnya di sekolah.Abi melambaikan tangannya. Adam membalasnya. Bocah kecil itu berlari menuju rentangan tangannya lalu masuk ke dalam pelukan hangat sang ayah.“Adam kira yang jemput tadi om Vian ternyata papa,” celetuk Adam yang membuat Abi mengerutkan dahi tak suka.“Om Vian?” Adam mengangguk. Rambutnya yang halus bergerak lucu di dahinya yang putih. “Bukannya sama pak Ujang?”“Pak Ujang jemputnya agak sore. Katanya jemput mama dulu jadinya aku sering minta bantuan om Vian buat ke sini,” ujarnya polos. Adam tak tahu saja jika ayahnya kini menggeram marah sambil mengepalkan tangannya di samping.Abi benar-benar tak menginginkan ini terjadi lagi. Vian telah melanggar batasnya. Ia perlu sekali-kali menegurn
Carla dan Abi berpamitan pada Hani yang ternyata telah menunggu mereka sejak tadi sore. Keputusan Carla untuk kembali ke rumah utamanya adalah karena niatnya yang ingin menyatukan lagi hubungan antara ayah dan anak. Adam adalah anak kandung Abi, sudah seharusnya ia mendapat kasih sayang dan perhatian berlebih dari ayahnya. Hani juga sudah mengetahui jika keputusan yang diambil oleh anaknya telah disepakati dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh Abi serta istri keduanya.Terpaksa, Hani melepas anak semata wayangnya untuk kembali bersama suaminya.Di perjalanan, Adam terus menerus berceloteh. Ia menceritakan tentang sekolahnya yang kemarin kedatangan orangtua murid yang ternyata adalah seorang artis terkenal. Katanya, suasana sekolah jadi ramai tapi seru dan menyenangkan.“Memangnya Adam dikasih apa sama papanya Zidan?” tanya Abi penasaraan. Nama teman Adam adalah Zidan dan orangtuanya membagikan makanan serta buku untuk seluruh siswa siswi di sekolahnya.“Dikasih tempat min
"Kamu kenapa sih?" Abi membantu istrinya berdiri yang terus menggerutu menyebut nama Carla. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua tadi, hanya saja memang Risya terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu. "Sehari aja enggak gangguin Carla, enggak bisa? Kamu dendam apa sama dia?" Abi kembali memarahi Risya yang sejak tadi tak berhenti mengomel. "Kamu terus saja belain dia. Tadi rambut aku dijambak. Lihat kan tadi aku jatuh? Mana lagi hamil pula," gerutu Risya yang masih saja tak terima dirinya kalah dari Carla. "Carla enggak mungkin duluan kalau bukan kamu yang mulai. Aku jauh-jauh dari kantor ke sini hanya untuk melihat hal memalukan. Kamu ternyata enggak berubah." Abi meninggalkan Risya yang masih berdiri di ruang ukur. Carla telah turun lebih dulu. Abi berniat mengejar Carla untuk meminta maaf padanya. Risya mengikuti Abi dari belakang. Kakinya dihentak-hentak kasar, menunjukkan ia tengah kesal karena suaminya ternyata lebih membela mantan istrinya. Di lantai bawah, Abi be
"Aduh." Terlihat seorang wanita tengah kesusahan memijat pergelangan kakinya yang baru saja tak sengaja menginjak sebuah kain. Ia terduduk sambil menundukkan wajahnya yang mengerang kesakitan. Kain yang terjulur itu adalah kain milik Carla yang tengah dipasangkan di tubuhnya oleh staf butik tante Leni. Staf itu tak melihat jika ada seseorang tengah melintas di belakangnya. "Bu, maaf. Tadi enggak sengaja. Saya tidak melihat—" "Kalau kerja itu pakai mata! Mentang-mentang kamu lagi sibuk sama pelanggan satunya, jangan lupakan juga ada pelanggan yang lain," bentak wanita itu. Carla yang merasa familiar dengan suara itu seketika menoleh dengan cepat ke arahnya. Matanya terbelalak, ternyata benar orang yang ada di pikirannya itu tengah berada di tempat yang sama dengannya. Ia menghela napas kasarnya. Baru saja ia terbebas dari masalah di acara pertunangan Kesya kemarin, kini harus dipertemukan lagi dengan wanita itu. Entah apa rencana tuhan yang sebenarnya dengan mereka berdua. Takdi
Kabar kehamilan Risya mampir di telinga Carla. Ini semua karena ulah bibik yang sering bergosip dengan asisten yang lain saat sedang santai. Curi dengar itu membuat hati Carla tercubit. Dua kali dirinya mendengar kabar bahagia kehamilan orang di dekatnya tapi dirinya sendiri masih belum juga memiliki satupun. Carla berjalan bolak-balik di belakang rumah hanya untuk memastikan apa yang didengarnya tidaklah salah. Ia bahkan rela duduk sambil mengunyah makanan agar gosip yang terdengar itu semakin seru. 'Ternyata, dia memang sudah hamil lagi?' Lalu, Carla mengusap perutnya. Datar, tanpa isi kecuali lemak. Carla menghela napas kasarnya. Ia beranjak dari duduknya menuju dapur. Tenggorokannya haus sejak tadi. Jus melon adalah pilihan bagus untuknya. "Mama!" teriak Adam dan Tasya yang berlarian masuk ke dalam rumah. "Adam minggu depan libur." "Tasya juga." Keduanya menunjukkan sebuah surat himbauan dari sekolah. Carla membacanya dengan seksama lalu mengangguk paham. "Satu bulan libur
"Kesya, sini nak." Kesya berlari kecil ke arah ibunya yang memanggil dari kejauhan. Al sudah tak tahu kemana, sepertinya sedang berbincang dengan teman-temannya yang datang ke acaranya. Kesya tentunya tak tahu siapa yang berada di samping ibunya, karena posisi mereka yang dekat dengan lorong tempat lalu lalang orang. Dengan senyum manisnya Kesya memeluk ibunya dari samping. Ia belum sadar dengan siapa ibunya tengah berbincang. Hingga suara ibunya menyadarkan dirinya dan akhirnya membuat batinnya sedikit terguncang. 'Abi?' "Ini loh saudara jauh kamu yang sering main ke rumah lama kita di Semarang. Kamu pasti sudah lupa. Namanya Risya dan ini suaminya." Kesya meringis tak tahu harus menjawab apa. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan keduanya. "Kamu ngobrol dulu. Ibu mau cek barang-barang hantaran tadi." "Dunia sempit ya? Aku enggak tahu kalau ternyata Risya itu sepupuku," sinis Kesya tak suka. Merasa diremehkan membuat Risya menaikkan wajahnya seolah sedang menant
Setelah pemeriksaan ke dokter kandungan, Abi dan Risya memutuskan untuk merayakan perayaan kehamilan kedua dengan makan bersama di kafe milik Vian. Abi memilih kafe itu karena ada memori tersendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Risya tampak bahagia. Pasalnya, ia membawa keluarga besarnya untuk ikut merayakan pesta itu. Abi pun tak keberatan sama sekali. "Makan yang banyak, Ma. Kita makan enak malam ini," ujar Risya pada ibunya yang juga datang. Abi tersenyum datar melihat suasana akrab itu. Sekedar mencari angin, Abi memilih keluar dari dalam ruangan untuk duduk di dekat anak tangga belakang. Ia ingin merilekskan otaknya sejenak menatap kolam ikan yang sepi. Pikirannya berkelana ke beberapa waktu silam saat ia melihat Adam berada di sana. Dia sedang apa sekarang ? Pesan yang dikirim tiga hari lalu masih saja diabaikan. "Adam mau dibawakan apa? Udang asam manis atau cumi pedas?" Abi menoleh ke belakang, asal su
"Mau kemana kamu?" Abi turun dari tangga langsung mendapati Risya yang sedang mengendap-endap ingin pergi ke suatu tempat. Pakaiannya rapi dan ini masih pagi. Seharusnya wanita itu mengurusi anaknya atau setidaknya memasak untuk suaminya. "Mau kemana?" tanya Abi lagi. "Mau ke butik tantenya Indah. Aku mau ambil pesanan minggu lalu untuk lamaran dan pernikahan anaknya om aku yang tinggal di luar kota. Dia minggu ini anaknya lamaran dan aku belum pernah ketemu lagi dari SMP. Pas kita nikah dia juga enggak bisa datang karena sakit. Boleh ya?" ujar Risya panjang lebar menceritakan rencananya hari ini. "Katanya mau periksa kandungan? Aku udah telpon dokternya." Abi menyilangkan dadanya di depan Risya. Istrinya itu menelan ludah kasar. Abi jika dalam model seperti ini sulit untuk ditolak pesonanya. "Kamu enggak lagi coba berbohong sama aku kan?" "Demi tuhan, aku enggak bohong. Janjian ke dokternya jam berapa?" tanya Risya. "Sore jam tiga." Risya tersenyum senang. Berarti pagi ini dia
Lelah menghampiri Abi yang baru saja menyelesaikan pekerjaan hari ini. Setelah libur selama dua hari akhir pekan kemarin, sulit baginya untuk sekedar bersantai sejenak. Hal yang membuatnya lelah hari ini adalah audit keuangan perusahaan yang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Al yang memanggil tim audit. Ini semua demi pengetatan anggaran yang tak perlu dan mencari pelaku pelanggaran yang menyebabkan kebocoran keuangan perusahaan. Al mencurigai banyak pihak telah berbuat curang. Al mencurigai Abi, lebih tepatnya. "Aku tahu kau sangat curiga denganku. Iya, kan?" tanya Abi setelah diperbolehkan masuk ke dalam ruangan minimalis milik Al. Ia menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum sinis setelahnya. "Ow, kau merasa ya? Padahal aku hanya ingin audit biasa saja. Ah, bukankah kamu pernah membuat kebijakan bagi karyawan untuk memakai uang perusahaan dengan cara pinjaman seperti student loan misalnya. Pengabdian dengan separuh gaji jika mema
Keesokan harinya, Risya bermaksud meminta pertanggung jawaban Nanda yang telah menipunya hingga berujung malu di depan banyak orang. Bahkan ia sudah bersiap untuk memberikan tamparan pada temannya itu. Segera ia pergi ke studio musik milik Nanda untuk menemuinya. Di dalam studio itu, ia melihat Nanda dan Gane sedang tertawa lepas mendengar cerita salah seorang staf studio musik itu. Risya berdiri di dekat pintu masuk yang terbuka di satu sisinya. Dari situ ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan mereka bertiga. "Mertua si bodoh itu viral? Sudah kuduga. Wanita itu memang picik dan senang membuat keributan," ujar Nanda yang diangguki oleh Gane. "Iya. Pantas saja mantan menantunya tidak kuat. Kalau jadi Carla, aku sudah kasih itu racun ke makanannya si mertua jahanam itu," tambah Gane yang dibalas kekehan kasar dari Nanda. "Orang seperti itu harus kita kerjain sekali-kali. Aku pernah kasih semangat untuk Carla menjelang sidang perceraiannya. Dia terlihat sedih tapi ber
Carla tak habis pikir. Dirinya sudah menjauh dari kehidupan Abi tapi tetap saja masih bertemu dengan mereka di sela kesibukannya. Tak ada lagi nama Abi, tak ada lagi komunikasi apapun dengan pria itu. Tapi takdir selalu mempertemukan mereka berdua. Sepertinya, memang itu semua sudah digariskan dari tuhan. "Untuk tuan Abi, tolong beritahukan pada keluarga anda untuk tidak menganggu kehidupan saya lagi. Dunia tak berputar hanya sekitar mereka saja. Kalau mereka butuh pengakuan lebih, berbuatlah sesuatu yang bisa membanggakan. Jangan bertingkah seperti tadi." Carla menggandeng tangan Vian keluar dari gedung acara. Ia tak ingin mendengar segala omong kosong yang keluar dari mulut mantan suaminya itu. Rasa kesal dan benci menguar dari dalam dirinya. Padahal, rasa itu telah dikuburnya dalam-dalam. "Aku, minta maaf Carla." Abi berteriak memanggil Carla yang hampir mencapai pintu keluar. "Atas nama keluargaku, aku minta maaf. Aku akan peringatkan mereka untuk t